Oleh: Mar’atus Solikah*
PIRAMIDA.ID- Bebasnya Saipul Jamil dari jeruji besi akibat kasus pencabulan yang dilakukannya mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Kebebasanya disambut dengan meriah dengan kaluangan bunga di lehernya serta melambai-lambaikan tangannya di depan banyak wartawan.
Hal ini sangat berlebihan, mengingat bahwa dia merupakan tersangka kasus pelecehan seksual. Keesokan harinya, dirinya muncul di salah satu program TV, dengan bangganya Saipul Jamil menceritakan pengalamannya dibalik jeruji besi selama 5 tahun kepada para penonton.
Saipul Jamil merupakan salah satu artis ibu kota yang terjerat kasus pencabulan pada tahun 2016, ia merupakan tersangka dalam kasus pencabulan anak laki-laki di bawah umur, sang korban berinisial DS. Pada saat itu Saipul Jamil meminta korban untuk menginap di rumahnya dan memberikan pijatan. Korban sempat menolak namun akhirnya tidur sekitar pukul 04.00 WIB. Pada saat korban sedang tidur nyenyak, Saipul Jamil akhirnya melakukan tindakan tersebut.
Menurut hukum, hukuman bagi terhadap pelaku pencabulan terhadap anak diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 yang berpayung hukum pada Undang Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Atas perbuatannya, Saipul Jamil divonis hukuman penjara 3 tahun. Kemudian dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman Saipul Jamil menjadi 5 tahun penjara. Setelah menjalani masa tahanan selama 5 tahun, akhirnya Saipul Jamil bebas pada tanggal 2 September 2021 kemarin.
Setelah bebas, masyarakat sempat heboh, dikarenakan stasiun televisi seperti memberikan panggung kepada Saipil Jamil, seolah-olah tidak ada kasus yang menyertai dibalik panggung tersebut sehingga banyak masyarakat yang melarang Saipul Jamil tampil di platform media seperti YouTube, TV, dan Radio. Dalam hal ini terdapat banyak pro dan kontra yang ada di tengah masyarakat.
Dalam kebebasan Saipul Jamil ini dapat dikaji menggunakan kajian sosiologi hukum melalui teori dari Emile Durkheim yang membahas mengenai hukum dalam masyarakat, yaitu Teori Solidaritas. Durkheim menyebutkan bahwa dalam masyarakat terdapat dua solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Perbedaan kedua solidaritas masyarakat ini terlihat pada hukum yang berlaku, masyarakat dengan solidaritas mekanik maka hukum bersifat respresif sedangkan masyarakat dengan solidaritas organis maka hukum bersifat restitutif.
Kedua tipe solidaritas menurut Durkheim di atas, ada dalam masyarakat yang pro dan kontra pada masyarakat dalam menanggapi kebebasan Saipul Jamil. Dalam hal hukum, dapat dilihat dari perbedaan hukum dominannya, yaitu respresif pada masyarakat dengan solidaritas mekanik dan restitutif pada masyarakat dengan solidaritas organik, serta cara penghukumannya, yaitu komunitas yang terlibat pada masyarakat dengan solidaritas mekanik dan badan kontrol hukum pada masyarakat dengan solidaritas organik.
Durkheim juga menjelaskan bahwa terdapat berbedaan antara hukum dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis dan hukum dalam masyarakat dengan solidaritas organik.
Durkheim menyebutkan bahwa dalam suatu masyarakat dengan solidaritas mekanis dicirikan dengan hukum yang bersifat represif atau menindas. Dalam masyarakat terdapat kepercayaan yang kuat pada nilai moralitas bersama, sehingga apabila terdapat serangan terhadap nilai moralitas tersebut maka setiap orang dalam masyarakat tersebut juga turut merasakan serangan tersebut.
Banyak masyarakat yang menolak hadirnya Saipul Jamil di layar kaca sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat bersifat menindas (represif) Saipul Jamil bahwa pelaku pencabulan dilarang muncul di TV, selain itu terdapat penandatanganan petisi mengenai hal ini yang dilakukan oleh komunitas tertentu.
Dalam hal ini, banyak masyarakat yang bersimpati dan turut merasakan kesedihan korban. Kasus ini telah melanggar nilai moralitas yang ada dalam masyarakat sehingga banyak masyarakat yang turut menandatangani petisi tersebut.
Sedangkan dalam suatu masyarakat dengan solidaritas organik dicirikan dengan hukum yang bersifat restitutif, yaitu hukum yang menghendaki para pelanggar hukum memberikan ganti rugi atas kejahatan yang dilakukannya. Menurut Durkheim, dalam masyarakat ini, pelanggaran dilihat sebagai suatu perbuatan yang melawan individu atau masyarakat tertentu daripada melawan sistem moralitas.
Dimana sebagian orang tidak bereaksi secara emosional secara terhadap pelanggaran hukum yang ada, para pelanggar hukum dalam masyarakat organik ini lebih memilih memberikan ganti rugi kepada orang-orang yang dirugikan atas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Saipul Jamil.
Seperti dalam kasus pencabulan yang dilakukan oleh Saipul Jamil ini, hukum masyarakat dengan solidaritas organik berbeda dari masyarakat dengan hukum solidaritas mekanis.
Dalam kasus ini hukum masyarakat dengan solidaritas organik bersifat ganti rugi terhadapat pelanggaran hukum yang telah dilakukan seperti korban yang melaporkan Saipul Jamil pada pihak berwajib (Badan Kontrol Sosial), hal ini bertujuan agar Saipul jamil dapat mengganti rugi pelanggaran hukumnya dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh UUD.
Selain itu, sebagian besar masyarakat dengan solidaritas organik tidak bereaksi secara emosional dalam kasus ini bahkan cenderung cuek. Hal ini dikarenakan Saipul Jamil sebagai pelaku telah menjalankan ganti rugi, yaitu hukuman penjara yang telah ditetapkan oleh hakim selama 5 tahun, sehingga masyarakat dengan solidaritas organik menganggap ganti rugi itu sudah cukup untuk menebus kesalahanya.
Bagi saya, hukum dalam kedua masyarakat tersebut menggambarkan bahwa masyarakat turut berperan dalam kajian hukum. Dalam hal ini reaksi masyarakat terhadap kasus hukum sangat terlihat jelas dengan mengomentari kasus secara kritis.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Jember Angkatan 2019 yang sedang menjalani program Kemendikbud Pertukaran Pelajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).