Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Seminggu lalu, Sabtu (19/12/2020) saya terlibat dalam pertunjukan “Suatu Ketika di Bandar Lamuri” yang ditampilkan di Pantai Lampuuk, Aceh Besar.
Pertunjukan dipersiapkan sejak bulan November 2020 dengan menyiapkan tahap awal naskah panggung yang diadopsi dari novel “Kura-kura Berjanggut” Azhari Aiyub. Novel tebal yang terbit sejak 2018 dan sebanyak 960 halaman itu diciutkan ke dalam naskah panggung hanya lebih kurang delapan halaman dan durasi pertunjukannya sampai 60 menit.
Adaptasi juga terjadi dengan mengangkat sejumlah model warisan budaya dari Aceh, terutama yang terkait dengan potensi seni pertunjukannya untuk difungsikan sebagai transisi di urutan babak atau adegan tertentu. Beberapa dari model warisan budaya itu, seperti sarunei kalee, rapa’i Pasee, tari guel dan sining, serta koreografi yang bersumber dari tradisi.
Sebelumnya, proses latihan untuk pertunjukan dibayangkan dapat berlangsung dua minggu. Namun dapat diundur sampai tiga minggu untuk memaksimalkan bentuk dan isi pertunjukan.
Lima hari sebelum pertunjukan proses pemadatan bentuk dan isi pertunjukan menjadi fokus dan konsentrasi proses, di samping kordinasi dan berbagai evaluasi antar-elemen yang terus memperkaya pertunjukan. Sampai 17 Desember lalu proses latihan berlangsung di lingkungan kantor BPNB Aceh dengan batas garis imajiner panggung dan artistiknya.
Dua hari sesudahnya berturut di panggung dan artistik yang nyata di area Joel’s Bungalow Lampuuk untuk orientasi, adaptasi, pengambilan gambar, dan final pertunjukan.
Di sela-sela itu tentu saja ada materi lain seperti evaluasi dan temu pers, meskipun penonton sudah dibatasi sesuai protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19.
Bahkan sebelum final pertunjukan semua dari personal tim tidak menyebarkan sesuatu yang bersifat ajakan di media sosial, selain tempat rekreasi dan wisata itu dinyatakan tutup khusus pada hari pertunjukan. Namun kelihatan juga ada pengunjung yang asyik mandi di laut menjelang final pertunjukan dan terpaksa diarahkan menjauh dari kemungkinan tertangkap tiga kamera dan satu drone untuk pertunjukan itu.
Para seniman dan pekerja teknis panggung dari Aceh bekerja untuk pertunjukan dan saya menjadi spesial karena fasilitasi yang dilakukan oleh BPNB Aceh. Sebagai salah satu penulis naskah panggung “Suatu Ketika di Bandar Lamuri”, saya sekaligus menjadi Direktur Artistik dan pemeran Asoekaya, tokoh yang dijebloskan lebih awal di penjara sampai kematiannya. Dialah yang meramalkan Nurrudin akan menjadi seorang sultan, selain upaya adiknya bernama Nenek Apiun untuk kebebasan si anak haram sultan sebelumnya.
Wilayah kerja BPNB Aceh yang meliputi Aceh dan Sumatera Utara, sehingga posisi spesial saya juga menjadi representatif, bahkan menjadi “super spesial” karena dianggap berpengalaman dalam proses membuat pertunjukan Opera Batak yang direvitalisasi sejak 2002. Menang tahun 2016 saya menerima Penghargaan Kebudayaan dalam Kategori Pelestari Opera Batak, juga atas dorongan BPNB Aceh dan seterusnya mulai terlibat dalam Program Belajar Bersama Maestro (2018) dan sejumlah program lainnya untuk pemajuan kebudayaan.
Pertunjukan “Suatu Ketika di Bandar Lamuri” menampilkan jejak sejarah dan akar multikultural di Aceh, meskipun ide dan sumber utama pemanggungannya bersifat fiksional.
Cobalah membuka link YouTube Bpnb Aceh, di mana per hari Minggu, 27 Desember 2020 pada pukul 19.00, pertunjukan “Suatu Ketika di Bandar Lamuri” dapat mulai ditonton secara virtual. Lebih kurang Anda sekaligus akan melihat latar belakang panggung adalah pemandangan laut di pantai Lampuuk, salah satu destinasi favorit di Aceh sebelum dan sesudah tsunami.(*)
Penulis merupakan direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt). Dikenal sebagai sastrawan Sumut.