PIRAMIDA.ID- 8 Juni satu abad lalu di Bantul, lahirlah sang jenderal yang suka tersenyum, atau biasa dikenal sebagai Soeharto. Ia mengawali karirnya dengan latar belakang militer, sehingga bidang politik bukanlah keahliannya.
Pada 1967 pun Soeharto enggan untuk menjadi presiden menggantikan Sukarno ketika ditawari MPRS.
Alasannya, ia merasa dekat dengan Sukarno, dan menganggapnya sebagai pelindung. Walau tak sepaham dengan PKI, Soeharto merasa jika dirinya menerima jabatan itu seolah menjadi lawan politik Sukarno. Walau demikian, Soeharto selanjutnya mengalihkan kemudinya untuk memangku jabatan sebagai presiden.
Selama menjabat presiden—terlepas dari kontroversinya terkait isu HAM—ia memiliki pemikiran gemilang untuk membangun struktur pemerintahannya. Hal itu diungkap oleh serjawan David Reeves dalam bukunya, GOLKAR, Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika.
Soeharto mengadopsi sistem Golongan Karya atau Golkar untuk memperkuat kuasanya sebagai presiden. Sistem ini sebenarnya sudah diwacanakan Sukarno.
Tatanan kepemerintahan Soeharto memanfaatkan Golkar (Golongan Karya) yang pada masanya bukan sebagai partai politik. Golkar, sesuai namanya, hanyalah golongan untuk menampung gagasan dan aspirasi masyarakat, yang kemudian dijadikan alat bagi Soeharto
Reeves menjelaskan lebih lanjut dalam webinar Evolusi Golkar dan Seabad Soeharto yang diadakan Karavan Cendikia dan Komunitas Bambu, Selasa (08/05/2021).
“Golkar adalah alat, Suhato bukan pendirinya dan penciptanya, Soeharto tidak begitu tertarik dengan konsep awal yang dicetuskan Supomo, Sukarno, dan lainnya,” ujarnya.
“Mungkin tidak begitu dihargainya. Saya untuk makan punya sendok garpu dan pisau. Saya kalau punya museum tidak akan memasukannya ke dalam museum. Bagi Soeharto golkar adalah alat, jadi tidak begitu penting untuk diingat,” tambahnya.
Golkar sendiri pada awalnya berdiri berkat pemikiran beberapa intelektual yang tidak menyukai sistem partai. Beberapa tokoh itu antara lain Sukarno, Ki Hajar Dewantara, dan A.H Nasution. Bahkan pada 1945, Supomo yang menciptakan konsep UUD tak menyebutkan partai melainkan golongan sebagai perwakilan rakyat.
Pada 1950-an, Sukarno mencetuskan konsep itu tentang golongan fungsionil atau golongan karya, untuk melemahkan partai-partai yang terbentuk sejak awal revolusi kemerdekaan. Tetapi TNI AD–dibawah AH Nasution,dengan cepat membangun organisasi-organisasi yang dipikirkan Sukarno.
“Untuk membela dirinya, Sukarno kembali pada partai-partai dengan konsep NASAKOM yang mengesahkan kembali sistem partai di Indonesia. Anehnya dia yang anti-partai berubah jadi pro partai,” terang Reeves.
Golongan karya ini selanjutnya menjadi kontrol para pekerja, salah satunya dengan SOKSI, untuk menandingi SOBSI yang berafiliasi kiri dan menentang pemilik modal. “Tentu saja ABRI sudah menjadi majikan besar sejak nasionalisasi perusahaan pada akhir 50-an,” kata Reeves.
Konsep melemahkan partai dan menggunakan golongan karya ini dilakukan oleh Soeharto yang berlatar militer. Banyak tokoh pemikir awal Orde Baru untuk menyarankan berbagai sistem politik lain, seperti membangun aliansi antara ABRI dengan masyarakat sipil maupun partai.
Langkah Soeharto mengadopsi konsep Golkar ini dianggap sebagai ide briilian oleh Reeves. Karena konsep ini tidak terpikir sebelumnya untuk menjaga stabilitas politik. Hal itu terbukti dengan kesuksesan Golkar pada pemilu 1971.
Reeves juga mengkritik mengenai adopsi konsep Golkar pada Soeharto ini. Pada masa sebelumnya saat ada pemilu, rakyat bisa memilih wakilnya dengan dwi-coblos. Coblos pertama adalah untuk partai, dan coblos kedua untuk memilih wakil kalangannya di golongan karya.
“aspek perwakilan tidak pernah diperhatikan oleh Soeharto. Tidak ada usahanya dalam pemilu. Pemilih [semestinya] bisa memilih golongannya untuk wakil tani, wakil buruh, dan sebagainya,” terang Reeves.
“Dalam Pemilu, orang langsung memilih Golkar sebagai kesatuan, bukan golongan-golongan karyanya. Mereka memilih daftar calon yang tentunya sudah ditentukan pusat Golkar dan pembinanya, Soeharto.”(*)
National Geographic Indonesia