PIRAMIDA.ID- Hadiah Nobel Sastra 2021 diberikan kepada novelis asal Tanzania, Abdulrazak Gurnah. Menurut Komite Nobel, ia layak diberikan penghargaan “atas penetrasinya yang tanpa kompromi dan penuh kasih terhadap efek kolonialisme dan nasib pengungsi.”
“Dedikasi Gurnah terhadap kebenaran dan keengganannya pada penyederhanaan sangat luar biasa,” tulis Anders Olsson, ketua Akademi Penghargaan Nobel, yang memberikan penghargaan bergengsi itu.
“Meski hal ini bisa membuatnya terlihat dingin dan tanpa kompromi, tapi di saat yang sama ia mengikuti nasib individu dengan belas kasih yang besar dan komitmen yang teguh,” tambah Olsson.
Gurnah adalah penulis kelahiran Zanzibar yang saat ini menetap di Inggris. Ia meninggalkan Zanzibar – sekarang menjadi bagian dari Tanzania – pada tahun 1968. Saat itu, ia berangkat ke Inggris sebagai seorang mahasiswa.
Karya-karya Gurnah
Gurnah mulai menulis karya-karya fiksi saat masih berusia 21 tahun di pengasingan. Ia memilih Bahasa Inggris daripada bahasa pertamanya, Swahili, untuk karya sastranya tersebut. Novel pertamanya yang berjudul “Memory of Departure”, diterbitkan pada tahun 1987.
Novel berjudul “Paradise” (1994) menjadi novel yang mengantarkan namanya dikenal secara internasional. Novel tersebut dibangun berdasarkan referensi intertekstual dari beberapa karya sastra klasik lainnya, seperti “Heart of Darkness” karya Joseph Conrad, dokumen Swahili dari abad ke-19, dan kisah Yusuf di dalam Quran.
Gurnah juga mengeksplorasi pengalaman pengungsi dalam novelnya yang berjudul “Admiring Silence” (1996) dan “By the Sea” (2001), di mana “fokusnya adalah pada identitas dan citra diri,” kata Komite Nobel.
Dua buku tersebut diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu seorang pria dari Zanzibar yang melarikan diri ke Inggris dan berbohong tentang masa lalunya di Afrika guna melindungi dirinya dari rasisme dan prasangka.
Novel terbaru Gurnah di tahun 2020 berjudul “Afterlives”. Novel tersebut membahas tentang rasisme, penyerahan diri, dan pengorbanan. Sama seperti “Paradise”, novel tersebut mengambil latar waktu di awal abad ke-20, sesaat sebelum runtuhnya pemerintahan kolonial Jerman di Afrika Timur pada tahun 1919.
Pemenang yang tidak diduga-duga
Gurnah saat ini telah menginjak usia yang ke-70 tahun. Ia baru-baru ini pensiun dari posisinya sebagai Profesor Sastra Inggris dan Pascakolonial di University of Kent, Centerbury.
Meskipun Gurnah terkenal di kalangan akademis dan sastra pascakolonial, ia sejatinya tidak termasuk di antara kandidat favorit yang akan memenangkan penghargaan Nobel Sastra tahun ini. Nama-nama yang sebelumnya beredar di kalangan bookmaker Inggris adalah Ngugi wa Thion’o dari Kenya, Annie Ernaux dari Prancis, Haruki Murakami dari Jepang, Margaret Atwood dari Kanada dan penulis Antiguan-Amerika Jamaica Kincaid.
Berkat keberhasilannya meraih Nobel, Gurnah akan mendapatkan medali emas dan uang senilai 10 juta Krona Swedia (lebih dari 980.000 Euro). Penghargaan tersebut secara tradisional akan diberikan pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel.(*)
DW Indonesia