PIRAMIDA.ID- “Sejarah itu bersajak”, ujar Mark Twain. Walau sejarah tak bisa terulang kembali. Sekarang, ke mana dan di mana kita menghadap? Ya, dalam ruang dan bidang. Selagi kita terkurung dalam satu ruang, maka ruang itulah yang dianggap besar dan jumawa. Namun, ketika kita berani menghadap ke ruang-ruang jauh, ruang baru, maka ruang yang tengah mengelilingi kita saat ini, sebenarnya tak lebih dari kangkang ketiak semata.
Selama ini kita terkurung dalam bidang yang “mematikan” impian dan cita-cita. Imajinasi kita terbatas dan sebatas ruang yang kita toleh dari tingkap rumah. Lalu, kenapa ini terjadi? Ya, karena pemikiran yang tertutup (close minded), tidak dengan fikiran yang terbuka (open minded). Cara kita berfikir, menunjukkan pula, cara bagaimana sejarah itu “mensajakkan” dirinya sendiri
Untuk meloncat keluar dari kangkangan ketiak itu, mau tak mau kita harus mulai belajar berfikir di luar bingkai, di luar frame. Melontarkan “badan fikiran” di luar tembok yang tinggi dan kaku. Dengan cara demikianlah kita bisa menyapa ruang-ruang jauh dan ruang-ruang baru.
Sejarah tentang “kebesaran”, dan kebesaran sejarah, selalu melekat dengan pencarian, penemuan ruang-ruang baru. Columbus; sejarah penemuan tanah baru Amerika. Ibn Batutah; perjalanan ke tanah-tanah Timur, Vasco da Gama, Magellhaen dan sederet nama dalam Ekspedisi Tiongkok seperti Cheng Ho. Bagaimana bisa tahu tentang kenyataan ruang-ruang baru? Tiada lain dengan tindakan berjalan dan berkelana, bertualang, baik secara nyata maupun maya melalui pembacaan bidang peta, dengan pikiran besar dan cerdas. Lakukanlah simulasi tentang apa yang mau dibangun, tentang apa-apa yang hendak ditegakkan di atas ruang baru itu. Lalu, berimajinasilah tentang sesuatu yang baru, yang dianggap belum pernah ada selama berlangsung pembangunan di atas ruang-ruang lama sebelumnya. Di situ manusia mengukir sejarah.
Sejarah hanya bisa disajakkan, ketika dia punya tanda dan penanda. Tanda bisa dalam wujud memorial, monumen. Penanda bisa dalam bentuk petunjuk simbolik, makna semantic, makna alegorik sebidang teks manuskrip, tumpukan perlambang puisi, karya sastra lisan dan tulisan, hikayat, syair dan lukisan, maujud dari artefaktual seperti arca, patung, juga sejumlah kuil tua yang tertimbus zaman dan lempung.
Sejarah mau tak mau senantiasa melibatkan orang-orang. Selain orang, sejarah juga melibatkan makhluk sekitar, tempat di mana sejarah itu ditegakkan. Sejarah bertani, di zaman generasi kedua Adam (Habil), melibatkan sebidang ruang, jenis jerami dan tanaman. Sejarah pelancongan dan mengelilingi dunia yang dilakukan oleh generasi Adam yang ke 5 bernama Idris (Enokh) juga melibatkan Malaikat. Sejarah penjinakan kuda liar menjadi makhluk yang bisa ditunggangi oleh Ismail putra Ibrahim, juga melibatkan hewan. Walhasil, sejarah adalah serangkaian tindakan yang melibat; dan berujung pada akibat. Hasil dari pelibatan itulah yang dinamai akibat: panen. Idris: peta dunia dan astronomi, kuda: jinak dan boleh ditunggangi.
Sejarah di awal-awal sejarah manusia, menemukan ruang baru lewat kelana melintas gurun dan benua. Ingat Ibrahim yang melintasi wilayah yang amat jauh (15000 Km) dari Ur selatan Iraq sampai Batas Turki, lalu melintas masuk ke Mesir, kemudian berhenti di Hebron (Hibrum), masuk Hijaz (Makkah) dan wafat di Hibrum, walau dia menghabiskan sisa masa tuanya di kawasan peternakan Bersheba (Bir as Sbahi) yang kaya air.
Begitu pula Musa, Harun. Lintas laut terkode dalam sirah perjalanan Khaidir, Yunus. Untuk mengukir sejarah dan menemukan ruang-ruang baru yang dilakukan oleh manusia di pertengahan sejarah, orang lebih lasak melakukan pelintasan samudera (Columbus, Vasco da Gama, Cheng Ho). Sejarah hari ini, tak bisa lagi dilayani dengan cara menemukan tanah-tanah baru (terra incognita). Sejarah hari ini adalah persoalan kreativitas. Manusia dihadapkan dengan serangkaian tanah-tanah lama yang telah ditemukan, namun banyak yang terbengkalai, tidak diisi dengan sejumlah makna. Kemampuan memberi makna dan mengisi makna.
Hadirkan ruang baru dan sekaligus memuliakan ruang-ruang lama, sebagai perjalanan kreatif karya manusia di muka bumi. Dia nantinya akan bertindak selaku warisan kepada dunia, kepada bangsa atau paling tidak kepada suku pemulia kebudayaan sendiri.
Lalu, siapa yang bisa menggores ruang-ruang baru itu? Hanya ada jenis figur yang bisa melakukan tetak-tetau sebuah ruang baru: penguasa dan pengusaha. Namun, jika penguasa atau pengusaha itu berada dalam cengkeraman “gaya kapitalis”, maka akan terjadi eksploitasi sumberdaya alam. Sebab, alam hanya dilihat sebagai penyedia sumberdaya. Bukan sesuatu nan suci (holy).
Ruang jauh dan baru itu, hanya diadakan dengan satu maksud: demi penaikan arasy kehidupan rakyat jelata. Menyelesaikan satu penyelesaian naratif yang sudah bertahun-tahun diidap; bernama kemiskinan struktural, baik vertikal maupun horizontal. Pemimpin yang berkuasa mestilah melayani kepentingan orang-orang yang berada di ruang-ruang jauh itu. Dia diangkat dan ditabal sebagai pemimpin, demi membawa perubahan, membawa kemajuan dan peningkatan kapasitas hidup masyarakat. Maka, pemimpin jenis pendobraklah yang bisa membawa perubahan yang biasa-biasa ke bentuk perubahan yang luar biasa.(*)
Tulisan pertama kali terbit untuk Pojok Seni.