Reiner Emyot Ointoe*
PIRAMIDA.ID- “Tai lu! Petai ngana!” Tak seorang pun membayangkan bahwa tai itu tak sekedar umpatan dan makian belaka. Pun tak sekedar limbah busuk dan nihil manfaat. Tapi, tai justru punya sejarah pengetahuan sublim pada psikologi politik dan kebudayaan bahkan peradaban.
Atas alasan itu, seorang psikoanalisis asal Perancis, Dominique Laporte, Ph.D (1949-1984) perlu menulis “History of Shit” (Sejarah Tai) — edisi Perancis (Histoire de la Merde, 1978).
Buku yang menguliti sejarah peradaban dari perspektif psikoanalisis Freud ini ditulis setelah Laporte ikut dalam revolusi mahasiswa tahun 1968 dan juga di tengah merebaknya wabah AID.
Seperti juga sejarah berdirinya WTO (World Toilet Organization) oleh Jack Sim di Singapura pada 2001 silam, sejarah tai memiliki pengaruh yang luas pada proses menurunnya mutu alat penciuman (olfactory) sebagai pelecut dan penggerak dinamika mentalitas aktual.
Dalam semua proses aktivitas kebudayaan manusia, selain penglihatan, sensasi psikis penciuman menjadi faktor yang ekspresif untuk mengenal keganjilan atas hak milik personal (baca: property right of shit) yang sejak dari siklus produksi ke konsumsi dan kembali sebagai paska produksi pada seluruh tatanan industri pencernaan.
Tak heran, dalam bukunya “On Belief” (terjemahannya: Tentang Kepercayaan Agama, 2001), filsuf Slovenia, Slavoj Zizek — dengan ikut mengutip Laporte — mengulas dalam suatu bab (2) dengan judul: “Anda Seharusnya Memberi Seonggok Tai”.
Dengan mengaitkan teori sublimasi Freud, tafsir Zizek atas tai adalah sebagai hadiah paling agung yang mula-mula diberikan sang bayi kepada ibunya. Karena tai itu bagian dari sublimasi dan pengulangan dari kompleksnya proses reproduksi hadirnya seorang bayi.
“Tahi itu berasal dari sumber ‘pedalaman’ yang paling rahasia dan tak teraba oleh indra penglihatan,” demikian kata Zizek.
Bukankah tai itu — selain reproduksi kultural — adalah industri tubuh domestik manusia. Bahkan dalam alam, tai diibaratkan dengan lava sebagai tai bumi yang diproduksi oleh gunung berapi.
Antara Laporte, Zizek, dan Sim si penggagas “organisasi toilet sedunia” (wadah yang memproses bagaimana tai bisa dikelola sebagai rekreasi) hendak menunjukkan betapa reproduksi benda-benda (order of things, istilah Foucault) — limbah maupun kapital — selalu memiliki dialektika kreatif sebagai potensialitas alami.
Produksi, reproduksi, dan paska produksi bukan sekedar sebuah siklus dan daur (recicling) pada penataan materi belaka. Karena pada setiap proses, terutama “menghadiahi” seonggok tai, terdapat suatu interaksi yang melibatkan banyak faktor yang umumnya tak pernah disadari.
Akibatnya, krisis sensasi penciuman pun bisa membatalkan banyak hal dalam proses keadaban kita.
“Tai lu. Petai ngana,” memangnya umpatan ini juga sekedar sebuah seloroh?
Padahal, sekali lagi, itu diproses dari suatu ‘pendalaman’,” kata Zizek.
Penulis merupakan pegiat literasi dan media sosial.