Rakhmad Hidayatulloh Permana*
PIRAMIDA.ID- Dunia terus bergerak cepat dan hidup kian tak pasti. Manusia lintang pukang mengejar sesuatu yang entah apa namanya. Manusia saling bersaing dan tekanan hidup musykil dihindari. Hingga lelah, ringkih, dan akhirnya terjerembab ke dalam tubir kegelisahan.
Lalu, apa yang bisa ditawarkan sebagai obat kegelisahan? Haidar Bagir, seorang penulis buku-buku bertema sufi, pernah mencatat pola menarik dari manusia-manusia yang tersedot kegelisahan ini. Manusia yang secara lahiriah hidupnya sudah mapan bisa merasa hampa. Akhirnya, mereka pergi mencari oase bernama spiritualisme guna mencari makna.
Haidar melihat tren kebutuhan akan spiritualisme di negara-negara maju sudah lama terasa, dibandingkan dengan di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, kebutuhan akan spiritualisme itu sudah kuat terasa sejak dekade 1960-an. Hal ini bisa dilihat dari maraknya budaya hippies yang memberontak terhadap nilai-nilai kemapanan. Mereka pun mencari-cari alternatif-alternatif baru.
Sebagian dari mereka ada yang pergi ke India untuk belajar yoga dan Hinduisme. Hingga bermunculanlah beragam bentuk spiritualisme model kultus-kultus (cults).
Pola semacam ini tampak kembali pada media 1990-an hingga 2000-an. Tonggaknya yakni ketika CNN menurunkan laporan pada 10 Mei 2000 tentang tahun para pelancong spiritual (the year of the spiritual traveler). Ribuan orang memenuhi panggilan mistik atau panggilan spiritualnya untuk meninggalkan rumah guna menziarahi tempat-tempat “suci”. Kota Assisi di Italia, tempat lahir St. Francis, dan Gereja Basilica menjadi salah satu tujuan.
Wali Kota Assisi, Georgio Bartolini, ketika itu memperkirakan ada jutaan pengunjung di Assisi dan Basilica setiap harinya dari tahun 1999 hingga 2001. Tempat lain yang ramai dijadikan tujuan perjalanan suci adalah The Dome of the Rock di Yerusalem dan Ayer’s Rock atau Uluru di Australia.
Fenomena ini agaknya juga tak hanya menyentuh negara-negara maju saja. Di Indonesia misalnya, menurut seorang kawan, ajaran sufisme juga sempat menjadi tren di era 90-an. Pada masa itu bahkan ada penerbit yang fokus menerbitkan buku-buku bertema sufisme. Seorang teman lain, menyebut bahwa Universitas Paramadina di Jakarta pernah jadi kiblat bagi tren sufisme di Indonesia.
Mungkin, pada era itu, memang ada rasa dahaga masyarakat akan spiritualisme, apa pun bentuknya. Dan meskipun pada dekade 2000-an saya masih bocah, saya tahu bahwa novel seri Supernova karya Dewi ‘Dee’ Lestari pernah jadi best seller. Novel itu mengangkat tema besar tentang spiritualisme dan pertanyaan soal makna kehidupan.
Apakah zaman hanya mengulangi dirinya saja? Apakah ‘dahaga spiritualisme’ adalah pola berulang dari setiap manusia lintas zaman?
Saya tertarik dengan fenomena ini –apa yang sedang bergerak? Namun, dua tahun ke belakang ini (2019-2020), dari pengamatan pendek saya sebagai pengunjung setia toko buku, ada tren yang menarik pada industri buku self-help di Indonesia. Buku-buku motivasi cara mengejar kekayaan sepertinya sudah mulai pudar kejayaannya. Tentu saja ini amatan masih rapuh karena belum didukung data yang kredibel.
Tapi, saya memang sudah jarang sekali melihat buku genre itu. Misalnya, buku-buku karya Ippho Santosa yang sempat laris manis pada tahun 2011-an karena mengeksplorasi tema rezeki dan kekayaan, kini sudah tak pernah saya lihat lagi bertengger di rak buku best seller.
Rak best seller kini diisi buku-buku self-help untuk mencapai mindfullness –kondisi pikiran ketika fokus dan damai. Misalnya buku The Subtle Art of Not Giving a Fuck karya Mark Manson yang diterjemahkan menjadi Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat begitu laris dan kerap saya lihat di mana-mana. Di stasiun KRL, di busway, hingga kafe. Di Instagram, orang-orang dengan bangganya memotret buku itu dan menganjurkan semua orang untuk membacanya.
Nasib yang sama juga dialami oleh buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Ini adalah buku yang secara blak-blakan membahas soal filsafat stoikisme. Ajaran stoikisme adalah sejenis praktik filsafat untuk membantu manusia agar pikiran manusia tetap netral dan damai. Henry mengaku pernah mengalami depresi dan stoikisme membantunya untuk sembuh.
Mark Manson tak secara eksplisit membahas stoikisme dalam bukunya. Namun, jika dibaca dengan saksama, jelas nuansa stoikisme untuk menenangkan pikiran itu sangat kentara dalam bukunya.
Buku jenis lain yang tak kalah laris dan sering nongol di rak best seller, yang sering saya lihat, adalah buku Good Bye Things-nya Fumio Sasaki dan Seni Beres-Beres dan Merapikan ala Jepang karya Marie Kondo. Meskipun tak seutuhnya sama, kedua buku itu membahas soal gaya hidup minimalisme, yang akarnya berasal dari ajaran zen.
Sekadar informasi, Steve Jobs, pendiri Apple yang ikonik itu juga seorang penganut minimalisme. Bahkan, menurut kesaksian putrinya, Lisa Brennan-Jobs, Steve juga punya guru zen.
Selanjutnya, buku-buku dengan tema stoikisme dan zen bermunculan terus bak cendawan di musim hujan. Kenapa sekarang buku-buku itu laris? Barangkali karena masyarakat kita sepertinya sudah terlalu sumpek dengan kehidupan saat ini.
Setiap hari, bahkan setiap jam, tren konten viral berubah dengan sangat cepat di media sosial. Kebenaran makin sulit dibedakan. Para politikus tak bosan mengibuli dan menawarkan harapan kosong. Persaingan tampak kian telanjang. Orang bisa saling maki satu sama lain tanpa perlu sungkan lagi.
Tekanan hidup tak berkurang bebannya. Dan kini banyak orang yang tanpa malu mengakui bahwa hidup mereka tak pernah mudah. Tidur dengan tenang jadi sebuah kemewahan. Lagu Secukupnya yang didendangkan oleh Hindia cukup pas menangkap fenomena ini.
Dan buku-buku dengan tema tadi bisa membantu banyak orang untuk tertidur tenang dan sejenak mengistirahatkan hidupnya. Dengan menjadi bodo amat, mencintai diri sendiri terlebih dulu, lihai mengelola harapan, pandai menentukan respons perasaan, punya ruang hidup yang minimalis dan rapi membuat hidup menjadi damai.
Zen, stoikisme, dan sufisme memang beda. Namun, ketiganya memiliki satu napas yang sama: tentang seni menarik jeda untuk memahami realitas. Dunia ini begitu chaos, butuh ketenangan yang dalam agar bisa mengurai makna kehidupan. Namun, sebagian kita punya alergi dengan spiritualisme. Utamanya, mereka yang melihat hidup dari kacamata rasionalitas belaka.
Namun, Yuval Noah Harari dalam buku mutakhirnya, 21 Pelajaran untuk Abad 21 menganjurkan kita untuk mempelajari meditasi –sebuah praktik yang erat kaitannya dengan spiritualisme. Iya, Anda tidak salah baca, Yuval yang saya maksud adalah Yuval penulis buku laris Sapiens dan Homo Deus. Seorang intelektual yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan mengamini teori evolusi.
Dia mengaku telah mengamalkan praktik meditasi vipasanna. Dalam sehari, dia menyediakan waktu 2 jam untuk meditasi, merasakan udara masuk dan keluar secara perlahan melalui hidungnya dengan penuh nikmat. Meditasi katanya, bukan sebuah upaya untuk lari dari kenyataan, tetapi ia justru upaya untuk get in touch dengan kenyataan. Ringkasnya, meditasi membantunya melihat dunia secara jernih.
Tapi, saya pernah membaca komentar salah seorang penggemar berat Yuval, yang tampaknya sangat anti dengan spiritualisme. Dia pernah mengkritik dan kecewa dengan Ulil Abshar Abdalla karena sekarang lebih memilih rutin menjadi mengkaji kitab Ihya Ulumuddin karangan ulama tasawuf besar Imam Ghazali –kitab tasawuf yang banyak mengajarkan tentang pentingnya laku spiritualisme; kembali ke Tuhan lewat jalan ibadah.
Padahal waktu masih aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), kata dia, Ulil kritis dan rasional. Al-Ghazali, baginya, tak menarik lantaran menjauhi rasionalitas dan lebih dekat ke spiritualisme, atau lebih tepatnya pada “yang mistis” –itu jelas tak rasional.
Dia juga pernah mengolok-olok Deepak Chopra, guru spiritualisme yang sangat populer di AS. Dia menyebut Deepak tak lebih dari seorang dukun. Intinya, dia sepertinya punya alergi dengan apa yang intuitif, atau yang mengandung spiritualisme.
Hal yang sama kira-kira juga pernah saya perhatikan ketika dr Ryu Hasan mengeluh kepada Budiman Sudjatmiko dalam suatu diskusi tentang pemikiran Yuval: “Saya ini kecewa sama Yuval, ujung-ujungnya dia kok kayak frustrasi dan kembali meditasi,” kira-kira begitu keluhnya.
Saya duga mereka alergi dengan spiritualisme karena itu erat kaitannya dengan agama. Padahal, spiritualisme itu melampaui agama. Tapi, spiritualisme adalah kesadaran akan kekuatan adikodrati yang ada di luar jangkauan manusia.
Stoikisme padahal sangat rasional sekali. Ajaran ini membedakan dua hal yang sangat penting dalam hidup: ada yang bisa kita kendalikan dan ada yang tak bisa kita kendalikan. Apakah yang tidak bisa kita kendalikan itu artinya dikendalikan oleh kekuatan sang maha?
Dan ajaran zen, jelas di dalamnya terkandung praktik meditasi. Ajaran ini mengingatkan tentang perlunya menghargai alam, menyatu dengan irama alam.
Sufisme, tidak seperti dua ajaran yang di atas. Secara eksplisit ajaran ini mengakui tentang keberadaan Tuhan. Merenungi diri sebagai debu di hadapan yang Mahakuasa. Dari sini, saya kira banyak orang yang rancu soal posisi rasional
itas dan spiritualisme. Menjadi rasional itu bukan berarti menepis spiritualisme. Dan merengkuh spiritualisme itu tidak sama dengan mengamini pseudoscience (sains abal-abal).
Apakah karena sikap yang kian rasional ini, kita malu-malu menerima kembali tren spiritualisme? Mungkin saja. Oleh karena itu, kini spiritualisme seperti mengemas dirinya dalam bungkus yang lebih menarik –minimalisme dan stoikisme contohnya. Sejenis spiritualisme gaya baru.
Apapun itu, hidup memang tak pernah mudah. Apalagi hari-hari belakangan ini, ketika pandemi membuat semuanya serba tak pasti. Dan spiritualisme barangkali seperti jalan setapak menuju hutan rahasia. Kita boleh duduk di sana, menikmati waktu bergerak lembam dan merenungi makna hidup dalam tiap helaan napas….
Penulis merupakan wartawan dan seorang pengunjung setia toko buku. Pertama kali terbit di Detik.