PIRAMIDA.ID- Universitas Indonesia (UI) boleh jadi masih menjadi perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Kampus yang berlokasi di Depok, Jawa Barat, tersebut juga merupakan cikal bakal sejumlah perguruan tinggi negeri di negeri ini.
Cikal-bakal terbentuknya perguruan tinggi di Indonesia adalah ketika pemerintah kolonial Belanda ingin mendirikan sebuah sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan asisten dokter tambahan.
Sekolah yang secara resmi bernama Dokter-Djawa School tersebut dikhususkan bagi mereka yang ingin mendalami ilmu kedokteran, tepatnya pendidikan tenaga mantri.
Setelah sempat mengalami perubahan nama di akhir abad 19, tepatnya di tahun 1898, nama Dokter-Djawa School berubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (School of Medicine for Indigenous Doctors) atau dikenal juga sebagai STOVIA.
Awalnya status STOVIA tidak lebih dari sekolah menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun.
Namun STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun, dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera).
Setelah sukses dalam memberikan pendidikan bagi calon dokter di Indonesia, akhirnya pemerintah Belanda kembali membangun empat sekolah tinggi lainnya di beberapa kota di Pulau Jawa.
Sekolah tinggi tersebut adalah Technische Hoogeschool te Bandoeng (Fakultas Teknik) yang berdiri pada 1920, Recht Hoogeschool (Fakultas Hukum) di Batavia pada 1924, Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan) di Batavia pada 1940, dan setahun kemudian Faculteit van Landbouwweteschap (Fakultas Pertanian) berdiri di Bogor.
Kelima Sekolah Tinggi itulah yang menjadi pondasi dalam mendirikan Nood-Universiteit atau Universitas Darurat pada tahun 1946 oleh pemerintah kolonial Belanda, dan setelah berjalannya waktu berganti nama beberapa kali, kemudian diberi nama Universiteit Indonesia pada tahun 1950.
“Disebut sebagai universitas darurat karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan,” ungkap Purnawan Basundor, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR)
Seiring dengan berjalannya waktu, Universitas darurat tersebut membentuk beberapa fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran, Sastra dan Filsafat, serta Hukum di Jakarta, Fakultas Pertanian di Bogor, Fakultas Tekhnik di Bandung, Fakultas Ekonomi di Makassar, dan Fakultas Kedokteran Gigi di Surabaya.
Secara kebetulan, hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh Belanda pada masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Garis imajiner tersebut secara politis telah membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
“Pendirian beberapa fakultas di kota yang berbeda, secara politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan cukup kuat,” ucap Purnawan.
Fakultas yang berkembang menjadi perguruan tinggi besar
Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia. Dengan penyerahan kedaulatan itu, maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia.
Sementara itu, UI secara resmi memulai kegiatannya pada 2 Februari 1950 dengan presiden (saat ini disebut rektor) pertamanya Ir. R.M. Pandji Soerachman Tjokroadisoerio. Kantor Presiden Universiteit Indonesia mula-mula berkedudukan di Jakarta, tepatnya di jalan Salemba.
“Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat, Istilah-istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia,” beber Purnawan.
Para pendiri bangsa menilai pendidikan tinggi bisa menjadi salah satu perekat bangsa, oleh karena itu antara tahun 1950-an sampai tahun 1980-an pemerintah Indonesia menggenjot pendirian universitas-universitas di hampir semua provinsi di Indonesia.
Di beberapa kota besar yang merupakan simpul ke-Indonesiaan, diusahakan pula berdiri satu perguruan tinggi negeri.
Kelak fakultas-fakultas Universitas Indonesia menjadi perguruan tinggi seperti Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dan Universitaire Instituut van Tandheelkunde (Lembaga Kedokteran Gigi) di Surabaya, yang menjadi Universitas Airlangga atau Unair pada 1954.
Kemudian, Faculteit der Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi) di Makassar dilepaskan dan menjadi bagian dari Universitas Hasanuddin atau Unhas 1956. Adapun Fakultas Teknik dilepas dan digabung dengan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB pada 1959.
Sementara itu, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Fakultas Peternakan dan Perikanan Laut di Bogor, dilepas dan digabung menjadi Institut Pertanian Bogor atau IPB University pada 1963.
Pada 1964, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, dan kini berubah kembali menjadi Universitas Negeri Jakarta.
“Pada periode ini bangsa Indonesia telah mengukuhkan bahwa universitas yang sudah tersebar di banyak kota besar merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka,” tegas Purnawan.
Peran perguruan tinggi dalam kemajuan bangsa
Peran penting perguruan tinggi pada awal kemerdekaan selain menjadi simbol persatuan bangsa juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang berkepanjangan.
Pada tahun 1951 ketika pemerintah menghadapi desakan karena kekurangan tenaga guru SMA di luar Jawa, perguruan tinggi di Jawa secara serentak membentuk proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM).
Selama kurang lebih sepuluh tahun program ini telah mengirim tidak kurang dari 1.600 mahasiswa dari universitas-universitas di Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa. Mereka ditempatkan di sekitar 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar Jawa.
“Keterlibatan secara intensif perguruan tinggi ke dalam dinamika masyarakat telah mengukuhkan lembaga tersebut bukan sebagai menara gading. Perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat, maka apapun yang menjadi keinginan sudah sewajarnyalah dikawal oleh perguruan tinggi,” ungkap Purnawan.
Berkaca pada perjalanan sejarah lembaga tersebut, setiap perubahan besar di Indonesia sekurang-kurangnya melibatkan civitas academica, terutama sejak pendidikan tinggi mulai eksis. Maka tidak mengherankan jika goncangan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an juga melibatkan perguruan tinggi.
Hal ini juga terlihat dari gerakan anti modal Jepang yang didengungkan oleh mahasiswa pada awal tahun 1970-an, berubah menjadi malapetaka yang hampir saja menghanguskan ibukota negara pada tanggal 15 Januari 1974.
“Peristiwa tersebut harus dipahami sebagai bagian dari sikap kritis civitas academica untuk melakukan berbagai ketidakberesan yang melanda bangsa,” papar dosen Unair tersebut.
Salah satu kendala yang dialami oleh perguruan tinggi pada masa Orde Baru ada sistem operasional yang sangat birokratis. Seluruh dana yang dikumpulkan oleh perguruan tinggi dari masyarakat melalui formula SPP harus disetor terlebih dahulu ke kas negara. Jika perguruan tinggi yang bersangkutan membutuhkan dana mereka harus menunggu penjatahan (dropping) terlebih dahulu dari pemerintah.
Ketika gerakan reformasi berhasil menggulingkan pemerintah Orde Baru, salah satu tuntutan yang mengemuka pada pendidikan tinggi adalah merealisasikan gagasan mengenai otonomi perguruan tinggi. Dari sinilah lahir kebijakan menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
“Inti dari kebijakan ini adalah perguruan tinggi diberi kebebasan untuk mengelola anggaran yang dibutuhkan tanpa campur tangan pemerintah. Mereka juga diberi hak untuk mencari dana dari sumber-sumber lain yang syah untuk digunakan sebagai biaya operasional,” jelas Purnawan.
Pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi terbukti mampu menggenjot kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Dari berbagai riset yang dilakukan oleh lembaga internasional beberapa perguruan tinggi masuk ke peringkat dunia.
Hal tersebut membuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi di luar negeri.(*)
GNFI