Oleh: Jefri Gultom*
PIRAMIDA.ID- Pada 6 Oktober 2021, BPIP mengadakan sarasehan nasional bertajuk ‘’Sinergi Pembumian Pancasila bersama Organisasi Masyarakat Bidang kepemudaan dan kebangsaan.’’ Narasumber dalam kegiatan tersebut berasal dari organisasi kelompok Cipayung Plus dan semacamnya. Tujuan utama kegiatan tersebut digelar menurut BPIP, sebagai ajang untuk menjalin kerja sama dan kolaborasi menghidupkan kembali Pancasila di lingkungan kampus.
Sebagai seorang aktivis dari kelompok Cipayung Plus yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut menyaksikan bagaimana antusiasnya kelompok pemuda tersebut dengan berbagai macam program kerja yang berkaitan dengan pembumian Pancasila. Meskipun, perlu diketahui bahwa mayoritas kegiatan pengkaderan di kelompok Cipayung Plus selalu mengusung jiwa Pancasila.
Kegiatan tersebut diselenggarakan untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila sekaligus menyongsong 93 tahun Sumpah Pemuda. Dua peristiwa sejarah yang menjadi tonggak perjalanan bangsa bertahan dalam beragam identitasnya hingga kini. Sangat kental para pemimpin muda tersebut mengungkapkan kekhawatiran sekaligus melontarkan kritikan tajam kepada BPIP mengenai peranannya dalam pembumian Pancasila.
Kekhawatiran pertama adalah soal tantangan global yang didominasi oleh geliat digitalisasi. Bertaburan informasi yang tak terbendung menambahkan kecemasan tersendiri. Apalagi kalau membaca tren rekam pendapat publik yang terus mengalami peningkatan mengenai sikap intoleran.
Riset dari PPIM UIN Jakarta dirilis pada tanggal 2 Maret 2021: 30,16 persen mahasiswa Indonesia intoleran. Sementara hasil yang dirilis oleh Katadata, sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia pada 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 184 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, dan organisasi kemasyarakatan (ormas).
Sementara hasil yang dirilis oleh Setara Institute, pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak dilakukan oleh aktor non-negara berupa intoleransi, yakni 62 tindakan. Lalu, ada 32 tindakan pelaporan penodaan agama, 17 tindakan penolakan mendirikan tempat ibadah, dan 8 tindakan pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan aktor non-negara. Ada pula 6 tindakan perusakan tempat ibadah oleh aktor non-negara pada 2020. Sementara, kasus kekerasan dan penolakan kegiatan lainnya yang dilakukan aktor nonnegara sepanjang tahun lalu masing-masing sebanyak 5 tindakan.
Sejak tahun 2005 tren pro Pancasila terus menurun. LSI merilis hasil 85,2% warga pro Pancasila, pada 2010 menjadi 81,7 %, kembali mengalami penurun tahun 2015, yakni 79,4%, kemudian 75,3% di tahun 2018. Kalau digabungkan menjadi kurang lebih tren penurunan sejak 2005 adalah 13% warga yang tidak pro Pancasila.
Setiap 28 Oktober sejak tahun 1928 adalah musim sejarah yang terus hidup dalam ingatan kolektif. Wahana komitmen intelektual yang bersimpul dalam menjiwai hakekat hidup bersama sebagai bangsa dan negara. Imajinasi yang menghidupkan masa lalu, masa kini dan yang akan datang.
Sumpah Pemuda adalah ide progresif dari kesadaran visioner yang menumbuhkan benih-benih kecerdasan dari daya pikat kepekaan pada realitas hidup rakyat. Ungkapan solidaritas kebangsaan yang kemudian membentuk identitas bangsa. Soliditas perjuangan melampui kekhasan identitas apapun.
Menyiratkan keberanian untuk menerobos kebrutalan kolonial, wahana ekspresi inklusifitas semangat kebersatuan dalam ruang republikanisme. Sebagai bukti otentik atas komitmen perjuangan bersama serta prosedur kemerdekaan bangsa yang merupakan buah dari komitmen untuk hidup bersama melalui suatu kesepakatan yang lahir dari soliditas perjuangan.
Sumpah Pemuda menghendaki kesadaran untuk mengimajinasikan imaji komunitas yang akan dikonstruksikan. Ada daya pikat untuk ‘’mendekontruksi’’ (Yudi Latif) ulang mengenai imaji komunitas yang lama menuju komunitas baru yang dicita-citakan. Mereka berani menerobos ruang gerak yang dipersempit oleh kolonialisme untuk bergerak maju mencapai cita-cita bersama. Kepekaan pada harkat dan martabat manusia Indonesia yang direndahkan.
Agar bisa memperoleh hak hidup dan kebebasan hakiki sebagai bangsa merdeka. Bahkan dengan sikap terbuka mereka bersepakat untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, meskipun masa itu pemuda dari suku Jawa sebagai mayoritas, yang mana bahasa Jawa juga jadi bahasa mayoritas.
Sumpah Pemuda menyiratkan kemampuan untuk mewujudkan imajinasi melampui batasan agama dan etnis. Ada kesanggupan untuk membingkai kesempitan etnisitas menuju solidaritas kebangsaan dalam semangat kebersatuan yang mengantarkan kita sampai pada kemerdekaan.
Pemuda Era Digital
Era millenium III hari-hari ini, persis kebalikanya. Era di mana orang hidup dengan keterbukaan informasi, kecepatan akses, gampang memperoleh keinginan, dan mudah memenuhi kebutuhan.
Teknologi melahirkan otonomi diri. Otonomi diri demikian kuat dengan tuntutan rasionalitas hingga mudah terjebak pada ruang kemodernan dan melupakan hal-hal esensial dalam realitas hidup sosial budaya. Pemuda yang hidup dalam semangat individualitas. Punya kecenderungan pada pragmatisme. Usaha dan proses menjadi tidak penting untuk dibiasakan. Hilangnya rasa peduli dan terasing dari realitas.
Komunikasi sosial jadi macet. Orang lebih suka berkomunikasi dalam ruang maya. Berdialog tanpa harus bertemu. Bertemu tapi tidak berinteraksi. Relasi sosial jadi relasi maya. Matinya rasa peduli dan hilangnya kepekaan sosial menggeser daya pikat ”kecerdasan kewargaannya’’ (Yudi Latif) dalam menjiwai sumpah yang telah diikrarkan.
Dahulu para pemuda akrab dengan realitas sosial, sekarang rabun dengan realitas. Ruang dialog sebagai komunitas intelektual terbungkam. Kreativitas dan komitmen intelektual mudah goyah oleh pengaruh kekuasaan. Konsolidasi pikiran kritisnya di bungkam oleh kaum borjuasi dan oligarki. Sementara perjuangan pemuda era digital, selalu melahirkan sosok pragmatis. Generasi bermental sate. Mau makan sate harus cari kambing.
Dahulu pemuda menempatkan diri sebagai komunitas yang berintegritas. Kini pergerakan pemuda sering dikendalikan oleh penguasa. Uang yang mengatur ruang gerak pemuda. Perjuangan kaum muda kini identik dengan manusia rental. Siap untuk dibayar kapan pun dan harus menjamin ada gerakan massa untuk demonstrasi tanpa dasar.
Membingkai Masa Depan
Barometer peradaban hari ini menjalar dalam bingkai Revolusi Industri 4.0 (Industrial Revolution 4.0). Kepungan teknologi serba disruptif, menandai lajunya fenomena ini, mulai dari Internet of Things (IoT), big data, otomasi, robotika, komputasi awan, inteligensi artifisial (artificial intelligence).
Artinya kita tidak bisa menampik bahwa teknologi jadi sopir peradaban. Manusia pun mengimani kemajuan teknologi sebagai proses tanpa cela, netral, bebas nilai, absen dari tendensi rivalitas, dan kepentingan ekonomi.
Dalam konteks itu, kelahiran teknologi juga sangat membantu perkembangan dunia dan perjalanan peradaban ke arah positif. Sehingga teknologi bukan hanya urusan para teknolog.
Kalau kita merujuk pada teori kebudayaan maka teknologi adalah unsur penting saat ini dalam membentuk kebudayaan fisik. Contoh yang paling sederhana adalah permainan anak-anak yang ada di toko, taman bermain, dan ruang-ruang publik. Ini semua tentu menjadi wahana kebudayaan fisik yang di bentuk dengan bantuan teknologi.
Meminjam Ignas Kleden bahwa teknologi dapat dilihat dalam tiga aspek penting kebudayaan, yaitu teknologi sebagai dunia ide dan gagasan, teknologi sebagai tingkahlaku dalam bekerja, dan teknologi sebagai kebudayaan fisik.
Maka dari itu, dalam menyambut era baru pembaharuan teknologi dan masa depan bangsa, kita perlu perumusan ulang strategi sebagai wahana untuk mempersiapkan pemuda masa depan.
Pertama, penguatan kebudayaan nusantara. Era ini kita hidup dalam pertarungan komunitas aktual dan komunitas virtual. Tantangan terbesar bangsa ini adalah soal komunitas yang tak kelihatan tapi diam-diam menguasai seluruh elemen kebangsaan. Makanya banyak isu beredar yang gampang menjebak kita untuk masuk dalam pembatasan ruang gerak karena penguatan isu identitas. Pada titik inilah penguatan ideologi, semangat gotong royong, solidaritas kebangsaan perlu dirumuskan lagi berkaitan dengan strategi dan implementasi dengan cara-cara modern.
Bertaburannya desakan media sosial yang sangat bebas harus menjadi konsen bersama secara internal untuk kembali memantapkan doktrin ideologi secara aktual sebelum masuk ke doktrin ruang virtual. Kita harus rekonstruksi ulang sistem pendidikan yang lebih rapih, kontekstual dengan gelagat zaman dan tepat sasaran. Ini juga secara proyeksi kedepan ruang digital akan kita kuasai dengan internalisasi ideologi. Lintas wilayah dalam hal partisipasi baik itu kegiatan antara kedaerahan harus terus dibuka ruang agar sharing pengalaman menjadi sebuah tradisi baru dalam bergerak maju era digital.
Dalam konteks teknologi sebagai kebudayaan material fisik maka mungkin dipikirkan untuk menjajaki adanya digitalisasi materi-materi kebudayaan bangsa. Bisa menghemat waktu dan tempat, bisa saling berbagi peran dan saling belajar, ada pengakuan dan apresiasi serta transfer pengalaman kebudayaan diantara keberagaman baik secara nasional bahkan mendunia.
Kedua, pengembangan sumber daya manusia. Ini soal etos kerja baik itu secara individu maupun komunitas. Karena hari-hari ini lagi ramainya orang bekerja dalam kelompok komunitas, dengan suasana santai jauh dari aspek formalitas. Mentalitas individu harus diperkuat bukan hanya melalui sistem pendidikan formal berjenjang, tapi perlu rekayasa dengan non formal agar terciptanya kualitas manusia unggul dan berdaya guna. Mampu bekerja dalam tim, kolaborasi baik lintas komunitas, perusahaan, instansi maupun secara ekternal yakni kompetisi global, serta kesadaran untuk terlibat langsung dalam peristiwa hidup masyarakat.
Ketiga, inisiatif publik. Ini soal ruang publik oleh otoritas harus di buka, di beri ruang agar kebebasan generasi muda dalam mengekspresikan karya-karya mereka. Ada ruang dan waktu untuk berkumpul melakukan aksi-aksi solidaritas, ruang dimana masyarakat bisa mengadakan karya-karya seni dan budaya, serta berkomunitas merumuskan kreativitas dan inovasi. Sebab digitalisasi berpengaruhi pada proses komodifikasi melalui teknologi. Komodifikasi sebagai proses mengubah atau mengaplikasikan sesuatu menjadi bernilai ekonomis.
Inisiatif publik melalui kerjasama dengan lembaga terkait perlu dibuka untuk membingkai dua dimensi ini. Karena era digital menandai melebarnya inovasi dan kreativitas individu. Generasi milenial identik dengan kelompok kreatif dan imajinatif. Pengalaman unik di lapangan membuat kelompok ini sangat dinamis dalam kerja tim, tidak terkekang dengan birokrasi yang ruwet dan bertele-tele. Dialog akan lebih real, dan suasana interaksi akan semakin nyata. Ada proses kesalingan untuk saling mentransfer pengalaman hidup dan pengetahuan. Keguyuban juga akan tercipta dengan sendirinya. Interaksi sosial pun semakin rekat dengan komunikasi sosial secara nyata.
Keempat, pengembangan media digital. Soal media digital menjadi peran vital yang harus diakselerasi pengembangannya karena akan menjadi jembatan tranformasi sekaligus memperkuat digital networking secara global. Ini juga sebagai pasar pengakuan posisi sosial kita. Bagimana kita menempatkan diri dalam social networking secara virtual. Penggunaan media digital yang terus meningkat jadi wahana kampanye perubahan sosial dengan konsep edukasi dan hiburan yang dikemas melalui metode yang efektif dan menarik.
Ini sebagai wahana baru proses penanaman nilai, ideologi, khazanah budaya melalui kanal digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, hadir sebagai keterlibatan nyata pemuda dalam gerakan perubahan. Penyaluran informasi misalnya sudah beralih ke konsep infografis yang pola komunikasinya lebih simpel dan sederhana. Konsep sketsa digital tapi mudah untuk dipahami dengan kedalaman makna dan substansi. Mengadopsi teori perubahan social oleh Everett M Rogers, bahwa pemuda millennials bisa memainkan peran sosialnya sebagai opinion leader dalam mengaktivasi budaya bijak berteknologi. Pelatihan perlu ditingkatkan.
Kelima, literasi digital. Berhubung era teknologi dengan literasi sistem belajar secara digital semakin kuat, maka kita harus punya kesiapan untuk membentengi yang konvensional dengan yang digital. Kita juga bisa memperkuat perspektif secara global. Menguatkan sekaligus menyalurkan kredibilitas intelektual baik itu secara individu maupun kelompok. Kita juga memperkuat doktrin ideologi secara virtual. Bisa punya banyak kesempatan dan ruang untuk berbagi pengalaman belajar secara maya lintas wilayah dan daerah. Dititik inilah intelektualitas pemuda didoktrin kembali dengan cara baru, ruang kreativitas dan inovasi akan terjawab, kolaborasi semakin mantap. Budaya baca tulis kembali dipupuk dengan cara yang modern.
Keenam, generasi milenial. Kelompok imajinatif dan kreatif, semangat berinovasi sesuai pengalaman unik, kecepatan melayani dalam berbisnis, bekerja sederhana dan simpel. Sifat dinamis dan kreatif anak muda, secara tidak langsung menjadi ruang dan waktu untuk mempromosikan potensi kebudayaan nusantara. Dengan sifat kreatif dan inovatifnya pemuda bisa mengkonversi rasa peduli, cinta, dan kebiasaan dalam berpetualang, melalui cerita menarik secara digital. Lewat kreatifitasnya dalam bermedia sosial, menjadikan individu, kelompok ataupun komunitasnya, sebagai sebuah upaya untuk menggaungkan nuansa kultural ke kompetisi global.
Artinya sebagai bangsa kita siap membangun komunitas intelektual yang bebas berpikir kritis, menerima informasi namun cerdas dalam mencerna, bebas menginisiasi pergerakan tapi punya nilai etis dan tanggung jawab moral pada moralitas publik, bebas menerobos peradaban tapi penuh kehati-hatian, bebas merangsang nalar kritis tapi punya legitimasi moral subyektif.
Sumpah Pemuda adalah ekspresi kebudayaan yang beranjak dari realitas hakiki. Ia menyiratkan kita untuk sadar akan kesepakatan dalam ikatan: bertanah yang satu, berbangsa yang satu dan berbahasa yang satu, yaitu Indonesia. Momen untuk membentuk generasi bangsa yang sadar dan visioner. Sumpah Pemuda bukan hanya proses menjadi bangsa, tetapi konsepsi identitas keindonesiaan yang inspiratornya adalah pemuda.
Dengan itu, sejarah peradaban manusia Indonesia akan terpadu dalam keutuhan holistik antara kebudayaan dan teknologi di mana arti penting keduanya akan kita sadari sepenuhnya. Sehingga setiap peristiwa sejarah tidak akan mungkin berakhir dengan berlalunya masa lalu dan masa sekarang ini.
Sebab, tantangan saat ini bukan lagi soal kolonialisme, tapi sudah berevolusi menuju kompetisi global, perangnya hari ini dan esok bukan lagi soal senjata, tapi kepekaan dalam menyambut cepatnya perkembangan zaman.
Selamat 93 tahun Sumpah Pemuda!(*)
Penulis merupakan Ketua Umum PP GMKI. Penulis juga merupakan mahasiswa Pascasarjana di Universitas Indonesia.