Hizkia Ronaldus Silalahi*
PIRAMIDA.ID – Akibat dampak pandemi COVID-19 ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada akhirnya menerapkan kebijakan menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang terdampak dan kurang mampu. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial menyalurkan bantuan sosial reguler, yaitu PKH dan BPNT serta BLT; Kementerian Desa menyalurkan bantuan yang dikonversi dari Dana Desa yang kemudian dikenal dengan nama BLT Dana Desa; dan, Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) dengan sembako.
Secara prinsip, pada dasarnya semua jenis bantuan yang disalurkan tidak boleh ada masyarakat yang mendapat 2 jenis bantuan sekaligus. Namun, yang terjadi di lapangan, justru ada saja ditemukan pada saat pembagian, masyarakat yang mendapat sembako dan mendapatkan BLT sekaligus. Belum lagi soal penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran.
Apa yang menyebabkan terjadinya permasalahan-permasalahan tersebut?
Bagi penulis, inilah bentuk semrawutnya data-data antar-pemerintah serta mengindikasikan tidak adanya sinergitas antara Pemerintah Desa, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pemerintah Pusat.
Pemerintah Desa selaku perpanjangan tangan pemerintah dan yang memiliki data serta lebih mengetahui siapa yang berhak menerima dan tidak justru tidak terberdaya dengan baik.
Hal ini bisa kita lihat dari kenyataan di lapangan, bantuan dari Kementerian Sosial tidak berdasarkan data dari situasi terkini desa. Kemensos memiliki data sendiri terkait siapa yang mendapatkan bantuan, di mana diketahui ternyata data-data yang diajukan bantuan pada tahun 2013 hingga 2015 lalu.
Maka hal ini mengakibatkan tidak tepat gunanya penyaluran, di nama penerima yang telah meninggal, yang pindah domisili, dan ada yang keadaan ekonomi sudah baik justru masih terdaftar sebagai penerima.
Begitu juga dengan bansos yang diberikan oleh Pemerintah Daerah yang terkesan tanpa memperhatikan usulan Pemerintah Desa, hingga akhirnya ada yang menerima bantuan dari Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah sekaligus alias dobel.
Belum lagi Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) yang tak jua tersalurkan, karena tidak cairnya dana desa. Sehingga para Kepala Desa tidak dapat bergerak menyalurkan BLT DD. Bila pun ada Kepala Desa yang telah menyalurkan bantuan, hal tersebut berdasarkan inisiatif dari Kepala Desa itu sendiri yang melakukan peminjaman ke Bank.
Keadaan pun semakin ricuh ditambah dengan tidak diumumkannya nama-nama penerima bantuan, baik itu penerimaan bantuan PKH, Bansos, dan BLT Dana Desa serta adanya perangkat desa yang menerima bansos maupun BLT.
Dengan kondisi semrawut data ini, kearifan dan kebijaksanaan Kepala Desa harus diperlukan untuk menyikapi hal ini dengan berinisiatif melakukan musyawarah Desa untuk mencari jalan keluar terhadap kesalahan-kesalahan data ini.
Karena masyarakat pun semakin menjerit-jerit dengan kondisi seperti ini.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Kepala Desa ditanya tidak tahu. Hal tersebut dikarenakan keleluasaannya yang dibatasi, seperti tidak bisa mengubah nama atau list penerima bantuan yang sudah ada dan bahkan sudah dibuat undangan oleh Kemensos untuk menerima bantuan ke Kantor Pos. Begitu juga penerimaan sembako dari Kabupaten yang sudah terlist nama penerimanya dan Kepala Desa tinggal membagi.
Karena itu, pilihannya adalah kesadaran kolektif, di mana Kepala Desa dan Maujana melakukan musyawarah desa dengan memanggil penerima bantuan untuk mengalihkan penerimaan bantuan tersebut, baik yang telah meninggal dunia, pindah domisili, yang mendapat 2 bantuan sekaligus, dan yang tidak layak menerima bantuan (yang ekonominya baik) agar mengalihkan penerimaan bantuan tersebut kepada mereka yang berhak sekali pun ia belum terdaftar di list data yang dimiliki Kemensos dan Pemda.
Kemudian nama-nama penerima bantuan harus diberitahu dan diumumkan agar ada kejelasan dan transparansi hal ini juga sesuai dengan imbauan dari Kemendes.
Kritik pedas juga patut dialamatkan pada Pemerintah Pusat. Di tengah getolnya Pemerintah Pusat mengintruksikan agar segera memberikan bantuan kepada masyarakat, namun mengapa dana desa juga belum turun ke desa yang mengakibatkan kepala desa harus meminjam ke Bank agar bisa membagikan BLT DD, jelas ini sangat kacau sekali.
Maka Pemerintah Pusat harus benar-benar serius dengan penyaluran bantuan ini. Jangan hanya besar dan banyak di wacana, namun aksi di lapangan sangat amburadul dan kacaunya koordinasi antara pusat dan daerah yang mengakibatkan kericuhan dan kerusuhan di masyarakat akar rumput.
Penulis merupakan guru di salah satu SMA swasta. Pegiat sosial dan politik.
Editor: Red/Hen