Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Jabaran liturgos yang mewakili perasaan ingin menguasai hak sepenuhnya sepertinya telah kembali dengan berbagai dalil dan dalih spekulatif yang relatif singkat, padat, dan jelas. Alih-alih ingin menjadi superior. Hal ini merajuk pada predikat tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi pengabdian yang sejauh ini memiliki andil besar terhadap arus lalu lintas dalam berbangsa dan bernegara.
Semenjak duduk di bangku perkuliahan, hukum senioritas adalah hukum tertinggi di dalam dunia kampus. Apalagi ketika pasal senior dikemas lalu dirajam dalam bentuk kisi-kisi sebagai instrumen tunduk diam dalam cengkeraman yang diberlakukan terhadap junior. Namun dalam penulisan kali ini, kita bukan lagi membahas tentang masalah “hukum senior terhadap junior” yang di berlakukan di dalam dunia kampus yang selama ini telah menjadi hukum bayangan yang mewarnai pada saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman kampus.
Pembahasan tentang senioritas kali ini akan bermuara pada posisi independensi suatu wadah kaderisasi organisasi yang bertajuk pada term “mediator positif” ditengah-tengah pergolakan agama, budaya, dan politik nantinya. Eksistensi kali ini dinilai adanya tendensi sentral antara senior dan junior yang secara subjektif akan melahirkan vertikal konflik antara gagasan junior dan senior. Argumentasi yang dibangun menggunakan sandaran teori praktis semata-mata hanya ingin berlindung dibalik tirai perjuangan “Oikumenis dan Nasionalis.”
Bukan apa-apa, hanya saja kalimat yang tepat terhadap senior ketika diberikan kesempatan untuk menyampaikan argumentasi adalah: “yang tua jadilah sang pembapa bagi kaum bapa. Yang muda tengoklah sejarah pijak orang tua.” yang jika ditafsirkan, kalimat kualat ini akan senantiasa meramu dan menjadi pil anti dogma bagi kaum muda dalam berseberangan pemikiran dengan kaum yang lebih tua (senior).
Kalimat sederhana yang sering dijampi-jampikan oleh kaum tua yang telah muak untuk didengarkan ialah “gabung jurus”. Etika dalam berlogika mengalami kecelakaan ketika ini menjadi dasar dan ditelan bagai seruput kopi didalam cangkir. Gerakan mahasiswa yang katanya adalah Kristen ternyata sedang dikristenisasikan melalui dogma yang diutarakan lewat pemikiran “gabung jurus” oleh para superior senior.
Tulisan kali ini bukan semerta-merta mengajak untuk berseteru didalam rumpun. Hanya saja pendalaman organisasi yang diimani sebagai wadah rekreasi rasanya tidak lagi sama ketika digabungkan dengan berbagai latar belakang perjuangan yang berbeda. Alasannya, jika kebiasaan ini terus berlanjut maka akan ada kemerosotan berpikir yang dialami oleh kaum muda yang berteduh didalam satu payung perjuangan yang memiliki perbedaan ideologi dalam berjuang.
Hal riskan lainnya berada pada kajian tentang pengaruh eksternal dan internal. Secara pribadi mungkin masih sangat kecil resiko yang ditimbulkan di saat berada pada lingkungan ideologi praktis. Namun ketika hal ini terus-menerus eksis maka hal yang dianggap tabuh akan tetap tumbuh. Inilah yang disebut sebagai “riskan politik praktis.”
Pada dasarnya, anak-akan meniru perilaku orang tuanya. Meskipun lambat, namun itu adalah hal yang pasti. Jika ada bantahan lewat pendekatan “filterisasi pemahaman pribadi” yang dimainkan orang tua, maka yang terjadi ialah kebingungan dalam bernalar yang akan dirasakan oleh seorang anak.
Pemahaman saya tentang didikan orang tua terhadap anak semestinya orang tua menjadi guru terbaik dan mengarjakan agar anak tetap tumbuh berkembang dan mandiri secara pribadi bukan dikuasai dan diatur layaknya penguasa yang berdalih cinta tanah air. Bentuk rekreasi anak-akan berada pada cengkraman orang tua jika sejak awal terus-menerus diawasi atau diproteksi oleh orang tua dengan dalil sediakan payung sebelum hujan.
Analogi tentang orang tua dan anak merupakan satu gebrakan dalam bernalar kritis yang sengaja di eja sesederhana mungkin untuk mempermudah dalam menganilisis maksud dari tulisan ini.
Karakteristik dengan ritme bak animo perjuangan nasionalis dan oikumenis yang mengedepankan iman Kristen akan stagnan pada posisi malas berpikir dikarenakan terus berada pada lingkaran orang tua yang mengadopsi nalar membebaskan tanpa melepaskan, melepaskan tanpa membebaskan ini.
Saya kemudian teringat pada bacaan saya tentang Soe Hok Gie yang katanya: “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau,” yang diterjemahkan menjadi sumber perlawanan tanpa tendensi. “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi, aku memilih untuk menjadi manusia merdeka.”
Kiranya ini menjadi bahan evaluasi kita sebagai kader yang sadar akan posisi sebagai “mediator positif” di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.(*)
Penulis merupakan Pemuda Halmahera dan Kader GMKI.