Frans Sipayung*
PIRAMIDA.ID- Kita sering mendengar kata “disiplin” dalam proses pendidikan (sekolah). Dikutip dari Wikipedia, “disiplin” merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya merupakan tanggung jawabnya.
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kata disiplin tersebut sudah dimulai dari tenaga pendidik (guru) terlebih dahulu? Misalnya ketika guru terlambat siapa yang mengenakan sanksi padanya?
Jelas kita tahu bahwa kejadian semacam ini sering terjadi. Tak jarang siswa kebanyakan memilih diam di dalam situasi seperti itu. Ada semacam ketakutan untuk menegur yang tertanam di dalam mindset (pola berpikir) nya.
Dalam praktik pendidikan, kita tahu beberapa kegiatan yang menggambarkan sikap disiplin, di antaranya:
1. Masuk sekolah tepat waktu.
2. Berbaris dengan tertib.
3. Berseragam sesuai ketentuan sekolah.
4. Menaati tata tertib sekolah.
5. Mendegarkan pelajaran yang tekun.
6. Beribadah tepat waktu.
7. Tidak terlambat masuk sekolah.
8. Izin jika keluar kelas.
9. Melaksanakan tugas piket.
10. Membuang sampah pada tempatnya.
11. Duduk dengan rapi.
12. Berlaku sopan santun.
Dewasa ini, ketika melihat sebagian guru sering datang terlambat, yang ada hanya “pemakluman” saja. Sementara disisi lain, kalau siswa yang terlambat sering diberikan sanksi, contoh seperti membersihkan halaman sekolah atau apa saja yang menjadi disekitaran sekolah itu wajib yang dilakukan siswa. Menurut penulis, hal ini merupakan sebuah tindakan diskriminasi.
Kita tahu ketika guru itu terlambat, itu akan merugikan bagi anak-anak, seperti ketinggalan mata pelajaran tiap les nya. Bahkan juga ketika guru terlambat, ruangan kelas akan ribut karena tidak ada yang mengontrol kelas tersebut.
Jelas kita tahu bahwa guru itu harus jadi contoh dan teladan bagi setiap siswanya untuk memberikan energi yang positif agar benar-benar memberikan contoh yang patut diteladani oleh siswanya.
Kita melihat bahwa sebagian guru, menganggap sekolah itu hanya untuk mentransfer materi saja bukan lagi bagaimana mendidik anak-anak itu dengan benar, situasi ini membuat penulis merasa miris.
Oleh sebab itu, profesi guru bukan hanya mengajar saja melainkan mendidik siswa untuk menjadi disiplin di tengah-tengah keluarga, sekolah, lingkungan, bangsa dan negara.
Kita melihat bahwa fungsi guru itu merencanakan tujuan belajar; mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar; memimpin, yang meliputi memberikan motivasi, mendorong, dan memberikan stimulus pada siswa; mengawasi segala sesuatu, apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang (UU) Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta pada pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”
Berlandaskan Undang Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tersebut dapat dipahami bahwa tugas guru bukan hanya mengajar atau menyampaikan materi pelajaran kepada siswa saja, tetapi juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi belajar siswanya.
Maka dengan itu guru itu harus jadi panutan dan teladan bagi siswa/i nya. Sebagaimana peribahasa berbunyi “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”, guru seyogianya menjadi sosok yang digugu dan ditiru.(*)
Penulis merupakan tenaga pendidik di Kabupaten Simalungun.