PIRAMIDA.ID- “Ketika kamu ragu akan sesuatu, carilah di perpustakaan.” Sebuah saran dan juga kata bijak yang berasal dari J.K Rowling, seorang penulis mega best seller.
Perpustakaan menjadi pusat pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Tetapi bagaimana bila sebuah perpustakaan besar yang terkenal hilang tanpa ada jejak sedikit pun? Bahkan siapa yang bertanggung jawab menghilangkan perpustakaan besar tersebut masih menjadi misteri hingga kini. Perpustakaan tersebut adalah Perpustakaan Alexandria.
Seperti namanya, perpustakaan besar ini berada di salah satu kota terbesar dunia kuno, yaitu Alexandria. Pada 332 SM, Alexander Agung berhasil menaklukan kota Alexandria dan merintis berdirinya Perpustakaan Alexandria. Namun, belum sempat membangun Perpustakaan Alexandria, Alexander Agung menemui ajalnya di Babel pada 323 SM. Kekuasaan kemudian jatuh ke tangan Ptolemeus I dan berhasil mengalihkan kota Alexandria sebagai ibu kota Mesir.
Perpustakaan Alexandria mulai dibangun pada pemerintahan Ptolemeus II sekitar 282 SM dan 246 SM. Perpustakaan Alexandria dibangun dengan tiang besar Hellenistik yang menggambarkan pengaruh dari Mesir. Ptolemeus II dibantu oleh seorang negarawan Athena yaitu Demetrius dari Phaleron. Tata letak Perpustakaan Alexandria tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat sebuah taman tempat perjamuan, ruang untuk membaca, balai ceramah, dan ruang pertemuan di gedung Mouseion.
Berdasarkan Youtube channel TEDed dengan judul What Really Happened to the Library of Alexandria yang ditayangkan pada 14 Agustus 2018, kehancuran Perpustakaan Alexandria pada 48 SM menjadi salah satu kerugian terbesar dalam sejarah dunia kuno.
Perpustakaan Alexandria menjadi bagian dari sebuah lembaga penelitian yang lebih besar, Mouseion yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni). Tujuan utama dibangun Perpustakaan Alexandria adalah untuk mengumpulkan semua buku yang ditulis dalam bahasa Yunani dan buku karya bangsa lain, menyunting karya-karya penyair, dan dramawan Yunani Klaksik dalam bentuk asli, serta mendirikan perpustakaan penelitian untuk para ahli dari segala bidang.
Banyak tokoh terkenal yang menghasilkan karya dari Perpustakaan Alexandria, seperti matematikawan Euclid yang menciptakan konsep geometri. Selain dia, perpustakaan ini melahirkan Heron dari Alexandria yang menciptakan mesin uap pertama di dunia. Heron juga membuat buku Pinakes atau suatu katalog pertama usulan Kallimakhos dari Kirene yang berisi 120 volume tentang isi perpustakaan. Pinakes merupakan katalog pertama yang ada.
Perpustakaan Alexandria menyimpan hampir 1.000.000 dokumen penting dari seluruh Asyur, Yunani, Persia, Mesir, India, hingga peradaban lainnya. Kategori buku-buku yang terdapat di Perpustakaan Alexandria mulai dari retorika, hukum, tragedi, komedi, puisi, sejarah, kedokteran, matematika, hingga ilmu pengetahuan alam.
Pada pemerintahan Ptolemeus III, berbagai buku dan manuskrip dari berbagai belahan dunia berhasil dikumpulkan. Hal ini dikarena kota Alexandria merupakan pusat bagi kapal yang melalui laut Mediterania,. Ptolomeus III menetapkan kebijakan bagi setiap kapal yang singgah untuk menyerahkan buku dan disalin. Tetapi, mereka justru menyimpan buku asli dan mengembalikan salinan ke kapal.
“Perpustakaan itu mungkin masih yang terbesar hingga kini.” Jelas tokoh Islam Indonesia, Profesor Ahmad Syafi’I Maarif.
Bahkan dalam Historia Universal de la destruction de libros (Penghancur Buku dari Masa ke Masa) yang ditulis oleh Fernando Baez, Perpustakaan Alexandria tidak hanya menjadi tempat menyimpan manuskrip tetapi juga tempat yang selalu ramai dengan diskusi para intelektual.
Namun, kejadian mengejutkan terjadi, Perpustakaan Alexandria hilang dan menjadi tragedi luar biasa di dunia akademis. Meskipun sampai saat ini masih sulit menentukan bagaimana Perpustakaan Alexandria dihancurkan, terdapat tiga teori tentang siapa yang bertanggung jawab akan kehilangan ini.
Teori pertama mengatakan bahwa Perpustakaan Alexandria terbakar saat kota diduduki Penguasa Romawi, Julius Caesar, pada 48 SM. Julius Caesar terperangkap di istana kerajaan karena kapal-kapal Mesir menghalangi jalan keluar di pelabuhan. Julius Caesar memerintah anak buahnya untuk membakar kapal-kapal Mesir demi melarikan diri. Tetapi api membakar dengan tidak terkendali. Banyak bangunan di pantai terbakar, termasuk gudang senjata.
“Bencana-bencana yang menimpa Perpustakaan Alexandria disebabkan api yang berkobar tanpa sengaja pada saat Caesar mempertahankan dirinya.” Ungkap seorang cendekiawan Barat, Gustave Le Bone.
Akan tetapi, perkiraan Julius Caesar yang bertanggung jawab atas hilangnya Perpustakaan Alexandria masih meragukan. Strabo, seorang geographer filsuf Yunani, mengatakan bahwa ia pernah mengunjungi Mouseion pada 20 SM, beberapa dasawarsa setelah kebakaran yang dipicu oleh Julius Caesar.
Hal ini menyiratkan bahwa perpustakaan selamat dari kebakaran. Strabo mengatakan bahwa Mouseion sudah tidak semasyhur seperti sebelumnya. Strabo memang membicarakan tentang Mouseion tetapi tidak Perpustakaan Alexandria. Selain itu, dikatakan bahwa gudang tempat menyimpan manuskrip yang dihancurkan oleh Julius Caesar bukan Perpustakaan Alexandria.
Ketika teori paling dipercaya adalah Julius Caesar yang bertanggung jawab atas hancurnya Perpustakaan Alexandria, muncul teori lain. Teori tersebut adalah orang-orang Kristen-lah yang bertanggung jawab.
Orang-orang Kristen pada abad ke-4 Masehi yang berhasil menduduki kota Alexandria diduga menjadi salah satu penghancur Perpustakaan Alexandria. Pada 391 M, Kaisar Theodosius mengeluarkan dekrit yang secara resmi melarang praktik paganisme. Berdasarkan dekrit tersebut, Serapeum mendapatkan nasib buruk. Serapeum yang merupakan cabang dari Perpustakaan Alexandria dan berfungsi sebagai kuil dihancurkan. Serapeum diganti menjadi Gereja Kristen.
Demi mendukung dekrit Kaisar Theodosius banyak dokumen yang dihancurkan. Namun, dokumen-dokumen tersebut bukan berasal dari Perpustakaan Alexandria melainkan perpustakaan lain. Perpustakaan tersebut diyakini menampung sekitar sepuluh persen dokumen Alexandria.
Namun, lagi-lagi teori kedua ini diragukan karena tidak ada sumber kuno yang menyebutkan penghancuran perpustakaan selama periode ini. Oleh karena itu, tidak ada bukti bahwa orang-orang Kristen yang menghancurkan Perpustakaan Alexandria.
Teori ketiga pun muncul. Dalam laman resmi E-history, The Ohio State University, orang terakhir yang disalahkan atas kehancuran Perpustakaan Alexandria adalah Khalifah Umar. Pada tahun 640 M, kaum Muslim berhasil merebut kota Alexandria.
Menurut cerita yang beredar, Jenderal Amr diminta tolong oleh Johannes Philoponus, seorang cendekiawan neoplatonism, untuk menyelamatkan jutaan manuskrip di Perpustakaan Alexandria. Amr ibn Ash meminta saran kepada Khalifah Umar ibn Khattab. Lalu Umar menjawab:
“Jika buku-buku itu sesuai dengan Al-Qur’an, untuk apa diselamatkan? Tetapi jika bertentangan dengan Al-Qur’an, maka hancurkan saja.”
Dalam sebuah karya The History of Dynasties yang ditulis oleh seorang Uskup Agung Gereja Siryani bernama Gregorius Caronus, ia menuduh pasukan Arab Islam pimpinan Jenderal Amr ibn Ash yang memusnahkan jutaan naskah tua koleksi Perpustakaan Alexandria.
Maka, dikumpulkan-lah jutaan naskah tua dan dibagikan ke 4.000 pemandian air panas di penginapan sepanjang Alexandria. Banyaknya gulungan dari Perpustakaan Alexandria, membuat pemandian Alexandria tetap hangat selama enam bulan.
Cerita dari Gregorius Caronus dianggap sebagai omong kosong oleh sejarawan Barat, Edward Gibbon pada abad ke-18. Gibbon menyebut isu pembakaran jutaan manuskrip tua Perpustakaan Alexandria merupakan strategi politik kubu Kristen Barat untuk menjelek-jelekan kubu Arab Islam.
Kritikan tersebut didukung oleh fakta bahwa selama lebih dari lima abad setelah penaklukan, tidak ada penyebutan dan referensi tentang kecelakaan yang terkait dengan perpustakaan Alexandria di bawah orang-orang Arab. Cerita tersebut benar-benar memiliki cita rasa fiktif dan mendapatkan kritikan berulang kali.
Namun, sayangnya sampai saat ini para arkeolog belum mampu meneliti lebih jauh tentang misteri hilangnya Perpustakaan Alexandria. Ada banyak faktor yang menyebabkan keterbatasan tersebut.
Pertama, jarang sekali ditemukan papirus di Alexandria, hal ini dikarenakan kondisi iklim yang tidak mendukung untuk pelestarian bahan organik. Kedua, sisa-sisa peninggalan Perpustakaan Alexandria belum ditemukan. Para arkeolog terhambat karena saat ini penggalian hanya boleh dilakukan untuk penyelamatan.(*)
National Geographic Indonesia