Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Analisis tentang keuangan negara di tengah pandemi sangat menarik untuk didiskusikan, apalagi ini berkaitan dengan kinerja pemerintah, renyah rasanya bernalar meskipun sejatinya saya bukan seorang ekonom.
Cara kerja Menteri Keuangan menurut saya sangat jenius. Mengapa? Tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Dia tahu bahwa di saat pandemi, suku bunga pasti akan naik, karena tingkat resiko juga tinggi. Likuiditas juga rendah. Bayangkan kalau tapering The Fed benar terjadi, akan semakin sulit dapatkan dana dan bunga akan jauh lebih tinggi. Makanya sejak tahu 2020 Menteri Keuangan berusaha menarik pinjaman diatas defisit. Salah? Tidak. Itu dasar hukumnya jelas, yaitu Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus.
Total pinjaman tahun 2020 adalah sebesar Rp 1.225,9 triliun, sementara defisit Rp 947,70 triliun. Jadi kita ada kelebihan dana sebagai sikap jaga jaga.
Sementara pembiayaan valas lebih diarahkan kepada sumber dana multilateral, seperti World Bank. Maklum vaksin dan alat kesehatan masih impor. Jauh lebih baik hutang dengan Bank Dunia berbunga murah dan lunak daripada menguras cadangan devisa. Penggunannya sesuai amanah Perpu, yaitu program vaksinasi gratis untuk menjangkau seluruh penduduk dewasa Indonesia. Pembiayaan ini untuk membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih tangguh, termasuk surveilans genomik untuk varian baru.
“Tapi kamu lihat. Indikator rasio utang terhdap APBN kita jatuh semua dan bahkan mengkawatirkan sekali. Bahkan BPK memperingatkan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya,” kata teman.
“Di tengah situasi pandemi ini tidak bisa menjadikan referensi IMF dan atau International Debt Relief (IDR) sebagai indikator layak atau tidak layak. World Bank International Debt Statistics (2021) menyebutkan kira kira 70% negara-negara berpenghasilan menengah ke atas (tidak termasuk Indonesia, yang masuk menengah bawah). Menarik hutang untuk bayar utang. Artinya mereka sudah tidak mampu bayar utang dari pendapatan negara. Semua indikator seperti rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan, rasio utang terhadap penerimaan. Semua sudah terlewati jauh dari ambang batas IMF. Itu sudah terjadi sebelum ada pandemi. Dan mereka baik baik saja.”
“Loh kenapa begitu?” kata teman.
“Utang itu diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Selagi produksi terus terjadi dan konsumsi domestik terjaga dengan baik, daya tahan ekonomi tetap terjaga aman. Nanti setelah proses recovery dimulai, masalah utang itu akan tercover oleh pertumbuhan ekonomi. Saat sekarang, tidak ada negara yang benar benar tumbuh ekonominya selain China dan Vietnam. Sabar aja sampai pandemi berlalu.”
“Mengapa tidak lakukan penjadwalan utang. Bukankah World Bank ada program penjadwalan hutang atau pilih opsi debt SWAP.”
“Walau penjadwalan hutang itu adalah fasilitas World Bank, namun tetap saja tidak populer. Mengapa? Karena negara yang masuk katagori boleh ikut program pejadwalan adalah negara yang dianggap gagal. Artinya kalaupun dapat penjadwalan pastilah ada program penyesuaian. Dan itu jelas sangat politik. Itu sama saja menyerahkan kedaulatan negara kepada kreditur. Engga sehat. Sama seperti dulu 1998 ketika kita di bawah pengawasan IMF. Mengenai debt to SWAP, juga tidak mudah. Karena butuh audit lingkungan yang rumit dan lama. Selama proses itu kita jadi bulan bulanan LSM sebagai negara lemah dan tidak becus. Enggalah. Indonesia sangat jauh untuk dianggap negara lemah sehingga perlu debt to SWAP.”
Jadi sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir dengan utang?
“Yang paling tahu kondisi utang itu mengkawatirkan atau tidak ya kreditur. Mana ada kreditur bego. Nah, menurut Standard and Poor’s (S&P), Sovereign Credit Rating Indonesia pada investment grade BBB. Selain itu, Lembaga pemeringkat global asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc. (R&I) juga mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB+/outlook stabil (Investment Grade) pada 22 April 2021. Itu artinya negara masih punya magnit besar menarik sumber daya keuangan. Karenanya proses menuju recovery selama pandemi bisa terus berlangsung sampai kita bisa melwati batas resesi untuk bangkit lagi. Tentu dengan syarat utama adalah utang harus dikelola dengan baik. Ya, patokannya UU.
Saya tidak melihat pemerintah melanggar Perpu 1/2020. Rasio utang kita masih di kisaran 44% dari PDB. Itu di bawah pagu rasio utang berdasarkan UU Keuangan Negara, yaitu 60%. Kalau dibandingkan dengan negara lain kita masih lebih baik, debt rasio mereka seperti Singapura di 150%, Malaysia 62%, Filipina 54%. Apalagi dibandingkan dengan AS 78%, Jepang 256%. Kita akan baik baik saja.”
Beragam spekulatif tentang keuangan daerah. Apalagi orang awam seperti saya, pasti sering mengada-ada soal kajian tentang keuangan. Akan tetapi ini perlu menjadi catatan singkat sebagai bentuk, “orang awam pasti bisa menggugat.”(*)
Penulis merupakan Pemuda Halmahera Barat.