Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- “Pernahkah Anda merasa bahwa akhir-akhir ini kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih berlangsung dalam konstruksi Republik?”
Saya kok semakin tidak merasakan itu.
Belakangan ini kita semakin menyaksikan betapa kerja dan sistem beroperasinya negara berlangsung dalam suasana yang begitu “privat” dan komunal. Sifat mengutamakan kepentingan umum (common good) dalam konsep republik beralih lebih pada kepentingan golongan dan modal.
Lihat saja sistem politik, sosial, dan ekonomi kita belakangan ini yang logika dan nalar kebijakannya semata diukur dan dihitung secara kuantitatif dan matematis.
Semua hal dikuantifikasi pada bobot kerangka dan prosedur formalnya tetapi cenderung abai pada kualitas dan esensi kebijakannya.
Dalam rekrutmen kepemimpinan demokratis, misalnya; memilih pemimpin dan wakil Anda untuk diberi amanah dan otoritas kebijakan tidak lagi karena kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Tapi seberapa besar suara yang bisa diperolehnya.
Kebijakan ekonomi yang ditempuh di mana tujuan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan warga sebagaimana diamanatkan konstitusi sering terjebak pada pertimbangan ‘neraca rugi-laba’ bahkan untuk kebutuhan warga negara yang sifatnya mendasar; kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial lainnya.
Perdebatan dan dinamika demokrasi untuk menentukan arah politik dan masa depan bangsa hanya cukup ditampilkan dalam “statistik pembangunan” dan indeks kemajuan tanpa pertengkaran konseptual dan bahkan karena fasilitas itu berbalik mendikte ide dasar tentang republik.
Di sisi lain, bangkitnya rezim identitas yang ingin memaksakan identifikasi tunggal berbasis agama dan golongan dalam politik kewargaan semakin menjauhkan kita dari cita-cita negara republik itu sendiri.
Kita memang semakin terbelah dan terfragmentasi sebagai warga negara dan manusia Indonesia.
Makanya tidak usah heran bahkan dalam suasana pandemi COVID-19 dan aneka lompatan peradabannya sekarang inipun kita masih ribut dan tak kunjung selesai berbising ria dengan hal-hal “jadul” pertentangan ideologi dan bentuk negara plus politisasi yang kompleks yang semestinya sudah harus selesai.
Kita seolah hidup dan berbangsa dalam bentuk negara ‘Republik’ namun dengan cita rasa yang “privat’. Dalam banyak kasus kita bertindak dan berperilaku tidak lagi dalam kerangka kepentingan dan kemanfaatan bersama, tetapi atas nama golongan (identitas) dan kepentingan modal (elit/oligarki).
Lantas dengan cara bagaimana suatu kehidupan republik beradab dapat kita laksanakan?
Pada titik inilah kita harus kembali merumuskan platform dan batas artikulasi kebangsaan dengan kembali pada sejarah yang kita miliki, yakni konsep kebersamaan yang paling mendasar: REPUBLIK.
Indonesia itu adalah sebuah komunitas dengan nama depan Republik. Itu tidak asal muncul dan disepakati tanpa sadar.
Ia hadir sebagai suatu kesadaran dan keputusan bersama dalam sejarah politik kita yang masih kita terima sampai sampai saat ini. Dalam republik, warga disebut sebagai warga negara karena dia terlibat dan berpartisipasi secara bebas dan setara dalam mempraktikkan keutamaan umum dan kepentingan bersama.
Identitasnya sebagai warga diperoleh dari kebebasan dan melalui praktik dalam kebebasan.
Kualitas kewargaan seseorang dinilai bukan dari status sosial dan identitas personalnya tetapi dari keikut-sertaannya dalam memperjuangkan kepentingan umum. Bukan ditentukan identitas komunitas di belakangnya sebagaimana yang secara keliru sering dipolitisasi oleh kaum fasis maupun kapitalis/modal, juga bukan semacam identitas partikular/agama yang dikehendaki oleh kaum fundamentalis.
Republik membuka ruang untuk hadirnya campur tangan kombinatif yang seimbang antara legalitas dan keadilan. Intervensi legalitas adalah wewenang negara yang diberikan oleh warganya. Sedangkan intervensi keadilan adalah ideologi atau gagasan dasar yang dicita-citakan warga negara.
Meminjam istilah Alain Badiou, “La passion egalitaire, hasrat egaliter, dan l’ide de la justice, ide tentang keadilan.”
Dalam pandangan Republik, bukan negara yang membentuk identitas warga, tetapi wargalah yang membentuk identitas negara. Negara adalah ekspresi politik dari warganya.
Di titik inilah konsep republikan itu bisa ditampilkan untuk memberikan kerangka negara sosial demokratis yang inklusif dan partisipatif.
Kondisi dan cita-cita kebangsaan seperti inilah yang semakin menjauh dari realitas yang sedang kita alami belakangan ini.
Semakin terasa penguasaan sumber daya politik dan ekonomi semakin terpusat pada segelintir orang/oligarki, sementara di sisi lain kehidupan sosial kebudayaan dan etik coba dikuasai oleh rezim kesalehan dan fundamentalisme.
Keduanya sama-sama mencoba “membajak” demokrasi sesuai dan seturut kepentingan mereka dengan segala cara dan upaya, bila perlu dengan mengorbankan apa itu hakekat yang kita sepakati sebagai: REPUBLIK.
Suatu kegelisahan yang saya sebut sebagai syndrome “Seolah Republik”.
Sebagaimana ditegaskan Hannah Arendt dalam gagasan Republikanisme, “Republik hanya tampil sebagai republik apabila dia dialami dan dipertahankan di dalam praktik. Tanpa praktik, republik itu menjadi sekedar nama untuk masa lalu.”
Lantas, apakah Anda ingin praktik atau syndrome itu terjadi?
Kalau saya dengan keras akan bilang: “TIDAK …!”
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.
Editor: Red/Hen