Ados Aleksander Sianturi*
PIRAMIDA.ID- Merujuk pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi, yang disahkan melalui UU No.7 tahun 2006 yang menerangkan bahwasanya korupsi bukan hanya dipahami sebagai penyalahgunaan anggaran negara oleh pejabat demi kekayaan pribadi mereka, melainkan dapat juga dilihat sebagai tindak penyalahgunaan anggaran negara yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Ditinjau dari sektor ekonomi, korupsi mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan ekonomi di suatu negara. Semakin banyak tindak pidana korupsi semakin besar peluang terjadinya kebobrokan ekonomi.
Akan tetapi apabila tindak pidana korupsinya kecil, dengan sendirinya akan menggalang kepercayaan rakyat maupun investor-investor di suatu negara yang tentu akan membantu ekonomi untuk berkembang.
Tinjauan di atas hanya masih pada sektor ekonomi. Masih banyak sektor-sektor lain yang dapat menjelaskan urgensi pembentukan lembaga anti rasuah dalam suatu negara. Dalam hal ini Indonesia membentuk suatu lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga ini bersifat independen dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun.
Berbagai prestasi sudah diraih oleh KPK yang menjadi prestise bagi rakyat maupun KPK itu sendiri. Penyelidikan demi penyelidikan sebagai bukti keseriusan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berhasil dilancarkan dengan hasil yang bisa dikatakan cukup melegakan dahaga.
Hingga akhirnya polemik-polemik pun tumbuh dan mengakar pada tubuh KPK dengan adanya campur tangan dari elit-elit penguasa dari luar tubuh KPK.
Tahun 2019 menjadi tahun monumental pada perjalanan panjang KPK sejak dibentuk pada era reformasi tahun 1998. Adanya agenda terselubung yang digadang menjadi agenda pelemahan KPK pun mulai bertaji.
Yang mana pada tahun tersebut pemerintah mengeluarkan Revisi UU KPK yang didalamnya terdapat beberapa pasal kontroversial yang memangkas beberapa kewenangan dan secara otomatis mengurangi ruang gerak KPK untuk memberantas korupsi itu sendiri. Tak hanya itu, Revisi UU KPK ini menggadang peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Sejak revisi UU KPK disahkan oleh DPR pada 17 September 2019, kecaman keras datang dari berbagai elemen masyarakat terutama mahasiswa dengan melancarkan gelombang aksi sebagai bentuk keprihatinan terhadap problem yang menimpa KPK. Akan tetapi aksi-aksi tersebut seakan tak mendapat tanggapan serius dari pihak terkait dan perubahan UU KPK terus berlaku.
Kehancuran KPK bermula dari sini. Disetting secara terstruktur dan terorganisir merupakan pilihan kalimat yang menurut saya cocok dalam situasi ini. Berjalannya revisi UU KPK selama 2 tahun belakangan ini sangatlah berpengaruh pada kinerja KPK. Akibatnya KPK seolah-olah menyerang dirinya sendiri secara perlahan.
Salah satu kunci keberhasilan KPK dalam menjalankan tugasnya adalah posisinya yang bersifat independen. Hal ini tidak dapat dibantah karena dalam posisi ini KPK dapat bergerak bebas menindak siapa saja yang melakukan tindak pidana korupsi tanpa memikirkan siapa-siapa karena tidak adanya keterikatan dengan pihak manapun.
Akan tetapi pada tanggal 3 Mei 2021, digelar rangkaian pelaksanaan tes mengenai pengalihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Para pegawai KPK dihadapkan dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang beberapa soal di dalamnya terkesan tendensius. Alhasil, sebanyak 75 pegawai KPK terjaring dan dinyatakan tidak lulus.
75 pegawai ini adalah hanya sekelumit saja mengingat pegawai KPK yang mengikuti tes adalah sebanyak 1.351
Konyolnya, di antara 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus ini adalah mereka yang sudah dan sedang menangani kasus-kasus kelas kakap. Contohnya seperti kasus korupsi bansos Covid-19 oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara dan suap benur di KKP. Salah satu pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus adalah penyidik senior Novel Baswedan yang telah merelakan bola matanya demi memberantas kasus korupsi di negara ini.
TWK ini seakan jebakan halus yang dibuat oleh para elite yang merasa berbeda spektrum politik dengan para penyidik KPK yang notabenenya sudah cukup senior dalam menangani kasus-kasus korupsi di negeri ini.
Peristiwa ini diikuti dengan permohonan uji formil UU KPK kepada Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah eks pimpinan KPK dengan tidak mengatasnamakan lembaga melainkan atas nama pribadi sebagai warga negara. Alhasil, permohonan tersebut ditolak.
Problematika yang sedang berlangsung di tubuh KPK ini, apabila secepatnya tidak mendapat penanganan yang serius jelas akan membunuh peran KPK secara perlahan. Gedung megah KPK akan menjadi seperti manusia yang tidak bernyawa tetapi masih bernafas.
Peranan KPK yang begitu penting dalam mewujudkan mimpi Indonesia sebagai negara maju dan berdaya saing tinggi sangatlah besar. Hendaknya pemerintah Indonesia yang dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo mesti mengambil tindakan konkret secepatnya apabila memang KPK ini masih dibutuhkan keberlangsungannya.
Apabila tindakan tersebut terealisasi, maka papan bunga yang bertuliskan “Selamat Jalan KPK!” tidak akan pernah ada.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa FKIP Universitas Jambi. Kader GMNI Jambi.