Oleh: Iswayudhi*
PIRAMIDA.ID- Kasus kekerasan atau pelecehan seksual sendiri bukanlah suatu fenomena yang baru lagi di telinga kita. Di Indonesia sendiri kebanyakan kasus pelecehan seksual ini sering terjadi pada lembaga-lembaga yang dipandang hormat oleh masyarakat, seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu pesantren di Bandung, Jawa Barat di mana tindak kriminal itu sendiri dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus pesantren di daerah tersebut.
Sebut saja HW ia telah melakukan tindak pelecehan seksual pada santriwatinya sendiri, di mana ia telah memperkosa 13 anak perempuan yang belajar di pondok pesantren tersebut dan 9 di antaranya sedang hamil dan juga beberapa ada yang sudah melahirkan, di mana rata-rata umur dari korban pelecehan seksual ini berkisar antara 13-17 tahun dan mirisnya lagi kasus ini setelah diselidiki sudah terjadi sejak 2016 silam dan baru terungkap sejak bulan Mei 2021 namun pada saat itu belum sampai ke publik sehingga kasus ini tidak terlalu heboh, namun pada bulan Desember ini kasus itu menjadi ramai karena telah diungkap di publik.
Kasus kekerasan atau pelecehan seksual ini sendiri telah diproses oleh pihak kepolisian dan kini HW atau tersangka telah ditahan karena dianggap telah melanggar Pasal 81 ayat 1 dan 3 UU Perlindungan Anak dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Di Indonesia sendiri kasus pelecehan seksual di pondok pesantren menduduki peringkat kedua setelah universitas, angka yang begitu tinggi ini sangatlah membingungkan masyarakat, apalagi pondok pesantren merupakan suatu tempat untuk menuntut ilmu agama dan tentunya juga dituntun oleh orang yang paham tentang agama, namun setelah melihat kasus ini seakan sangat membingungkan.
Tingginya angka pelecehan seksual di pondok pesantren ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya perhatian atau tinjauan pemerintah terkhusus Kementrian Agama terhadap pondok pesantren yang berdiri di tanah air, masih sangat banyak pondok pesantren yang belum sesuai dengan syarat dinyatakan itu sebuah pesantren, hanya dengan meminta izin atas pembuatan suatu gedung itu bisa saja dipergunakan sebagai pondok pesantren.
Selain dari kurangnya perhatian dari pemerintah, kasus pelecehan seksual ini sendiri bisa terjadi karena adanya kekuatan atau juga kekuasaan dari pelaku terhadap korban, pelecehan seksual ini sendiri bisa dilakukan oleh pelaku karena para korban dirayu dan juga secara tidak langsung memaksa dengan cara menuntut agar korban harus patuh terhadap gurunya, yakni pelaku.
Namun kini setelah kasus ini diusut oleh pihak kepolisian, pelaku sudah tertangkap dan kini juga sudah dikenakan sanksi penjara selama 20 tahun. Namun dibalik itu para keluarga korban meminta agar pelaku dijatuhi hukuman mati, karena menurut keluarga dan juga masyarakat tindakan yang telah dilakukan oleh HW ini sudah sangat melebih batas.
Kasus pelecehan seksual ini juga merupakan suatu mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan oleh para korban yang kesemuanya masih dibawah umur. Hampir semua anak korban pelecehan seksual ini mengalami trauma yang sangat mendalam. Rasa sedih dan juga takut masih membayangi mereka.
Menurut saya sendiri pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak santriwati ini sangat layak untuk diberikan hukuman mati dibandingkan penjara, karena sebab yang ditimbulkan oleh pelaku bukan lagi terhadap fisik melainkan juga mental para korban.
Dari kasus ini sendiri terutama pemerintah lebih bisa memperhatikan lagi terutama pada pemberian izin bangunan, yang pada awalnya meminta ijin sebagai rumah yatim malah dipergunakan sebagai pondok pesantren.
Oleh karenanya pemerintah lebih harus memperhatikan lagi dan juga lebih rajin meninjau bangunan- bangunan yang berpengaruh bagi tumbuh kembang anak bangsa. Dan juga dari masyarakat juga lebih harus memperhatikan lagi sekitarnya dan lebih peduli terhadap lingkungan.
Untuk masyarakat sendiri sangat penting agar bisa membedakan mana benar-benar tempat yang bisa dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya karena tidak semua rumah mengaji itu bisa dikatakan pesantren karena pada dasarnya sebuah pondok pesantren itu bisa dikatakan iya jika memenuhi syarat-syaratnya dan juga diharapkan tidak memandang tempat atau kepercayaan tertentu sebagai suatu hal yang buruk, karena itu merupakan salah manusianya bukan salah dari kepercayaan yang dianutnya.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).