PIRAMIDA.ID- Pada awal 2020 saat corona merebak, sejarawan bernama Verena Krebs menghabiskan beberapa bulan di rumah orangtuanya di pedesaan Jerman. Sambil menunggu karantina wilayah Jerman, ia menyelesaikan buku tentang sejarah akhir abad pertengahan Ethiopia.
Krebs tahu bahwa sumber bukunya bertentangan dengan narasi dominan yang menempatkan Eropa sang penolong Ethiopia yang membutuhkan. Seperti kerajaan Afrika yang mati-matian mencari teknologi militer yang lebih canggih kepada Eropa. Krebs khawatir bukunya akan mengubah interpretasi abad pertengahan. Akan teapi, ia melakukan sesuatu yang radikal.
Alih-alih mengubah apa yang sudah ditulis, Krebs memutuskan untuk mengikuti sumbernya dan menyelesaikan buku bernama Medieval Ethiopian Kingship, Craft, and Diplomacy with Latin Europe yang terbit pada awal tahun ini.
Cerita ini membalik naskah lama. Dalam narasi tradisional, cerita berpusat di Eropa dan menempatkan Ethiopia sebagai negara pinggiran dengan kerajaan Kristen yang terbelakang dalam teknologi. Akan tetapi, Krebs mampu menampilkan kekuatan Ethiopia.
Narasi tradisional menekankan Ethiopia lemah dalam kesulitan menghadapi agresi dan kekuatan eksternal, terutama Mamluk di Mesir. Akibatnya, Ethiopia mencari bantuan militer dari rekan-rekan Kristen mereka ke utara seperti kerajaan Aragon yang berkembang (Spanyol moderen), dan Prancis. Namun, kisah nyata terkubur dalam teks-teks diplomatik abad pertengahan dan belum disatukan oleh para sarjana moderen.
Raja-raja Solomon di Ethiopia, dalam cerita ulang Krebs, menjalin hubungan trans-regional. Mereka “menemukan” kerajaan-kerajaan Eropa abad pertengahan akhir, bukan sebaliknya. Orang Afrikalah yang mengirim duta besar ke negeri asing dan jauh pada awal abad ke-15.
Mereka mencari keingintahuan dan relik suci dari para pemimpin asing yang bisa menjadi simbol gengsi dan kebesaran. Pada awal Abad Penjelajahan, ada narasi yang menggambarkan penguasa Eropa sebagai pahlawan karena mengirimkan kapal mereka ke negeri asing. Sementara Krebs justru menemukan bukti bahwa raja-raja Ethiopia mensponsori misi diplomasi, iman, dan perdagangan mereka sendiri sebelum Eropa memulainya.
Sejarah Ethiopia abad pertengahan tampaknya memiliki cakupan yang lebih luas daripada abad ke-15 dan ke-16. Mereka telah menjalin hubungan dengan Mediterania, yang lebih terkenal sejak awal ekspansi Kekristenan.
Aksum, kerajaan pendahulu yang sekarang kita kenal sebagai Ethiopa, measuki era Kristen pada awal abad keempat. Fakta ini menunjukkan sejarah Kekristenan di Ethiopia jauh lebih awal dari masa kekaisaran Romawi, yang baru masuk Kristen pada abad keenam atau ketujuh.
Dinasti Solomon secara khusus muncul sekitar 1270 di dataran tinggi Tanduk Afrika. Kemudian pada abad ke-15 memiliki kekuatan yang terkonsolidasi lebih kuat di teritori tersebut.
Nama mereka muncul dari klaim keturunan langsung Raja Salomo dari Israel kuno, melalui hubungan dengan Ratu Sheba. Meskipun menghadapi beberapa ancaman eksternal, mereka secara konsisten mereka mengalahkan itu dan memperluas kerajaan mereka sepanjang periode tersebut. Membangun hubungan yang tidak nyaman (meskipun umumnya damai) dengan Mamluk Mesir dan menginspirasi keajaiban di seluruh Eropa Kristen.
Pada saat inilah, kata Krebs, para penguasa Ethipia melihat kembali ke Aksum dengan nostalgia.
“Ini adalah Renaisans kecilnya sendiri, jika anda mau, di mana raja-raja Kristen Ethiopia secara aktif kembali ke Zaman Kuno Akhir dan bangkan menghidupkan kembali model antik akhir dalam seni dan sastra, untuk menjadikannya milik mereka,” ucap Krebs di laman Smithsonian.
Eropa, kata Krebs, bagi orang Ethiopia adalah tanah yang misterius dan bahkan mungkin sedikit biadab dengan sejarah yang menarik, dan yang penting, barang-barang suci dapat diperoleh raja-raja Ethipia dari sana.
Mereka tahu tentang Paus, katanya. “Tapi selain itu, ini adalah Frankland. (Orang Ethiopia abad pertengahan) memiliki istilah yang jauh lebih tepat untuk Kekristenan Yunani, Kekristenan Siria, Kekristenan Armenia, Koptik, tentu saja. Semua gereja Ortodoks dan Ortodoks Oriental. Tapi semua orang Kristen Latin (bagi orang Ethiopia) adalah Frankland.”
Buku itu sudah berdampak pada kehidupan di luar akademi. Solomon Gebreyes Beyene, seorang peneliti dari Ethiopia sekarang di Universitas Hamburg mengatakan.
“Kebanyakan orang Ethiopia biasa yang telah menyelesaikan sekolah menengah dan bahkan universitas telah mengetahui bahwa Ethiopia menerapkan kebijakan pintu tertutup di Abad Pertengahan. Atau, paling tidak mencari bantuan militer dan senjata dari utara” katanya.
Buku Krebs mengubah semua itu, katanya. Ini membuka periode dan memungkinkan cendekiawan Ethiopia dan masyarakat umum untuk mempelajari lebih lanjut tentang sejarah diplomatik yang mulia dari sejarah abad pertengahan.
Krebs tidak puas hanya duduk dan melihat apa yang terjadi selanjutnya. Dia tetap fokus tidak hanya mengubah sejarah Ethiopia, tetapi juga memastikan bahwa cerita mereka diintegrasikan ke dalam cerita abad pertengahan, terutama abad ke-15.
“Raja-raja yang melihat diri mereka sebagai pusat alam semesta, yang duduk di Dataran Tinggi di Tanduk Afrika ini, dan menganggap diri mereka bukan hanya pewaris Raja Salomo yang alkitabiah, tetapi juga sebagai raja pertama di Bumi,” tutur Krebs. “Jadi maksud saya, itu hanya mengubah cara kita perlu membaca, dalam hal ini, interaksi Afrika-Eropa.”
Mengikuti sumber Krebs, cukup jelas bahwa dunia abad pertengahan jauh lebih luas dan lebih luas daripada yang diperkirakan banyak orang.(*)
National Geographic Indonesia