Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Ada saatnya saya selalu mengalami flu pada pagi hari. Bahkan sudah sekian tahun. Kadang perasaan flu itu tak tertahankan dan jalan keluarnya tidak selalu saya pilih dengan memakan obat. Saya selalu memilih tenang jika flu tak lagi tertahankan; tenang sambil merebahkan tubuh dan pikiran.
Keputusan untuk tenang bersumber dari pikiran. Bukan dari tubuh yang bisa kelelahan karena dipengaruhi efek flu itu. Lalu, memang saya lumayan lama menerima satu pemahaman jika pikiran dapat memerintah tubuh. Sekali lagi, bukan sebaliknya: tubuh mengatur pikiran!
Nah, kita mau mengenal pikiran itu ketika situasi flu seperti memberikan interupsi. Pikiran saya merasa selalu sehat tanpa flu, meskipun potensi tidak sehat lainnya dapat muncul dari sejumlah emosi negatif. Termasuk flu mungkin bisa muncul karena emosi negatif tertentu, selain kondisi ruang dan tempat kita tinggal, istirahat, atau bekerja. Debu yang terhirup sudah pasti bisa bikin flu, meskipun tak selalu terhindarkan di wilayah perkotaan.
Seminggu saja kita tidak membersihkan sudut-sudut rumah tempat tinggal kita, debu-debu sudah menempel. Mungkin terkecuali di rumah-rumah yang memiliki petugas kebersihan atau pembantu rumah tangga.
Bagaimana dengan kita yang hanya membersihkan debu menjelang akhir tahun?
Debu-debu dapat dibersihkan setiap saat sampai nodanya hilang. Lalu akhir tahun terasa menyenangkan untuk dilewati. Tahun depan debu itu datang lagi dan dibersihkan lagi. Bahkan untuk membersihkan debu-debu itu tidak perlu minta maaf, karena hanya masalah teknis atau rutinitas.
Di dalam rumah tempat tinggal sungguh banyak debu jika tidak dibersihkan setiap hari. Setiap hari kelihatan standar seperti kebersihan kamar hotel dan restoran.
Hari ini tak sengaja juga saya membersihkan debu-debu yang saya lihat menempel di rak buku dan sekitar jendela. Upaya pembersihan saya sebut tak sengaja bukan berarti tanpa keinginan.
Namun dorongannya saja yang ingin menegaskan ketidaksengajaan itu. Begitulah kadang yang muncul, apalagi dua hari flu sempat mulai mengganggu konsentrasi.
Noda Batin seperti Debu
Pikiran yang tenang dapat juga menenangkan badai di dalam tubuh. Badai itu seperti kegelisahan untuk berbuat banyak hal, baik ingin menyelesaikan berbagai agenda maupun gagasan beraneka macam. Kadang satu per satu tak dapat diselesaikan kalau daya konsentrasi menurun. Apalagi kalau sampai kehilangan semangat.
Seperti biasa pagi harinya saya mengambil bacaan yang dapat menenangkan saraf. Saya ambil tiga judul dan salah satunya berjudul: Batin Mengatasi Nodanya. Buku tersebut buku Budhis dan ditulis oleh Acharya Buddharakkhita (Karaniya, 2007).
Sebagai manusia biasa, saya tahu juga punya noda. Atau dosa menurut agama. Atau salah menurut sosial. Lalu kesempatan untuk membaca buku itu lagi sepertinya sangat tepat sebelum melangkah ke tahun 2021.
Dari pengantar sampai pendahuluan buku itu saya membaca perlahan sambil melakukan identifikasi atas noda tertentu yang ada dalam diri saya. Noda itu mungkin melemahkan dan akan terus mempengaruhi otak dan pikiran saya.
Di bagian pengantar kalimat menarik tertentu adalah: “Sebuah daftar lengkap kiasan-kiasan terhadap noda batin hanya akan menjadi latihan akademik semata dan tidak ada gunanya.” Sudah pasti kalimat itu tidak saya pahami di awal membaca buku itu waktu baru beli. Sedangkan di bagian pendahuluan kita diajak untuk semakin memahami jika noda batin itu memang ada.
Memasuki bagian pertama buku saya berhenti pada dua halaman dan tiba-tiba berhenti setelah menangkap cara mengatasi noda batin melalui tujuh jalan; pandangan terang, pengendalian diri, penggunaan yang bijaksana, kesabaran, penghindaran, penghapusan, dan pengembangan. Ketujuh jalan itu dijelaskan sampai halaman 17.
Merasa tak perlu lagi memahami ketujuh jalan itu, dorongan tak sengaja untuk membersihkan debu di rak buku dan sekitar jendela tiba-tiba muncul. Semalam debu itu bahkan kelihatan sudah menempel dan hitam di salah satu folder dokumen.
Debu lain semalam malahan sudah membuat jorok jemari saya ketika membolak-balik sejumlah majalah arsitektur. Dorongan tak sengaja untuk menyingkirkan semua debu itu sekaligus menguji upaya saya melihat noda yang belum terdeteksi dalam diri.
Waktu – Ruang – Antarsesama
Saya juga berusaha tidur siang jika berkesempatan bekerja di rumah atau jika dapat mengatur waktu di penginapan. Namun tidur siang itu dapat tertunda dan tidak sampai mengganggu konsentrasi.
Pada lebih tiga jam membersihkan debu rasa kantuk mendorong saya untuk melakukan tidur siang. Kemudian setelah bangun membeli lauk untuk makan siang. Lalu setelah makan ada rasa malas untuk melanjutkan pembersihan. Apakah saya masih kurang tidur?
Saya membuka judul lain dari 3 buku itu; Ilmu Ekonomi Kehidupan (2013). Buku itu ditulis oleh Shih Cheng Yen, master dan pendiri Komunitas Tzu Chi yang tetap melihat perkembangan dunia dari Taiwan. Karena buku itu saya baca untuk kedua kali, saya mencoba lebih lambat menikmati kalimat-kalimat dan uraiannya.
Di halaman 18 saya kembali menghentikan pembacaan dengan mencermati perkataan salah satu murid Budha: “Kehidupan berada di antara tarikan nafas.”
Cukup dulu! Saya mencoba meraih hp dan membuka jaringan data seluler. Lalu menangkap inti dan membuat judul tulisan ini sebagaimana adanya.(*)
Penulis merupakan sastrawan Sumatera Utara. Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).