PIRAMIDA.ID- Aksi massa atau aksi main hakim sendiri kerap kali terjadi di sejumlah daerah. Biasanya hal ini diawali oleh adanya tindakan kriminal. Boleh jadi karena warga sudah terlalu jengah dengan aksi-aksi kriminal sehingga dilampiaskan dengan melakukan aksi main hakim sendiri.
Namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi di Desa Boti, Kecamatan Kie, Nusa Tenggara Timur (NTT. Di tempat ini, pencuri tidak diberikan hukuman apalagi menjadi sasaran main hakim sendiri. Pelaku pencurian oleh Raja di Desa Boti justru diberikan modal untuk hidup.
Hal ini diungkapkan Dekan Fakultas Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Kupang, Idris M Ali dalam talkshow Festival Kebudayaan Desa, Kongres Kebudayaan Desa yang berlangsung pada Senin (13/7/2020).
Idris yang pernah lima kali ke Desa Boti mengakui bahwa Desa Boti memang memiliki kearifan lokal yang mengakar kuat. Salah satunya kewenangan Raja yang menjadi kepala adat. Ia memiliki wewenang untuk menentukan langkah apa yang harus dilakukan warganya.
Termasuk di antaranya ketika terjadi peristiwa pencurian. Warga setempat maupun raja tidak memberikan hukuman fisik atau pun hukuman lainnya. Pencuri justru diberikan modal atau barang yang sesuai dengan apa yang diambil.
Harapannya pelaku pencurian tersebut kemudian bisa menyadari kesalahan dan tidak perlu lagi melakuan hal yang sama demi untuk memiliki sesuatu.
“Raja sendiri yang memberikan hukuman, dengan memberikan barang sesuai dengan yang diambil,” katanya.
Di Desa Boti memang tampak sekali semangat kebersamaan dan kesetaraaannya. Bahkan tidak bisa dibedakan antara yang kaya dan yang miskin. Karena semuanya sama saja.
“Tidak ada kaya, miskin, semuanya rata. Mereka kuat sekali saling tolong-menolong,” tambahnya.
Hal lainnya yang sangat berkesan bagi Idris adalah kebanggaan warga Desa Boti dalam menerima tamu.
Mereka, menurut Idris sangat bahagia dan terhormat ketika dikunjungi. Mereka pun akan sangat bangga untuk memuliakan tamu tersebut.
Menurut Idris, Raja Boti sendiri sangat demokratis.
Lantaran dalam kesehariannya ia tidak pernah menekan atau memaksa warganya. Bahkan ia memberikan kebebasan warganya dalam memilih agama yang diyakini dan juga soal pendidikan.
“Selama memberikan kebaikan, raja tidak pernah memaksa,” tambahnya.
Ia juga begitu takjub dengan prinsip hidup Suku Boti yang konsisten berdampingan dengan alam. Prinsip mereka, alam akan murka jika mereka berbuat semena-mena terhadap alam. Alam juga lah yang selama ini memberikan mereka kehidupan sehingga mereka bisa berdiri di atas kakinya dengan mamanfaatkan kekayaan alam.
Prinsip hidup ini dibenarkan oleh Kepala Desa Boti, Balsasar O I Benu. Hal ini tak terlepas dari adat Atoni Metu yang menjamin bahwa orang itu akan berdiri di atas hasil karya dia sendiri, bagaimana dia menghidupi dia dan keluarganya.
“Jadi tidak perlu mengharapkan stimulus atau bantuan dari luar dirinya sendiri. oleh karena itu orang boti percaya bisa bertahan tanpa bantuan dari mana pun, selama masa pandem ini,” tandasnya.
Sebagai informasi, Suku Boti merupakan suku asli Pulau Timor. Mereka berada di Desa Boti, Kecamatan Kie, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Amanuban Timur di sebelah utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Amanuban Tengah, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Amanatun Selatan dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Amanuban Tengah.
Desa Boti sendiri memiliki luas wilayah 17,69 kilometer persegi dan berada di ketinggian 523 di atas permukaan laut. Lokasinya cukup jauh dari ibu kota kecamatan maupun ibu kota kabupaten. Yakni 12 kilometer ke ibu kota kecamatan, dan 64 kilometer ke ibu kota kabupaten.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2017, Desa Boti terdiri atas 4 dusun, 8 RW dan 17 RT. Dengan jumlah penduduk sebanyak 2155 jiwa pada tahun 2016, dengan kepadatan penduduk sebanyak 122 jiwa per kilometer persegi. (*)
Sumber: Kongres Kebudayaan Desa