PIRAMIDA.ID- Jika kita mengetik kata kunci “rokok” di mesin pencarian Google, maka yang paling banyak muncul adalah tautan artikel dan pemberitaan soal bahaya rokok. Iya, stigma negatif soal rokok (dan perokok, tentunya) sangat masif bertebaran di internet.
Mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa ‘manfaat’ rokok terkubur oleh berita bahaya rokok? Apakah rokok semengerikan itu? Lantas siapa yang terancam oleh eksistensi rokok hingga disebut berbahaya?
Ada banyak pertanyaan yang perlu diluruskan satu per satu. Pertama, artikel dan berita negatif soal rokok mendominasi mesin pencarian karena memang kelompok antirokok sangat gencar. Mereka punya banyak sumber daya untuk mencapai tujuan mereka, yakni mendiskreditkan rokok dan perokok. Salah satu sumber daya yang dimaksud adalah dukungan dana dari donatur asing, Bloomberg Initiative.
Kedua, mengapa kabar soal ‘manfaat’ rokok tenggelam di samudera informasi bernama internet? Ya, itu tadi. Dengan segala sumber daya yang ada, kelompok antirokok mampu mendominasi. Tapi, hal tersebut bukan berarti rokok tak ada manfaatnya sama sekali. Sudah banyak artikel kami yang menjelaskan tentang kontribusi industri hasil tembakau yang mendongkrak pendapatan negara. Kenapa kita harus enggan menyebutnya sebagai manfaat?
Ketiga, apakah rokok semengerikan yang dikabarkan antirokok? Begini. Kami bukan hendak menihilkan faktor risiko dari rokok itu sendiri. Setiap produk konsumsi punya faktor risiko, itu fakta. Rasanya tidak ada hal di dunia ini yang tak menanggung akibat.
Air putih saja jadi tidak akan menyehatkan jika diminum lewat hidung. Nasi putih juga bisa menyebabkan penyakit yang berujung kematian jika dikonsumsi secara berlebih oleh penderita diabetes. Artinya, kita tidak bisa menakar suatu hal secara serampangan. Metode penggunaan, dosis pemakaian, kondisi konsumen dan banyak variabel lain akan menentukan tingkat risiko.
Rokok memang kerap dihadapkan dengan narasi kesehatan. Industri farmasi jelas sangat membenci produk olahan tembakau bernama rokok. Buku Nicotine War karya Wanda Hamilton sangat jelas menjabarkan latar belakang ekonomi politik di balik manuver industri farmasi. Hal tersebut akan membawa kita pada pertanyaan keempat: Siapa yang terancam oleh eksistensi rokok hingga dianggap berbahaya?
Nah, ini dia. Pihak yang paling terancam oleh eksistensi rokok ya kelompok antirokok. Mereka berkepentingan memusnahkan rokok. Namanya juga anti. Di Indonesia, kepentingan tersebut dibalut dengan dalih “pengendalian tembakau”. Kalau memang sangat berbahaya, kenapa dikendalikan? Kenapa tidak sekalian dilarang? Kenapa tidak ditutup saja pabriknya?
Semakin unik ketika belakangan tren konsumsi rokok elektrik meningkat. Sama-sama produk olahan tembakau, tapi menerima perlakuan yang berbeda. Bahkan, kelompok antirokok pun tampil terang-terangan mendorong konsumsi rokok elektrik yang dicitrakan sebagai solusi berhenti merokok. Mereka juga kerap terkesan menihilkan bahaya rokok elektrik. Kok bisa? Ada apa?
Berbagai argumentasi dibangun demi menurunkan tren konsumsi rokok–sekaligus mendongkrak pemasaran rokok elektrik. Tapi, hal tersebut tetap tak mampu mengesampingkan fakta bahwa rokok yang paling berkontribusi bagi pendapatan negara dari sektor cukai. Sekali lagi, inilah salah satu manfaat rokok yang tenggelam dalam samudera berita bahaya rokok.
Berbagai stigma negatif pada rokok masih memiliki ruang perdebatan. Klaim bisa apa saja dan dari siapa saja. Pun demikian dengan masyarakat, bebas untuk memilih mau meyakini klaim yang mana. Yang pasti, ada banyak perokok yang tetap bugar hingga usia sepuh. Tanpa kampanye di media, tanpa menyodorkan jurnal penelitian ilmiah, keberadaan mereka jelas menguji kesahihan dogma “rokok membunuhmu“.(*)
Komunitas Kretek Indonesia