Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Berbicara tentang situasi dan kondisi dunia pergerakan mahasiswa saat ini, tidak bisa kita lepaskan dari berbagai rentetan peristiwa sejarah yang telah mewarnai pergerakan kaum intelektual dalam mengawal jalannya demokrasi di negeri ini. Berbagai sepak terjang gerakan mahasiswa menjadi kisah klasik yang terukir dalam lembar sejarah pergerakan kemahasiswaan di negeri ini.
Berbagai kisah heroik yang dipelopori oleh mahasiswa dan golongan muda sebagaimana peristiwa Rengasdengklok yang merupakan salah satu peristiwa penentu dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, kemudian peristiwa pelengseran Presiden Soeharto yang dipandang sebagai sosok pemimpin negeri yang otoriter juga dipelopori oleh mahasiswa, serta berbagai catatan kisah-kisah heroik lainnya yang telah tercatat dalam sejarah pergerakan mahasiswa.
Dari rangkainan peristiwa sejarah tersebut dapat kita simpulkan bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual di zaman dulu paham betul akan peranannya sebagai agent of change maupun sebagai social control, mahasiswa zaman dulu memiliki keresahan akan situasi dan kondisi demokrasi yang sedang terjadi, dari keresahan tersebut mendorong untuk dilakukannya aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi secara langsung kepada pemerintah.
Seiring dengan berlangsungnya proses globalisasi saat ini dunia pergerakan mahasiswa dihadapkan dengan berbagai persoalan komples dimulai dari sikap apatis oleh mahasiswa itu sendiri terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara oleh mahasiswa sendiri.
Sampai kepada persoalan internal di tubuh gerakan mahasiswa yang berakibat pada perpecahan, kemudian ditambah lagi oleh efek dari pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak. Persoalan ini merupakan suatu tuntutan bagi para mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk menemukan solusi atau cara beradaptasi yang tepat tanpa melupakan semangat pergerakan mahasiswa sebagai agent of change maupun social control.
Menjadi ironi ketika realita hari ini menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa atau pemuda indonesia yang tidak peduli atau apatis lebih banyak daripada yang berani mengambil bagian atau berpartisipasi untuk membangun Indonesia melalui terobosan atau inovasi serta kritik yang dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Jumlah penduduk terus meningkat tiap tahunnya, kompetisi dalam berbagai segi kehidupan semakin besar tetapi generasi muda terkhususnya mahasiswa saat ini masih belum mau membuka pemikirannya untuk berfikir bagaimana kita sebagai bangsa yang besar tidak selalu didominasi atau hanya sebagai konsumen dari para korporat-korporat luar.
Secara mudah sikap apatis ini bisa kita lihat dari semakin berkurangnya minat mahasiswa untuk ikut bergabung ke dalam organisasi pergerakan. Padalah organisasi pergerakan merupakan suatu wadah belajar untuk menguji pemikiran kritis kita sebagai mahasiswa yang memiliki peran sebagai agent of change kemudian diikuti oleh tindakan nyata atau aksi dalam bentuk penyampaian aspirasi rakyat kepada pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana fungsi mahasiswa sebagai social control.
Jika kita mengacu kepada pemikiran Antonio Gramsci, salah seorang filsuf berkebangsaan Italia. Ia menyebutkan intelektual organik sebagai agen perubahan. Adapun yang dimaksudkan oleh Gramsci tentang intelektual organik, yaitu intelektual organik adalah mereka yang secara kapital lebih dari masyarakat kebanyakan.
Contohnya adalah mahasiswa. Mahasiswa bisa digolongkan dalam bagian dari kelas menegah atas karena mereka memiliki kapital ekonomi yang memungkinkan mereka mendapatkan pendidikan tinggi yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka menikmati kapital budaya dengan status dan gelar yang mereka miliki.
Menurut Gramsci intelektual organik tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial di ranah teori dan penjelasan akademis, lebih dari itu seorang intelektual mempunyai tanggungjawab untuk bisa berkontribusi dalam masyarakat.
Konsep Gramsci tersebut rasanya masih relevan dengan posisi mahasiswa sebagai bagian dari kelas menengah. Posisi ini sangat strategis, pasalnya sebagai kelas menengah mahasiswa mempunyai modal sosial yang besar.
Mereka mampu menjangkau arus masyarakat bawah, melihat bagaimana persoalan di lapangan. Serta juga bisa melakukan akses negosisiasi dengan kelas atas (pemerintah) sesuai dengan permasalahan yang sedang timbul di masyarakat. Penulis merasa bahwa seperti inilah idealnya organisasi pergerakan mahasiswa saat ini.
Dalam ranah dinamika politik, gerakan mahasiswa menjadi penyeimbang kebijakan pemerintah sekaligus sebagai motor penggerak perubahan dengan tetap berpegang teguh terhadap idealismenya.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakuktas Hukum Universitas Jambi