Erni Melinda Sitinjak*
PIRAMIDA.ID- Mawar itu kini telah pergi, bukan untuk sementara namun untuk selamanya.
Siang itu, aku mendapat kabar duka dari mu. Mendengarnya seakan-akan jantungku berhenti berdetak setelah mendengar bahwa kamu sekarang sudah tiada.
Sempat berkecamuk pertanyaan di benakku, mengapa ini harus terjadi? Namun jawaban itu sampai sekarang belum kudapati.
***
Sudah berhari-hari aku menunggu dan mengharapkanmu agar kembali di mana kita bercerita tentang segala keluh kesah yang kamu hadapi, menceritakan kisah percintaan dan masalah yang ada di keluarga mu saat ini, namun itu hanya khayalan semata.
Kini ku duduk terdiam di bawah rembulan, merenung dan melihat begitu banyak bintang seolah-olah ikut merasakan kesunyian yang ada.
Menyendiri dalam kesunyian itu sudah hal biasa bagiku. Namun, kali ini kesunyian itu menyiksa diri, batin, dan hati. Mencoba untuk menghibur diri namun aku gagal lagi, lagi, dan lagi.
Kadang, kita harus menerima kenyataan bahwasanya orang yang paling penting di dalam hidup kita akan meninggalkan kita.
Ya, begitulah kisahku dengan dia, sang pujangga mawar yang kini telah pergi.
Dahulu ia pernah mengatakan pada ku akan melanjutkan kisah dan cerita yang telah dimulai, tetapi pada saat ini ia mengakhirinya dengan secara sepihak. Apakah itu adil? Huuuuh… dan kini aku hanya berdiam diri untuk berusaha menerima kenyataan yang begitu sulit bagiku.
Menyalahkan diri, marah, kecewa, dan akhirnya aku menangis untuk kepergianmu.
Setiap hari aku berdoa agar kamu kembali, lalu bertanya kepada ku lagi,
“Er, kapan kau kemari?”
“Er, gimana kabar mu?”
“Er, kaki ku mulai membengkak lagi.”
“Er, aku gangguin kau yahh?”
Tak sekalipun aku melihat kesedihan dalam dirimu, padahal pada saat itu kamu sudah mengalami sakit parah dan mengatakan padaku bahwasanya kamu baik baik saja.
Seketika aku menghubungi mu lagi lalu bertanya, “Kamu sakit apa?” lalu kamu menjawab nya, “Aku ga sakit dan aku baik baik saja.”
Kemudian kamu bertanya kepada ku, “Er, kapan kau membuka hati?”
Sontak aku tertawa mendengar pertanyaan mu itu. Tiba-tiba kamu terdiam lalu bertanya lagi, “Sebercanda itu kah hadir ku untuk mu?”
Aku pun terdiam dengan pertanyaan mu itu. Dan kamu melanjutkan pertanyaannya lagi, “Sampai kapankah kamu mempermainkan hati, Er?”
Lagi-lagi aku hanya terdiam mendengar pertanyaamu itu.
Dan pada akhirnya kamu mengatakan begini: “Er kamu pernah menanam tanaman?” dan aku menjawabnya pernah.
Kamu melanjutkan perkataan mu lagi, “Nah, hubungan itu ibaratkan tanaman/bunga mawar jika tanaman itu kamu rawat, kamu jaga, dan kamu sirami setiap hari ia akan menghasilkan sesuatu yang indah sesuai dengan harapan mu.”
Mendengar itu aku diam dan tersenyum. Aku mengguman memuji mu dalam hati melihat kedewasaanmu.
Tetapi pada saat ini mawar yang kamu katakan itu hampir layu, lantas apa yang harus ku perbuat? Sedangkan sang pujangga mawar itu telah pergi. Harus kah aku tetap menunggunya? Ataukah aku harus pergi dan membiarkannya layu dan mati?
Kini aku kembali merenung di bawah rembulan, seakan-akan meminta jawaban pada Tuhan. Tetapi malam ini sangat beda, ada begitu banyak bintang-bintang di langit, namun di antara banyak bintang hanya 1 bintang yang berkilau. Aku merasa itu menandakan bahwa kamu sudah datang dan seketika kerinduan itu pun terobati.
Hari ini sedikit demi sedikit aku mulai belajar arti keikhlasan, ketabahan untuk mengikhlaskan mu pergi selamanya.
Dan teruntuk mawar mu itu, tenang lah, kamu jangan khawatir. Ia akan kujaga, kurawat dan kusirami setiap hari.
Supaya kelak mawar mu itu dapat mekar kembali dan indah setiap hari.
Saat ini yang ingin kukatakan pada mu, “Terimakasih sudah banyak memberi kisah dan cerita serta kenangan yang begitu indah walau dengan waktu yang sangat singkat ini. Semoga kamu baik-baik saja di sana bersama para malaikat surgawi dan menjadi pendoa bagi kami yang masih berziarah di bumi ini.”
Penulis merupakan mahasiswa di Poltekkes Kemenkes RI, Medan. Tinggal di Serdang Bedagai.
Editor: Red/Hen