Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Ia telah jadi ikon besar revolusi bersama Tan Malaka. Cuma beda nasib. Tan dihapus dari ingatan republik. Sedang ia menjadi nama jalan utama di Jakarta dan nama universitas negeri. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam tubuh ringkih kurus yang akut, sebab tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Pahlawan. Idealis. Zuhud. Ia dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman sudah ditakdirkan memimpin tentara dan memberi kita teladan dahsyat.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo, calon yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Namanya diberikan ayah angkatnya, Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati.
Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya.
Di sekolah, Soedirman dijuluki kaji karena alim dan tekun belajar agama. Ia juga dikenal sebagai sosok yang suka membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam.
Cara bergaulnya pun luwes. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Ia juga seorang guru. Menurut Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik perhatian murid-muridnya saat mengajar.
Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Ia juga simbol untuk terus melawan penjajah. Sebab, sebagai guru dan pendidik, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih turun ke medan perang.
Akhirnya, memang Soedirman menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Warisan pemikirannya adalah gerilya, oposisi via Persatuan Perjuangan dan teguh dalam kata dan perbuatan.
Sejak remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok berat. Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing dewe, yang artinya ”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Pada akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara rakyat Indonesia. Peristiwa Madiun membuat batinnya terluka.
Karena bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga meminta pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay. Dan jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Usai menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Di atas segalanya kita kini melihat mental Soedirman hilang di publik. Orang kini menuhankan uang dan meninggalkan idealisme.(*)