Alma’a Cinthya Hadi*
PIRAMIDA.ID- Islam adalah agama dengan jumlah pemeluk terbesar di Indonesia, hal ini mempengaruhi iklim hukum di Indonesia untuk menentukan beragam aktivitas masyarakat salah satunya adalah merokok. Seperti yang kita tahu Indonesia memiliki beberapa organisasi masyarakat islam yang masing-masing memiliki tata aturan hidup. Beberapa ormas besar di antaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Perdebatan halal dan haram rokok telah ada sejak ia muncul hingga kini, hal ini tak lepas dari manfaat dan mafsadat (kerusakan) yang ada pada sebatang rokok. Terlebih sebagai umat yang beragama tentu menjadikan agama sebagai rujukan dalam mengatasi segala masalah kehidupan dalam rangka menempuh kehidupan yang ‘lurus’ sesuai dengan ‘Jalan Tuhan’.
Di Indonesia, fatwa tentang rokok memiliki hukum yang berbeda-beda, hal ini karena perbedaan tafsir dan pemikiran yang terjadi diantara para ulama. NU dalam fatwanya membolehkan anggotanya merokok, bahkan rokok telah membudaya dan merekatkan masyarakat.
Mayoritas pondok pesantren yang ada di Jawa Timur memiliki relasi erat dengan rokok, umumnya kyai dan santri saling joinan rokok ditemani kacang dan secangkir kopi. Pada beberapa kesempatan bahkan rokok justru dijadikan berkatan dalam slametan.
Sedangkan Muhammadiyah memilih untuk mengharamkan rokok. Alasan pengharaman ini karena merokok dianggap perbuatan mencelakakan diri sendiri dan kesehatan menjadi terganggu. Alasan kesehatan ini umum sekali kita dengar bahkan menjadi alasan utama seseorang mendiskriminasi perokok. Padahal merokok tak bisa dijadikan faktor tunggal penyebab timbulnya penyakit.
Tak sampai disitu, rokok juga dituding jadi biang keladi kemiskinan. Isu bahwa rokok bisa memiskinkan ini saya kira berlebihan. Sejatinya kegiatan membeli rokok secara ekonomi ini hanya berbicara tentang prioritas seseorang dalam belanjanya. Kemiskinan juga tidak terjadi karena satu faktor. Ada beberapa variabel yang menciptakan kemiskinan. Misal karena sedikitnya lapangan pekerjaan, kurangnya akses pendidikan, dan lainnya.
Bicara rokok berarti membicarakan sesuatu yang kompleks karena akan beririsan dengan banyak lini kehidupan. Lalu, bagaimana dengan lembaga berbasis keagamaan yang memiliki legitimasi kuat dalam menghukumi rokok?
Terlepas dari perbedaan sudut pandang tentang cara beragama, umat Islam dipayungi oleh lembaga yang sama. Sebuah lembaga besar yang berisikan para ulama Indonesia merumuskan hukum-hukumnya. Ialah Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
Dalam melihat isu rokok, MUI lebih lentur dibandingkan Muhammadiyah. Melalui Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III, ditetapkan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan merokok di tempat-tempat umum. Artinya, di luar itu merokok bukanlah masalah.
Fatwa MUI tentang rokok ini menjadi jalan tengah atas kontroversi rokok yang selama ini ada di kalangan masyarakat beragama, terlebih NU dan Muhammadiyah. Jika dianalisa dari fatwa MUI tentang rokok ini, pengecualian rokok terhadap anak-anak dan ibu hamil adalah jalan tengah yang tepat, namun untuk pelarangan merokok di tempat umum menjadi persoalan baru karena minimnya ruang merokok.
Hal tersebut membuat stigma negatif masyarakat tentang rokok menguat. Maka dari itu fatwa MUI tentang rokok sekaligus menjadi pioneer untuk perwujudan ruang-ruang merokok. Dengan adanya ruang merokok, perokok bisa nyaman dalam kegiatan sebatsnya. Para non perokok pun lebih nyaman.
Selain alasan itu, ketersediaan ruang merokok juga sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat (1) tentang Kesehatan yang berbunyi: Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Allamah Syaikh Abdul Ghani an Nabilisi berpendapat bahwa larangan tentang rokok tidak secara langsung ada di dalam al-qur’an maupun hadis. Rokok juga tidak serupa seperti khamr yang memabukkan.
Menurutnya, merokok tidak menyebabkan hilang akal dan badan masih bisa bergerak. Merokok juga tidak menyebabkan takhdir yaitu hilangnya akal disertai dengan lemas. Sedangkan israf atau mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan itu tidak hanya terjadi pada rokok. Perihal seseorang yang pertama kali mengkonsumsi rokok menjadi mual juga tidak dapat menjadikan rokok haram. (Yusuf Qardawi: 1995, 826-827)
Kyai Said Aqil Siroj menghukumkan merokok adalah mubah atau boleh selagi hal itu membawa manfaat. Saya kira manfaat rokok sudah terbukti terlebih di bidang ekonomi, yakni rokok menjadi pemasukan pajak terbesar ke negara.
Pendapatan negara dari duit rokok pun seharusnya dapat dirasakan di berbagai lini kehidupan mengingat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) lebih banyak disalurkan untuk memfasilitasi kesehatan masyarakat. Jadi, perokok atau bukan perokok seharusnya sama-sama bisa menikmati fasilitas kesehatan.(*)
Penulis merupakan pejalan kaki dan kontributor di Komunitas Kretek Indonesia. Pertama kali dipublikasi untuk Komunitas Kretek Indonesia.