Oleh: Rani Saragih*
PIRAMIDA.ID- Ini adalah kisah pilu dari kami setiap mahasiswa, yang ketika di kampus selalu mengikuti aturan kampus belajar, dan lain sebagainya. Tidak perlu melawan hanya bisa diam ketika sudah adu argumen dengan pihak dosen, telah dikatakan dosen terhadap mahasiswa, tanpa mereka berpikir akan dampak yang akan terjadi. Diam, seperti orang bodoh yang tidak tahu mana yang benar dan tidak untuk mahasiswa itu sendiri. Wahai para dosen, kami hanya ingin aspirasi kami didengar dan melakukan tindakan bijak untuk kami mahasiswamu.
Kami bukan hanya seorang pelajar yang tiap harinya selalu belajar di kampus, membuka buku, lalu presentasi. Tetapi kami juga seorang pelajar sekaligus penggerak bagi masyarakat. Bukan kaki tangan masyarakat melainkan jika kami merasa tindakan aparat pemerintah tidak sesuai yang kami harapkan maka kami akan turun sebagai pengerak dan menjadi pembela bagi masyarakat.
Jadi untukmu para dosen jangan heran jika harapan mu untuk kami sebagai mahasiswa yang tiap harinya selalu aktif di kampus menjadi penggerak ataupun mahasiswa aktivis. Begitu banyak keluhan yang kami rasakan, tidak hanya itu saja rakyat kecil yang aparat janjikan untuk memajukan negara ini juga sudah pupus. Seakan tak ada harapan untuk kami para mahasiswa, dan rakyat kecil. Kami lelah, kami juga butuh beristirahat sejenak.
Tapi tampaknya itu hanya angan-angan belaka seperti angin terasa namun hanya numpang lewat tanpa pamit. Kami bingung harus apa, kami hanya ingin tentram, dan damai tapi kami tampaknya hanya dijadikan sebagai budak, serasa tidak berhak untuk memiliki keadilan.
Hey, wahai para aparat yang terhormat, izinkan kami untk menikmati kedamaian itu sejenak.
Beristirahat sejenak, tapi setelahnya, ada peraturan baru lagi yang kau turunkan untuk kami yang mungkin tidak sanggup untuk dipenuhi sesuai keinginan beliau-beliau terhormat. Hey, ini kami, kami mahasiswa mu serta masyarakat kecilmu yang kau janjikan dengan memberi ketenangan, kedamaian, bahkan kesejahteraan tapi mengapa itu selalu saja wacana, bukan tindakan.
Kami hanya masyarakat kecil, yang tahunya bekerja demi mencukupi kehidupan sehari-hari di mana janji itu, dimana selalu saja tidak kami dapatkan. Kalian butuh suara kami untuk mengangkat derajatmu dengan visi misi yang telah engkau persiapkan, kami pilih tanpa berpikir dampak buruknya.
Kami selalu melupakan dampak buruk yang terjadi, karena kami merasa ketika kami memilih ada hal baru yang bisa kami dapatkan, yaitu kesejahteran bukan malah sebaliknya. Justru kami malah kalian manfaatkan dengan aturan-aturan baru yang membuat kami merasa tidak nyaman. Di mana? Di mana hati nurani beliau wahai aparat? Tangis pilu yang selalu kami rasakan tidak pernah dihiraukan, selalu dianggap sebagai drama panggung yang sudah didialog kan. Katanya ada demokra, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Tapi mana? Kami bahkan tak menemukan itu di kalian para aparat terhormat.
Wahai beliau-beliau yang terhormat hari kemerdekaan kita masih berjalan, tetapi mengapa kami belum merasa terbebaskan.
Justru, kami juga hampir sama dengan kalian. Menutupi apa yang sebenarnya terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Kami mencoba tertawa seperti mngikuti dialog yang sudah dipersipkan jauh-jauh hari. Miriss, ketika aparat yang kami sanjung, kami agung-agungkan malah membuat kami semakin tersiksa. Kami butuh keadilan, bukan malah sebaliknya. Ketika kami para mahasiswa turun kalian seperti memakai topeng terlihat tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Hari ini telah terjadi lagi peraturan baru, yaitu kenaikan harga BBM. Entah lupa dengan keadaan, serta perekonomian rakyatnya sendiri kami juga bingung.
Wahai para aparat yang kami hormati, ketika kami tidak terima dengan aturan baru saja beliau turunkan dan ketika kami tidak terima dengan aturan tesebut tibalah saatnya kami turun ke jalan hanya untuk menerima keadilan, serta kebijakan dari beliau.
Awal kami hanya ingin menyuarakan aksi kami tanpa berpikir melakukan aksi kekerasan, namun sangat disayangkan kalian dengan seenaknya dan segampangnya menodongkan kami dengan senjata, dan dibantu oleh aparat kepolisian. Hey, wahai aparat kepolisian, ini kami. Mahasiswa yang nantinya kau bimbing untuk menjadi penerusmu kelak dengan harapan sebagai pelindung. Tapi apa? Apa ini? Kau malah menodongkan kami dengan senjatamu seolah-olah kami adalah teroris warga asing yang melakukan tindakan kejahatan.
Kami hanya butuh keadilan saja, tapi kini kami malah dihajar habis-habisan. Di mana hati nurani kalian wahai aparat? Maaf dengan ketidaknyamanan dalam tutur bahasa yang saya lontarkan.
Tak ada yang perlu kau banggakan dengan pakaian yang kau kenakan, dan tak perlu juga kau banggakan dengan senjata yang kau pajangkan di dekat sakumu sebagai pelindung, jika masih belum bisa melihat kebenaran yang terjadi. Kau tutup-tutupi kejujuranmu demi berusaha naik dengan jabatan yang ingin kau capai tanpa memandang rakyat kecil, serta anak-anaknya yang butuh keadilan.
Mereka punya anak yang akan disekolahkan. Banyak dari anak-anak mereka ingin bercita-cita sepertimu namun sepertinya kau menganggap itu hanyalah sepele.
Kami hanya butuh kedamaian wahai aparat yang terhormat, ini kami rakyat kecilmu, bukan musuhmu. Sudahi keresahan yang kalian lakukan terhadap kami, mampukan kami agar semakin percaya bahwa kalian lah yang akan membawa kami ke negara yang lebih sejahtera. Bukan malah sebaliknya, ini adalah seruan kami dari mahasiswa untuk kalian para beliau-beliau yang terhormat.
Tunjukan bahwa janji-janji yang kalian sampaikan tidak hanya wacana saja, namun juga tindakan. Kami sangat mengharapkan itu. Dan wahai aparat kami yang terhormat, kalian butuh suara, dan kami juga ingin suara kami didengar kemudian dilaksanakan. Menjadi pejabat berarti melayani rakyat, bukan menindas sesuka hati dengan perlindungan dibalik aparat kepolisian. Mohon dengarlah seruan kami! Salam Mahasiswa!(*)
Penulis merupakan mahasiswa FKIP Prodi PGSD Universitas Efarina.