Tulus Panggabean*
PIRAMIDA.ID- Secara umum kita telah mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda. Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras yang cukup banyak.
Keunikan yang terdapat pada masing-masing suku, agama, ras tersebut justru seharusnya mampu menjadi kekuatan dan kekayaan bagi bangsa ini. Akan tetapi, pada dewasa ini, keragaman itu masih tetap saja memunculkan sikap-sikap yang fanatik terhadap keberagaman itu, di antaranya adalah sikap etnosentrisme dan religiosentrisme.
Sifat-sifat seperti ini masih kerap terjadi di kalangan masyarakat dan masih banyak di temukan dalam ruang-ruang publik yang kemudian memicu kesalahpahaman yang akan menimbulkan konflik antara satu identitas dengan indentitas lainya.
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Etnosentrisme merupakan salah satu istilah yang menyatakan suatu pandangan atau persepsi yang di miliki seorang individu atau kelompok mengenai penilaian kebudayaan lain.
Individu atau kelompok tersebut menganggap bahwa kebudayaan miliknya diyakini lebih unggul dan baik daripada budaya lainya. Sifat ini merujuk pada sikap seorang individu atau kelompok kepada budayanya secara berlebihan.
Begitu juga dengan religiosentrisme, sifat individu ataupun kelompok yang menganggap bahwa aliran kepercayaannya lah yang paling baik dan yang paling benar dibandingkan aliran kepercayaan lainya secara berlebihan.
Hal seperti ini adalah awal benih memicu gesekan-gesekan horizontal di kalangan masyarakat yang akan menimbulkan sifat fanatisme di kalangan indivu dan kelompok masyarakat.
Etnosentrisme dan religiosentrisme tidak serta merta muncul dalam diri seseorang atau kelompok begitu saja, namun ada berbagai macam yang melatarbelakangi munculnya hal tersebut, yang pada umumnya sifat tersebut muncul karena faktor dari lingkungan sosial individu ataupun kelompoknya.
Jika dilihat kembali sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang disponsori oleh keberagaman atas agama, ras, mapun suku di berbagai pulau-pulau negeri yang bersatu melawan penjajah adalah hal yang patut kita refleksikan sekarang ini.
Konflik-konflik horizontal yang menjadi konsumsi kita sehari-hari yang tertuang dalam media-media cetak mapun online menjadi hal yang harus kita seriusi untuk kesatuan bangsa ini.
Pada dewasa ini banyak kasus-kasus kekerasan, kejahatan yang mengatasnamakan budaya ataupun agama, padahal sejatinya tak ada ajaran budaya ataupun ajaran agama yang mengajarkan kebencian terhadap kepercayaan individu atau kelompok lainya.
Kita kerap terjebak dalam respon kecintaan yang berlebihan terhadap budaya atau ajaran agama kita yang pada akhirnya respon-respon yang salah atau respon yang berlebihan tersebut menimbulkan kebencian terhadap ajaran lainya yang tidak sesuai dengan ajaran yang kita anut.
Seharusnya dengan adanya keberagaman di nusantara kita ini, menjadikan kita semakin bersyukur dan seharusnya semakin saling menghargai satu sama lain di dalam keberagaman itu.
Fanatisme bukanlah sesuatu yang membuat suku, agama ataupun budaya kita menjadi semakin baik, akan tetapi menjadi mempermudah perpecahan di nusantara ini. Indonesia adalah negara dengan beragam keunikan, maka itu harus tetap dijaga dan dilestarikan, bukan direspon dengan cara yang salah.(*)
Penulis merupakan Sekretaris Cabang GMKI Pematangsiantar-Simalungun.