Hasrul Hanif*
PIRAMIDA.ID- Di tengah sengkarut penanganan pandemi COVID-19, publik menyaksikan para elite politik yang sedang berkuasa dan bertugas mengambil keputusan saling melempar kesalahan atau menghindar untuk disalahkan.
Strategi politik seperti ini mudah kita jumpai baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, mulai dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang kesal pada para menteri yang tidak serius bekerja, Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang mengatakan kementerian kesehatan tidak transparan, hingga Wali kota Surabaya Tri “Risma” Rismaharini yang menolak disalahkan terkait rumah sakit penuh.
Permainan melempar kesalahan (blame game/blame avoidance) oleh para politikus dan pembuat kebijakan ini adalah sebuah strategi politik untuk merawat dukungan publik di tengah krisis yang tidak terkendali.
Publik sayangnya seringkali tidak menyadari permainan yang dilakukan politikus ini. Sikap publik pun tergiring dalam dua titik ekstrim.
Seringkali publik terseret menjadi bagian dari kubu yang saling melempar kesalahan tersebut. Namun, tidak jarang juga publik lebih memilih apolitis dan apatis, dan tidak mau peduli sama sekali dengan kebijakan penanganan krisis yang ada.
Penting bagi publik untuk memiliki kesadaran kolektif dan kritis terhadap politik permainan melempar kesalahan ini agar bisa mendorong kebijakan penanganan krisis yang lebih akuntabel.
“Bukan salah saya”
Berkaca pada pengalaman empiris dan studi-studi sebelumnya, Matthew Flinders, profesor politik dari University of Sheffield, Inggris, menggarisbawahi bahwa publik akan selalu melihat secara kritis atau nyinyir pada setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam krisis.
Sikap ini terjadi tidak peduli pada seberapa cepat dan tanggapnya pemerintah merespons sebuah wabah yang menimbulkan krisis dan kekacauan serta berdampak pada penderitaan dan kematian.
Maka tidak mengherankan bila para politikus atau pembuat kebijakan cenderung menghindari disalahkan atau menghindari untuk menjadi penyebab sebuah kegagalan ketimbang mengklaim sebuah kesuksesan karena alasan yang sederhana.
Alasan itu adalah karena publik memiliki bias negatif: sesuatu atau pengalaman yang bersifat negatif atau traumatik akan cenderung lebih diingat dan dianggap lebih penting dibandingkan yang bersifat netral atau positif.
Christopher Hood, profesor administrasi publik dan pemerintahan di University of Oxford, Inggris, mencatat setidaknya ada beberapa strategi yang digunakan dalam blame game.
Strategi ini bisa kita temui juga dalam proses penanganan COVID-19 di Indonesia.
Pertama, strategi yang terkait cara mempresentasi diri atau manajemen pencitraan agar lebih diapresiasi publik dengan baik dengan cara mengalihkan perhatian publik.
Strategi itu biasanya dilakukan melalui cara meminta maaf, tetap low profile dengan menyeleksi pernyataan, atau diam sama sekali atau menguburkan berita buruk di tengah berita utama lainnya.
Juni lalu, Wali kota Risma bersujud minta maaf di depan para dokter dan menyebut dirinya goblok.
Namun Risma juga sekaligus menolak disalahkan atas ketidakadaan kamar kosong bagi pasien di Rumah Sakit (RS) DR. Soetomo karena dirinya telah merasa menyediakan 200 kamar tidur di RS lain.
Kedua, mendelegasikan atau menggeser kewenangan dan tanggung jawab kepada sebuah badan atau tim tertentu.
Inti dari strategi ini sebenarnya bukan pada pembentukan badan atau tim itu sendiri, namun lebih pada menggeser titik sasaran kepada pihak lain bila terjadi kesalahan dalam proses kebijakan.
Di akhir Juni 2020, Istana merilis video kegusaran Jokowi terhadap para menterinya yang dianggap tidak sigap dalam menangani krisis wabah dan tidak memiliki sense of crisis (kepekaan terhadap krisis).
Dengan kata lain, Istana ingin menunjukkan bahwa presiden sudah sangat serius dalam menangani wabah tapi tidak sepenuhnya dibantu oleh para menteri.
Lalu muncul isu pembubaran lembaga atau perombakan kabinet, khususnya menteri-menteri terkait kesehatan atau ketenagakerjaan. Awal bulan ini, Jokowi mengatakan tidak ada perombakan kabinet.
Dalam konteks hubungan antarlevel pemerintahan, ketika awal wabah, Gubernur Jakarta Anies, menganggap data Kementerian Kesehatan tidak transparan dan membuat pemerintah Jakarta tidak bisa sigap dalam menangani wabah.
Wali kota Risma dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sempat terlibat saling silang pendapat dan melempar tanggung jawab terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pasien rumah sakit di Surabaya, dan hingga mobil bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Ketiga, strategi mengadopsi atau menyeleksi kebijakan yang bisa meminimalisasi atau menghindarkan dari disalahkan.
Di tengah tarik-menarik antara keinginan untuk menjaga roda perekonomian tetap berjalan dan menjaga kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia mengadopsi kebijakan PSBB yang dianggap setengah hati dan kurang efektif oleh banyak pihak.
Mendorong akuntabilitas
Belajar dari pengalaman di atas, publik perlu menyadari bahwa kegagalan atau kesalahan, pada derajat tertentu, merupakan hal yang tak terhindarkan dalam kebijakan penanganan krisis, terlebih ketika pandemi.
Menurut Ashari Cahyo Edi dan Laila Kholid Alfirdaus – ahli studi kebijakan dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro , dalam pandemi, pembuat kebijakan bukan hanya dihadapkan dengan ketidakpastian yang tinggi tapi juga berada dalam dilema menentukan kepentingan antara memperoleh apresiasi publik karena menyelamatkan nyawa tapi mengorbankan ekonomi, atau mencari jalan tengah diantara keduanya.
Perilaku melempar atau menghindari kesalahan seringkali menjadi trik politik yang lebih mudah dimainkan oleh politikus untuk mendapatkan apresiasi dan merawat dukungan publik.
Oleh karena itu, pertama-tama, publik semestinya menyadari bahwa politikus melakukan blame game sebagai bagian dari interaksi antara politikus dengan publik dalam penanganan pandemi.
Dengan menyadari ini, publik dapat menghindari terlarut dalam permainan itu.
Kemudian, alih-alih menjadi apatis atau apolitis, publik harus terlibat aktif mendorong para politikus dan pembuat kebijakan untuk meminimalisasi ketidakpastian dan menyelesaikan dilema-dilema yang ada sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik dalam penanganan pandemik.
Transparansi dan akses informasi, yang memungkinkan publik mengetahui apa yang pemerintah lakukan dan memiliki akses terhadap informasi yang tepercaya, merupakan pintu masuk krusial.
Dengan pengetahuan dan informasi yang dimiliki, publik turut berpartisipasi aktif dan berkolaborasi dengan mereka yang bertanggung jawab dalam pengawasan politik dan para pakar yang memiliki pengetahuan dan informasi atas pandemi yang kompleks.
Sehingga, secara bersama-sama kita berupaya meminimalisasi kegagalan kebijakan dengan memastikan proses kebijakan yang ada dilakukan berbasis bukti, dan capaiannya sesuai dengan tujuan awal dan tepat sasaran.
Penulis merupakan pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Kandidat Ph.D Universitas Sheffield. Artikel ini pertama kali dipublikasi di The Conversation.