Oleh: Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Minggu pagi yang syahdu. Kuterima surat dari sahabat. Ia yang merindu pada kejayaan nusantara. Aku menangis membacanya. Begitu miris. Kini kubagi buat kalian. Mahasiswa seantero Jawa. Yang bertemu di bawah gunung Slamet. Mencandra Indonesia: “Kawan, kita lahir di tanah merdeka. Sama-sama keturunan bangsa Indonesia.
Kita mewarisi kekayaan ini sungguhpun warisannya kini termiliki warga asing-aseng.
Kita memang pewaris seluruh kekayaan ibu pertiwi tetapi tergadai semua: air, tanah bahkan udara. Badan kita menginjak bumi nusantara bergelimang sumber daya alam, namun mata kita melihat jelas kesenjangan yang terjadi antara sang tuan dan hamba. Budaknya bangsa-bangsa.
Mungkin, tubuh ini dapat berdiri tegar melihat kesenjangan yang ada. Tetapi di lubuk paling dalam, hati ini bergetar. Aku marah pada ketidakadilan sosial yang terjadi hari ini yang seolah tersistem oleh elite korup dan begundal.
Aku tertunduk patah hati karena Garuda tak mampu mengangkasa. Aku menangis karena kesaktian dari setiap sila-sila yang ada, tidak mampu memberikan kami cahaya kesejahteran dan kemakmuran.
Aku cemburu pada negeri kafir-liberal tak berbatas tapi mampu menghadirkan jaminan sosial bagi seluruh tumpah darahnya.
Tetapi kita tidak boleh menyerah untuk mencintai Indonesia dengan Pancasilanya. Kita kan terus mencintai Indonesia dengan segenap jiwa dan raga untuk memastikan sayap Garuda mampu menjelajah dunia dan akhirat dng martabat.
Maukah kalian menjadi sahabat dan pasukan yang setia?
Kasih. Setelah mati, aku tetap merindu. Karena itu, kutulis surat ini dari alam kubur. Di sini sepi. Tak ada apa-apa. Hening sehening-heningnya. Sunyi, mirip ibu kesunyian. Altar rindu rasaku. Kini tertusuk jarum waktu. Sesuatu, sesanti santiniketan yang kini telah lenyap. Terhalang oleh tirai pemisah: hidup dan mati.
Jadi, kalau ada yang bilang di kuburan terdapat drama kehidupan, itu bohong besar. Makanya, di Indonesia korupsi dan kejahatan meningkat sebab mereka tidak percaya hari pembalasan, tidak percaya siksa kubur, tidak percaya neraka. Dari profesi apa saja (presiden sampai ketua erte) semua berlomba korupsi. Dari agamawan apa saja, semua bangga mencuri. Tampilannya saja berpeci, berjilbab dan ziarah umrah-haji. Itu PHP dan pencitraan, tipuan dan pengkhianatan. Kelakuannya lebih sadis dari setan: merampok dan memfinah setiap detik tak berhenti.
Kasih. Malaikat kemarin bilang kamu sakit. Seribu sakit memelukmu. Pilu. Sejuta keentahan menerkammu. Hening menjadi bening. Tuhan memang sering semaunya. Terutama saat udara menyatakan cinta melalui nafas. Ya nafas manusia. Bukan si dungu di rumah tembok peternak kebencian.
Tuhan juga ambigu. Terutama saat cahaya menyatakan cinta melalui bayangan. Ya bayang senja saat ombak mencium pantai di Kute. Saat daun menikam dunia via angin yang memeluk mesra.
Taukah engkau kalau air menyatakan cinta melalui arus dan api menyatakan cinta melalui abu? Arus dan abu itu akibat. Dari sebab yang abstrak tapi jelas dapat dirasa. Mirip kangenku sebagai akibat dari kesepian bin kesunyian. Kuharap kini engkau sedang bersama anak-anak zaman yang gagah. Tak pilu walau takdir kejam merajam. Amin. Amitaba. Amplop saja.
Para bijak mengetik bahwa pohon menyatakan cinta melalui buah. Para rahib berfatwa bahwa ruang menyatakan cinta melalui jarak. Para wali berkata bahwa waktu menyatakan cinta melalui musim. Sedang aku menyatakan cinta melalui rindu; sepotong rindu yang hanya dibaca tiap sepi menghampiri. Sayangnya, engkau tak membalasnya dan tak peduli sebab dunia sungguh suci di matamu; engkau tak suka sastra, apalagi puisi. Cintamupun dulu hanya cinta kalam dan hadist terputus.
Sunyi di keramaian. Sepi di heningnya bumi. Gelap di terangnya siang. Syahdu di kuburan. Betapa kurindu padamu.
Semoga engkau dan anak-anak sudah sarapan pagi. Dapat senyum dari yang mencintai. Bukan murka yang tak bernalar. Sebab murka adalah peradaban terendah.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre.