PIRAMIDA.ID- Tepat pada tanggal 18 Mei 2021 terjadinya Tindakan kekerasan kepada Masyarakat Adat Natumingka oleh karyawan PT Toba Pulp Lestari yang mengakibatkan belasan Masyarakat Adat Natumingka di Kabupaten Toba, Sumatera Utara mengalami luka-luka.
Kejadian ini bermula saat ratusan masyarakat adat menjaga wilayah adatnya dari pekerja perusahaan PT TPL yang hendak menanami wilayah adat mereka, di mana wilayah adat ini diklaim secara sepihak masuk dalam konsesi TPL.
Dalam penanganan kasusnya, peristiwa ini belum juga menjadi perhatian bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut). Laporan sudah dilayangkan ke pihak kepolisian dan sampai sekarang belum juga ada tindakan hukum atas kejadian ini.
“Proses penanganan kasus tersebut saat ini sudah dalam tahap penyidikan artinya ini membenarkan terkait adanya peristiwa pidana, bahkan ada video yang menunjukkan salah satu pihak keamanan PT TPL yang memberi komando kepada rekan-rekannya untuk melakukan kekerasan namun sampai saat ini Polda Sumut maupun Polres Toba belum juga menetapkan tersangka”
“Politik kekuasaan dan ekonomi bisa saja menjadi faktor yang menyebabkan korporasi sebesar PT TPL tidak tersentuh oleh hukum,” ujar Roy Marsen Simarmata selaku pengacara dari Bakumsu dalam rilis publiknya, Kamis (12/05/2022).
Sebelas korban yang mengalami luka-luka atas tindakan kekerasan pihak PT TPL membuat laporan ke Kepolisian Resort (Polres) Toba dan juga laporan ke Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara. Namun hingga kini belum ada juga dari pihak PT TPL ditetapkan jadi tersangka. Jusman Simanjuntak (76) menyayangkan lambannya penanganan oleh pihak kepolisian atas laporan tindakan kekerasan yang disampaikannya tahun lalu.
“Sangat berbeda sekali jika dari pihak PT TPL yang melaporkan warga, maka pihak kepolisian langsung cepat sekali menindaklanjuti bahkan sampai menahan warga. Tetapi jika masyarakat adat yang melaporkan pihak PT TPL justru sebaliknya,” ujar Jusman Simanjuntak salah satu korban yang alami luka serius akibat kekerasan.
Oleh Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas Adat Huta Natumingka menyampaikan mereka akan terus mendesak kepolisian untuk serius menindaklanjuti laporan yang mereka sampaikan tahun lalu.
“Bagi kami Masyarakat Adat Natumingka, kejadian pada 18 Mei 2021 sangat menyayat hati kami. Wilayah adat kami yang dirampas, makam leluhur kami dan tanaman pertanian kami yang dirusak PT TPL, bahkan kami mendapat tindakan kekerasan dari mereka. Kami tidak tahu mau mengadu kepada siapa lagi, tetapi kami akan terus berjuang agar keadilan berpihak kepada kami dan wilayah adat kami dikembalikan. Bahkan sampai titik darah penghabisan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Roganda Simanjuntak selaku Ketua AMAN Tano Batak.
“Setahun berlalu kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Natumingka, belum mendapat jawaban atas permasalahan yang terjadi. Proses pengakuan dan perlindungan kepada Masyarakat Adat Natumingka sampai saat ini belum juga mendapat respon yang serius dari pemerintah, baik itu di tingkat pemerintah daerah maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” cetus Roganda.
“Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih menginginkan kekerasan terjadi lagi kepada masyarakat adat yang lain. Mekanisme kebijakan yang telah tersedia sebenarnya bukan alasan lagi untuk menunda proses pengakuan kepada masyarakat adat. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Toba Samosir telah memerintahkan adanya pengakuan dan perlindungan atas Hak ulayat masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir yang beracuan pada Permendagri No 52 Tahun 2014. Secara kebijakan pemerintah memang sudah memberi jalan, namun rasa keberpihakan kepada masyarakat adat sama sekali belum ada. inilah yang akan membuat konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan TPL akan menjadi bara yang sewaktu-waktu akan terjadi lagi,” ujar Roganda Simanjuntak.
“Perusahaan TPL setelah menghabisi hutan adat Natumingka, juga melakukan kekerasan kepada masyarakat adat Natumingka, lingkungannya juga mengalami kerusakan. Persoalan ini telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar kepada masyarakat adat Natumingka. Masyarakat adat selalu diposisikan menjadi korban dan terbentur oleh dinding prosedural kebijakan pemerintah yang tidak berpihak. Padahal kehadiran dari masyarakat adat di Tanah leluhur telah lama sementara negara baru saja ada. Bentuk diskriminasi ini sudah seharusnya diperbaiki oleh pemerintah agar masyarakat adat dapat menjaga tanah leluhurnya,” ungkap Roganda Simanjuntak mengakhiri.(*)