Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- SERING terjadi, saat kau bicara tentang puisi (sastra) sebagai ilmu pengetahuan, orang-orang yang menganggap puisi sebatas “keterampilan berbahasa” akan membantahmu, tapi dia tidak punya “tameng” ketika kau membuat serangan balik dengan bertanya tentang apakah “keterampilan berbahasa” itu sesuatu yang bisa diandalkan dalam menulis puisi atau tidak sama sekali.
Bukannya memberi penjelasan yang rigit dan masuk akal, serangan balik itu justru membuat orang tersebut merasa kehilangan muka. Lalu, demi menjaga mukanya (citra dirinya) –mungkin dia terlanjur dibeatifikasi sebagai penyair luar biasa karena di negeri ini para penyair selalu sibuk mengejar puja-puji ketimbang melakukan eksperimentasi terhadap puisi — orang yang merasa punya “keterampilan berbahasa” itu melakukan manuver dengan memakai ukuran bajunya untuk mengukur badan orang lain.
Maka, tentu, dia akan semakin kehilangan muka, lalu menganggap orang yang menyerang balik sebagai “tidak santun” dalam bertutur.
Jika kau bicara tentang puisi sebagai ilmu pengetahuan, lalu muncul orang lain yang tak memahami puisi sebagai ilmu pengetahuan, menanggapi pembicaraanmu dan mengesankan seakan-akan kau telah melakukan kekeliruan, sangat wajar bila orang itu dibuat kehilangan mukanya.
Dia melakukan penyesatan, dan orang yang menyesatkan orang lain pantas tak punya muka. Hal seperti ini tidak hanya terjadi dalam dunia sastra, tapi juga dalam dunia lain.
Misalnya dunia saya sebagai pelukis. Ketika saya melukis potret, lalu ada orang yang tak bisa melukis potret mengomentari karya saya sebagai buruk, sudah pasti saya akan menerima komentar itu dengan memberinya kesempatan untuk menerangjelaskan kenapa potret yang saya lukis itu buruk.
Jika penjelasannya masuk akal dan ilmiah, saya akan berterima kasih. Tapi, apabila penjelasannya berdasarkan subyektivitas belaka, sangat wajar jika saya memakinya.
Kawan-kawan saya di dunia kesusastraan, merasa dirinya mereka harus santun dalam bertutur kata. Kesantunan itu, menurut mereka, bagian tak terpisahkan dengan pilihan mereka sebagai sastrawan. Saya tak pernah paham kenapa syarat sastrawan harus santun, sementara mereka selalu kesulitan ketika saya meminta defenisi kesantunan itu.
Santun bagi mereka adalah bertutur kata yang tidak membuat orang lain kehilangan muka, sementara saya menganggap orang layak kehilangan muka apabila orang itu tidak berusaha melindungi mukanya dengan ilmu pengetahuan.
Saya sering senyum-senyum setiap kali mengikuti diskusi para sastrawan tentang dunia kesusastraan, terutama karena tindak tutur yang dipertontonkan orang-orang yang bekerja dengan alat kerja bernama bahasa itu seakan-akan tidak pernah sungguh-sungguh mempelajari bahasa, dan mereka tidak begitu menguasai bahwa pragmatik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari ujaran dari penutur.
Apa yang membuat saya senyum adalah kesantuan bertutur, di mana sebagian besar sastrawan menganggap sastrawan lain tidak santun dan dia tidak menyadari bahwa anggapannya itu menunjukkan bahwa dia lebih tidak santun lagi.
Dalam bertutur, orang cenderung menganggap orang lain tidak santun karena memakai kata-kata “jorok” saat berdiskusi, seakan-akan ada kata yang jorok dan ada kata yang bersih. Padahal, semua kata itu sama-sama ada di dalam kamus, dan karenanya punya “derajat” yang sama. Tidak ada satu kata pun yang tidak boleh diucapkan, tapi orang-orang yang merasa dirinya harus santun tetapi tidak mengerti apakah santun itu, cenderung akan memilah kata ke dalam “yang tak boleh dipakai” dan “yang boleh dipakai”.
Kesantunan bertutur bukan perkara pilihan kata yang disampaikan saat berdiskusi tidak membuat orang lain kehilangan muka atau citra diri, tetapi setiap kata yang disampaikan jangan hanya untuk menjaga muka sendiri.
Sebagai contoh. Orang menyebut puisi esai Denny JA sebagai temuan baru dalam ilmu sastra, lalu saya mengatakan orang yang menyebut itu sebagai “bodoh”, “tolol”, dan kata-kata bijak lainnya, karena pernyataannya menunjukkan betapa dia tidak tahu tentang ilmu sastra tetapi berlagak bahwa dia sangat paham ilmu sastra.
Orang yang tidak tahu bahwa dia tidak mengetahui apapun sama saja dengan hewan, dan ketika saya mengatakan “kambing” kepadanya, tentu saja kata “anjing” jauh lebih pas. “Anjing” adalah binatang metafora, cocok disematkan kepada mereka yang suka menjulurkan lidah.
Jadi, bahasa itu kaya, punya cabang-cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sastra. Tidak mempelajari bahasa secara serius lalu berlagak sudah paham bahasa, hanya akan dilakukan oleh orang yang pantas dihilangkan mukanya. Dia telah menghinakan dirinya sendiri, dan kita layak menghinakannya.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).