PIRAMIDA.ID- Lahir 17 Februari 1938, Soesilo Toer menghadapi masa kecil yang sangat susah bersama saudara-saudarinya dari Blora hingga ke Jakarta. Pengaduan nasib Toer bersaudara ini disebabkan kejatuhan ekonomi keluarga pasca meninggalnya sang ayah.
“Ke Jakarta aja enggak ada koper. Kita bawanya, besek (wadah tradisional dari anyaman bambu) saking melaratnya,” kenang Soesilo.
Mereka pun tinggal di rumah kecil di Tanah Abang yang bahkan rumah itu tak memiliki toilet. Untuk sangu, Pram kerap memberikan uang bulanan Rp10 pada Soesilo yang menurutnya sangat tak cukup untuk biaya keperluan sekolahnya di Sekolah Taman Siswa Jakarta.
“Cari sendiri! Kamu jangan minta!” tegas Pramoedya padanya. Sehingga, ia dan kakaknya—Koesala Soebagyo Toer—akhirnya mengikuti Pramoedya untuk menulis.
Lambat laun, kebiasaan menulis itu baginya telah menjadi bagian hidup dan memiliki kemampuan akademik. Inilah yang mengantarkannya untuk ikut beasiswa untuk S2 di Patrice Lumumba University, Uni Soviet pada Oktober 1962, setelah ia menikah.
Di negeri komunis itu, ia bahkan mendapatkan gelar doktor di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar itu ia dapatkan dari beasiswa langsung dari otoritas Uni Soviet.
Namun hidup sebagai mahasiswa Indonesia di negeri itu bukanlah perkara mudah, terutama setelah terjadinya G30S 1965. Soesilo mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa Indonesia di negeri itu ternyata pesanan partai.
Akibatnya persatuan mahasiswa terpecah menjadi tiga antara PKI, PNI-kanan, dan PNI-kiri.
“Kalau saya sih bukan orang partai, jadi saya bebas dan enggak ikut kelahi satu sama lain. Masuk partai itu sama saja jadi budak,” terangnya.
Seperti yang dialami oleh para mahasiswa Indonesia di luar negeri lainnya, terdapat tawaran diplomatis pemerintah supaya mendukung Soeharto sebagai presiden yang sah dan menolak paham komunisme.
“Kami anak mahasiswa dikasih 100 dolar oleh pemerintah lewat Adam Malik, itu pun sekali-kalinya seumur hidup [di Uni Soviet],” ujar Soesilo. “Ternyata isunya, Adam Malik itu katanya kaki-tangan Amerika Serikat dan mendapatkan 50 juta dolar untuk dukung Orde Baru.”
Selama G30S itu, mahasiswa Indonesia juga diajak untuk turut serta dalam pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI. Tetapi Soesilo memilih untuk tidak hadir, karena tak ada undangan padanya—meskipun ia mengetahui ada acara itu.
Keabsenan itulah yang diduganya sebagai sumber awal masyarakat mengaitkan dirinya dengan PKI, sehingga paspornya turut dicabut pada 1966. Masalah paspor ini membuatnya harus berusan dengan pihak keimigrasian ketika pulang pada 1973.
“Saya itu naik pesawat terakhir di Kemayoran sebelum dipindahkan ke Cengakreng. Dijemput teman sendiri, diarak kesana-ke sini, kemudian dimasukkan penjara oleh keimigrasian karena alasan paspor,” jelasnya.
Meski nuansa label PKI ada padanya, ternyata ia tak ditahan dengan narapidana G30S lainnya karena perkara keimigrasiannya. Padahal ia juga dikenal sebagai adik dari Pramoedya dan Koesala yang dibuang ke Pulau Buru akibat tuduhan PKI.
Selama di dalam penjara hingga kebebasannya pada 28 Oktober 1978, ia punya banyak kenalan yang kelak membantunya terkait dana.
Soesilo mengaku, bantuan dana itu menyentuh 1.000 dolar yang diberikan padanya dari Amnesty International, dan rekan-rekannya dari luar negeri secara diam-diam ketika menjenguknya di penjara.
Lewat uang itu, ia membuka usaha kain yang hanya berjalan setahun di Jakarta yang bangkrut karena ditipu.
Jalan lain pun ditempuh untuk menghidupi kesulitan ekonominya yang dihantui tuduhan komunisme padanya. Sekitar 1980-an, seorang teman penjaranya yang berasal dari Pontianak memberikannya uang Rp250 ribu untuk membeli motor bekas agar bisa menjual buku tulis keliling.
“Saya jualan buku tulis keliling. Dari pihak gudang, ditawarkan pada saya Rp23, saya jual Rp25. Saya jual ke Glodok malah laku Rp28 di sebuah toko alat tulis. [Bahkan] saya satu hari pernah untung Rp1 juta, dan beli rumah Rp600 ribu,” katanya.
Rumah yang ia beli kemudian tergusur akibat pembangunan tol Bekasi. Penggusuran itu kemudian membuatnya menerima kompensasi yang dimanfaatkannya untuk memperbaiki rumah di Blora.
Soesilo pun memberanikan diri untuk menjadi dosen pada 1986 di Universitas 17 Agustus Jakarta. Ia mengklaim mengajar empat mata kuliah, seperti ekonomi uang dan bank, dan seminar penelitian.
Dirinya sempat dicalonkan menjadi rektor untuk salah satu universitas di Bandung. Saat itu ia merupakan anggota penelitian dan pengembangan. Tetapi pada akhirnya, ia gagal karena kekurangan pendukung, dan banyak yang berusaha menjatuhkannya.
Tuduhan yang diberikan padanya salah satunya adalah ijazah gelar doktornya yang dianggap tak legal oleh pemerintah. Ia pun lebih memutuskan untuk pensiun kembali ke Blora untuk mengurus rumah keluarganya.
Sulitnya legalisasi dokumen yang dimilikinya, Soesilo menduga ada hubungannya dengan tuduhan dirinya dengan kaitan PKI. Inilah yang kemudian membuatnya kerap mendapat cercaan.
Salah satu cercaan itu bahkan keluar dari mulut lurah tempat tinggalnya di Blora, akibat masalah sepele: “Susah bicara sama bekas tahanan G30S!”
Kini, aktivitasnya menulis buku dan menjaga perpustakaan Pataba, akronim dari “Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa”. Perpusatakaan ini merupakan gagasannya bersama Koesala setelah wafatnya Pramoedya pada 2006.
Sedangkan untuk menghidupi hidupnya sehari-hari, ia mengais sampah sekitar Blora. Upah itu membuatnya merasa cukup karena memberikan kebebasan, meski di sisi lain mendapatkan beberapa pemasukan dari penerbitan buku yang ia tulis.(*)
Artikel merupakan republikasi National Geographic Indonesia