Nelly Martin-Atias*
PIRAMIDA.ID- Meski memiliki keragaman bahasa yang luar biasa, Indonesia adalah bangsa yang memilih satu bahasa (monolingualisme). Kira-kira ada 700 bahasa dituturkan di kepulauan ini, tapi Indonesia memilih satu bahasa nasional dan resmi. Pertanyaannya, siapa yang sungguh-sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?
Kebijakan bahasa Indonesia cukup menonjol di dunia sehingga disebut sebagai “membuat iri dunia multi-bahasa”, seperti diungkapkan oleh ahli bahasa Joshua A. Fishman.
Kebijakan ini, dan propaganda yang menyokongnya, telah membuat banyak orang Indonesia percaya bahwa bahasa berfungsi sebagai alat penting untuk persatuan. Kebijakan ini dicanangkan saat Sumpah Pemuda pada 1928, yang diperingati setiap 28 Oktober, dan dikonsolidasi di zaman Orde Baru.
Penggunaan bahasa Indonesia untuk mengukur keindonesiaan
Konstruksi keindonesiaan sangat mengandalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Orang Indonesia yang bertutur bahasa lain bisa jadi mendapati nasionalismenya dipertanyakan. Pilihan bahasa bagi banyak orang Indonesia adalah ruang untuk mengaitkan antara penggunaan bahasa, identitas, dan nasionalisme.
Saat ini, bahasa Indonesia terus dibina dan dikembangkan sebagai bahasa nasional maupun resmi. Pemerintah, melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan tekun mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia baku atau “yang baik dan benar”.
Meski fungsinya penting dan penggunaannya ditekankan oleh pemerintah, saya menemukan selama menempuh pendidikan tinggi bahwa banyak orang Indonesia yang merasa asing terhadap bahasa Indonesia yang baku.
Perasaan berjarak terhadap bahasa baku
Sikap berjarak ini saya rekam dalam catatan lapangan saya, bersumber dari pertemuan saya sehari-hari dengan sesama mahasiswa Indonesia di luar negeri, di Amerika Serikat dan di Belanda pada 2006 hingga 2017.
Secara demografis, responden saya kebanyakan mahasiswa pasca sarjana yang datang dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari kami, saya mencatat kesadaran kami yang tidak pernah berbicara bahasa Indonesia baku.
Ketika saya kembali ke Indonesia pada Agustus 2017, saya mewawancarai sejumlah pengemudi Gojek mengenai topik yang sama di Depok, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Kali ini saya sengaja memilih lingkaran profesi yang berbeda untuk mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif dan berbeda nuansa, dengan harapan mereka memberikan jawaban berbeda dari yang diberikan para mahasiswa Indonesia.
Para pengemudi Gojek, baik motor dan mobil, terdiri dari latar belakang yang beragam, termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa S1, pegawai swasta, yang memiliki tingkat pendidikan mulai dari lulusan SMA hingga lulusan S1.
Mayoritas pengemudi Gojek mengakui hal yang sama: mereka tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia baku dalam keseharian mereka. Pengemudi di Yogyakarta, khususnya, bercakap-cakap dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tidak digunakan dalam interaksi sehari-hari. Memang, menurut ahli bahasa dari Yale University, Joseph Errington, bagi banyak orang Jawa, bahasa Indonesia adalah bahasa “un-native”, atau bukan bahasa ibu.
Saya juga mewawancarai teman-teman saya semasa SMA dan mendapatkan respons yang sama. Mereka jarang berbicara dalam bahasa Indonesia baku. Kebanyakan teman SMA saya lulusan S1, dan beberapa lulusan S2 baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mayoritas berkarier sebagai profesional dan saat diwawancarai sudah mencapai tingkat karier menengah.
Kebanyakan responden saya, apa pun pekerjaannya, mengatakan mereka jarang berbahasa baku karena bahasa itu kaku, terlalu puitis dan banyak aturan, membosankan, dan terlalu dramatis. Menurut mereka, bahasa baku hanya mereka temui, antara lain, saat digunakan untuk pidato panjang kepresidenan, buku pelajaran sekolah, dan diskusi kelas.
Bahasa Indonesia sehari-hari
Semua kelompok yang berbeda ini jelas mengambil jarak dari satu-satunya bahasa resmi dan bahasa nasional. Mereka lebih menyukai bahasa Indonesia yang tidak baku atau bahasa Indonesia dengan dialek sehari-hari, yang bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.
Saya mencatat sejumlah responden yang bahkan mempertanyakan apakah mereka cukup fasih berbahasa Indonesia karena mereka menggunakan bahasa yang sudah banyak tercampur bahasa daerah dan bahasa asing, terutama Inggris. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka penutur bahasa Indonesia sungguhan karena variasi bahasa yang mereka pakai sangat berbeda dengan yang baku.
Saya bisa mengambil kesimpulan bahwa bagi banyak orang, bahasa Indonesia baku bukanlah bahasa ibu siapa-siapa karena bukan bahasa pertama yang diajarkan. Mayoritas responden saya mengatakan mereka belajar bahasa baku sebagai bahasa yang didorong pemerintah melalui kurikulum sekolah dan acara-acara “resmi” lainnya.
Perasaan para responden saya berkait formalitas dari bahasa Indonesia baku memposisikan bahasa Indonesia sebagai “liyan”. Ternyata, banyak orang Indonesia mempertanyakan status de-facto dari bahasa Indonesia baku, bahasa nasional yang diakui.
Bahasa sehari-hari: bisakah disebut bahasa Indonesia?
Berangkat dari observasi ini, saya bertanya-tanya apakah ada di antara kita yang merupakan penutur bahasa Indonesia. Menurut Errington, perbedaan antara Indonesia baku dan Indonesia dengan dialek sehari-hari sebagai keadaan “diglossia”, yaitu Indonesia baku sebagai bahasa “Tinggi” dan yang tidak baku sebagai bahasa “Rendah”. Ini seperti pembedaan bahasa halus dan kasar dalam bahasa Jawa dan Sunda.
Tetapi ada pendapat teguh lain yang berbeda, datang dari ahli bahasa Indonesia terkemuka yang tinggal di Australia, James Sneddon. Dalam bukunya, Sneddon mengatakan bahasa Indonesia sub-standar atau dialek sehari-hari yang digunakan oleh mayoritas orang Indonesia tetap merupakan bahasa Indonesia.
Mereka mungkin saja bukan bahasa yang “baik dan benar” tapi “bahasa Indonesia modern” adalah bahasa yang sangat hidup yang digunakan dalam berbagai bentuk dan ragam.
Seperti halnya bahasa-bahasa yang hidup di belahan dunia lain, bahasa Indonesia akan terus berkembang sambil terus mengadopsi dan menyerap kata-kata baru dari bahasa lain dan akan terus bersentuhan dengan bahasa lain.
Sementara kita merayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kita tetap harus berpikiran terbuka akan bahasa Indonesia di luar yang baku yang ditetapkan pemerintah. Saya yakin, kita tetap bisa mengakui keindonesiaan kita sambil berbicara bahasa Indonesia sehari-hari.
Penulis merupakan pengajar di Universitas Sanata Dharma. Artikel republikasi The Conversation.