Oleh: Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- Isu gender merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan berkelanjutan khususnya dalam pembangunan sumber daya manusia. Kesadaran akan kesetaraan gender telah menjadi wacana publik yang terbuka, sehingga hampir tidak ada sudut kehidupan manapun yang tidak tersentuh wacana ini.
Gender telah menjadi prospektif baru yang sedang diperjuangkan untuk menjadi kontrol bagi kehidupan sosial, sejauh mana prinsif keadilan, penghargaan martabat manusia dan perlakuan yang sama dihadapan apapun antar sesama manusia termasuk laki-laki dan perempuan.
Sebagai kaum melenial, masih banyak yang mungkin belum terbiasa atau bahkan sama sekali tidak pernah mendengar apa itu “pembangunan berkelanjutan” atau disebut juga sebagai Sustainable Development Goals (SDGs).
Maka dengan adanya tulisan ini, semoga teman-teman setidaknya setelah membaca tulisan ini memiliki keingintahuan untuk mencari tahu dan mengetahu bahkan memahami tentang SDGs.
**
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Salah satu tujuannya adalah gender equity (kesetaraan gender).
Tujuh belas tujuan SDGs, yaitu: 1. Tanpa kemiskinan, 2. Tanpa kelaparan, 3. Kehidupan sehat dan sejahtera, 4. Pendidikan berkualitas, 5. Kesetaraan gender, 6. Air bersih dan sanitasi, 7. Energi yang terjangkau dan bersih, 8. Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, 9. Industri, inovasi, dan infrastruktur, 10. Mengurangi ketimpangan, 11. Kota dan komunitas yang berkelanjutan, 12. Konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, 13. Penanganan perubahan iklim, 14. Kehidupan di bawah air, 15. Kehidupan di darat, 16. Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, 17. Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Lalu bagaimana perkembangan kesetaraan gender di Indonesia dalam rangka SDGs?
Pernikahan Anak
Menurut data Susenas 2020, proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mengalami penurunan dari tahun 2015 sebanyak 12,14% menjadi 10,35% di tahun 2020. Selain itu jumlah pernikahan anak di bawah 15 tahun juga menurun dari 0,6% pada tahun 2015 menjadi 0,5% pada tahun 2020.
Pada tahun 2020, 21 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki angka pernikahan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Selain itu, menurut data Susenas, pernikahan anak kerap kali terjadi pada anak perempuan yang tinggal di pedesaan dan berasal dari rumah tangga dengan pendapatan rendah. Anak perempuan yang menikah pada usia anak juga cenderung memiliki pendidikan yang rendah.
Partisipasi Perempuan
Partisipasi perempuan sebagai pengambil keputusan di politik telah didorong dalam peraturan perundang-undangan dengan target minimal 30% di parlemen. Namun yang tercatat saat ini melalui data Susenas pada tahun 2019 yaitu 20,87% DPR, 30,88% DPRD.
Artinya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan di politik masih perlu di tingkatkan. Keterwakilan perempuan membawa kualitas demokasi yang baik di suatu Negara. Menurut saya, semakin banyak perempuan yang berpartisipasi dalam bidang legislatif maka demokrasi yang tercipta akan semakin baik.
Kesehatan Reproduksi
Berdasarkan data survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI), proporsi perempuan usia reproduksi 15-49 tahun yang mengambil keputusan sendiri terkait hubungan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan reproduksi meningkat dari 57,90% pada tahun 2012 ke 57,20% pada tahun 2017.
Namun hal tersebut banyak ditemukan pada kelompok usia dewasa (usia 20 tahun ke atas) dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dan pengeluaran menengah ke atas.
Akses ke Sumber Daya Ekonomi
Hasil uji coba survei pertanian terpadu (SITASI) badan pusat statistik (BPS) pada tahun 2020 di provinsi sumatera barat, jawa timur, dan nusa tenggara barat menunjukkan hanya 18,95% perempuan yang memiliki hak atas tanah, sedangkan sisanya dimiliki oleh laki-laki.
Akses ke Teknologi
Proporsi individu yang memiliki telepon seluler terus meningkat dari 56,92% pada tahun 2015 menjadi 57,48% pada tahun 2020. Namun apabila dibandingkan, penduduk per empuan memiliki akses yang lebih sulit terhadap teknologi dibandingkan laki-laki. Akses ke teknologi laki-laki sebanyak 62,22% sedangkan perempuan 52,69%.
Artinya, masih banyak PR terkait kesetaraan gender, maka sayang sekali kesetaraan gender tidak menjadi fokus SDGs ke depan.
Focus goal tahun 2021 adalah: 1. Tanpa kemiskinan, 2, Tanpa kelaparan, 3. Kehidupan sehat dan sejahtera, 8. Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, 10. Berkurangnya kesenjangan, 12. Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, 13. Penanganan perubahan iklim, 16. Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, 17. Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Padahal semua target ini dapat lebih cepat tercapai dan terealisasi jika kesetaraan gender dijadikan fokus dan upaya kesetaraan gender sangat berpengaruh pada SDGs lainnya.
Konsensus yang tersebar luas adalah bahwa kemajuan pada semua SDGs akan terhenti jika pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender tidak diprioritaskan, dan diperlakukan secara holistik.
SDG melihat para pembuat kebijakan serta eksekutif sektor swasta dan anggota dewan untuk bekerja menuju kesetaraan gender. Pernyataan dari berbagai sumber, seperti Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), UN Women dan Forum Pensiun Dunia, telah mencatat bahwa investasi pada perempuan dan anak perempuan memiliki dampak positif pada ekonomi.(*)
Penulis merupakan Founder Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi).