Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Setelah bangun pagi hari dan ingin membuka pintu saya tak sengaja melirik tiga judul dari Noam Chomsky di rak buku. Ketiga judul itu adalah “How The World Works”, “Pirates And Emperor”, dan “Who Rules The Word”.
Tentu saja judul-judul itu tidak susah diterjemahkan pembaca. Sehingga dipertahankan dalam versi terjemahan yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang Yogyakarta pada 2016 dan 2017.
Ketiga buku itu dapat memberikan gambaran tentang hegemoni Amerika Serikat karena kekuasaan dan tekanannya atas banyak negara di dunia. Untuk lebih luas dan detail tentang isi buku, Anda bisa membeli dan membacanya langsung.
Karya-karya Noam Chomsky yang berani mengkritik Amerika Serikat membuatnya sebagai salah satu pengarang yang paling banyak dikutip. Analisis dan teorinya begitu mendalam atas berbagai masalah di dunia; seperti diskriminasi, perdamaian dunia, ketidakadilan yang diterima di dunia ketiga, gangguan dari kekuatan global, rekayasa terorisme, dan berbagai kebijakan oleh pemerintah dan lembaga negara serta media di Amerika Serikat.
Selain ketiga judul itu masih ada beberapa buku Noam Chomsky yang pernah saya pegang dan baca. Dulu waktu kuliah di fakultas sastra pengarang ini tak banyak disinggung dalam buku teori sastra. Beliau ternyata cenderung disinggung dalam konteks pendekatan linguistik Saya pernah terlintas membacanya.
Sehingga nama ini tidak asing ketika buku-bukunya diterjemahkan di Indonesia. Di sebuah universitas swasta di Medan nama Noam Chomsky diadopsi untuk nama satu ruangan. Saya baru tahu setelah membaca buku-bukunya yang sudah diterjemahkan.
Apa yang terlintas di pikiran saya tadi pagi sewaktu melirik ketiga judul buku? Sekilas muncul pikiran saya tentang kapitalisme lokal. Warna global yang diceritakan dalam ketiga buku itu tentu terkait dengan jaringan kapitalisme global, baik atau buruk. Soal baik dan buruk atas hadirnya kapitalisme sudah pernah diulas nama-nama seperti William J. Baumol, Robert E. Litan, dan Carl J. Schramm (Gramedia, 2010).
Berarti ada yang disebut kapitalisme baik dan kapitalisme buruk untuk suatu pertumbuhan dan kemakmuran. Kalau ditanya, kira-kira di mana bisa kita temukan salah satu dari keduanya? Atau yang buruk itu hanya ada pada kapitalisme awal yang dikritik oleh Karl Marx?
Kita semua hampir tak bisa terhindar dari kepentingan kapitalisme. Sampai saya mulai mapan memanfaatkan media ini ada kaitannya dengan kapitalisme. Kapitalisme itu sudah dianggap sebagai ideologi dan praktik kekuasaan dengan modal materialnya. Negara-negara maju selalu diidentikkan menjalankan ideologi dan praktik itu.
Meskipun seperti beberapa negara di Eropa ada yang kelihatan kapitalis, namun juga menjalankan tanggungjawab sosialnya dengan memberikan bantuan yang tidak mengikat. Saya tak perlu mencontohkan sebagaimana orang baik yang suka memberi dan selalu mendapat rezekinya dari tempat lain. Orang kaya yang kikir adalah juga dapat bersosial dengan memperhityngkan keuntungan dari hubungan yang dilakukan.
Kapitalisme lokal mungkin orang-orang yang juga sangat percaya dengan Tuhan, lepas dari agama dan keyakinan yang dianutnya. Dia dapat menyumbang pembangunan gedung-gedung dan kegiatan sosial. Sehingga yang menerima sumbangan darinya bahkan percaya kalau itu karena perintah Tuhan.
Sebenarnya itu tidak terlalu menarik lagi untuk dicermati. Yang namanya memberi tidak harus dikomentari, meskipun ada tujuan politisnya. Lebih percaya saja atas unsur kebaikan di dalam pemberian itu.
Seperti orang yang tadinya mengandalkan kepercayaannya kepada Tuhan dapat terus bertahan dan tidak berubah menjadi orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Kapitalisme lokal perlu juga dapat menjual dagangannya atas kepercayaannya pada Tuhan.
Percaya atau tidak percaya kepada Tuhan sepertinya pembahasan yang cukup sensitif. Namun saya tidak ingin menganggap tidak percaya kepada Tuhan lebih baik daripada percaya. Mari kita buktikan.
Ini menyangkut persepsi yang tepat dan sudah lama saya pahami. Namun persepsi ini muncul tadi siang waktu saya di atas sepeda motor. Saya juga berhubungan dengan produk kapitalisme dengan mengendarai sepeda motor itu untuk membeli air mineral.
Mestinya ide ini muncul lagi kemaren waktu saya di atas bus. Atau jauh sebelum pandemi Covid-19 ada. Maksudnya sebelum pandemi itu saya masih sempat naik pesawat. Kenapa waktu di pesawat persepsi tidak percaya sama Tuhan itu tidak sering muncul?
Saya kira persepsi yang sering muncul sewaktu menaiki pesawat adalah harapan. Kita berharap pesawat tidak jatuh ketika ada turbulensi atau gangguan cuaca yang kurang baik. Guncangan kecil saja bagi yang menginap penyakit jantung dapat membuat persepsi pesawat seakan-akan segera jatuh.
Selamat sampai di tujuan juga harapan paling utama setelah menaiki pesawat. Namun setelah pandemi Covid-19 saya tidak terlalu tertarik lagi menaiki pesawat. Mungkin ada alasan utamanya.
Jadi persepsi tidak percaya kepada Tuhan itu wajar saja tidak muncul lagi di dalam pesawat. Bagaimana ketika kemaren di bus? Kemaren saya menulis di dalam bus untuk topik lain. Itu mungkin situasinya. Hari ini topik yang mau ditulis bisa dua. Namun saya memilih persepsi tidak percaya sama Tuhan.
Persepsi tidak percaya kepada Tuhan bisa berlawanan dengan persepsi percaya kepada Tuhan. Saya juga bisa memilih percaya kepada Tuhan berdasar persepsi yang dipilih orang lain. Agama-agama lokal di Indonesia dianggap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Namanya bisa beda-beda menurut asal agama-agama lokal itu. Penganut agama lokal dalam masyarakat Batak Toba percaya kepada Mulajadi Nabolon. Kadang nama itu disebut Debata (dewata), kadang Ompung (leluhur). Sedangkan agama-agama yang merasa bersaing dengan agama-agama lokal dan yang beda memiliki nama Tuhan masing-masing yang spesifik.
Bahkan dapat diasosiasikan lewat sebutan lokal. Misalnya Debata Jahoba (Dewata Jahwe) , campuran kosakata Batak Toba dan Jahudi. Sedang menyebutkan dengan Ompung Jahwe belum pernah saya dengar.
Percaya kepada Tuhan dengan berbagai namanya itu sudah umum. Tinggal persepsinya yang perlu diuji. Apa persepsi sesungguhnya di balik pengakuan.percaya kepada Tuhan? Harapan tentu ya. Iman tentu juga ya. Perlindungan apalagi. Dengan percaya kepada Tuhan sepertinya semua akan beres. Termasuk terhadap kemakmuran ekonomi.
Sebaliknya?
Saya sudah berani mengatakan saya tidak percaya sama Tuhan. Buktinya sampai dengan judul tulisan ini. Itu pernah mengejutkan kelompok religius. Kenapa bisa begitu, tanya mereka. Sebaiknya begitu, saya jawab. Ah, jangan main-main kata mereka lagi.
Betul, saya tegaskan.
Apakah Anda sudah Ateis? Atau tak lagi mengakui agama? Tuhan dianggap selalu punya hubungan baik dengan agama.
Saya mengulangi senyum. Ini harus dijelaskan dari inti percaya itu sendiri. Dari mana sesungguhnya inti percaya itu datangnya? Ini bukan gugatan. Lagi-lagi saya tegaskan sebatas persepsi atas percaya itu. Dari mana ‘si percaya’ itu muncul dan kemana ditujukan akan membongkar maksud persepsi itu.
Mungkin diperlukan contoh kecil dari seorang bos kepada bawahannya. Bawahan percaya akan diberikan jaminan upah atau gaji oleh bosnya. Percaya saja, kecuali tiba-tiba dipecat. Lalu kalau dipecat masih bisakah bawahan itu percaya kepada si bos? Kenapa pula si bos memecat bawahannya.
Selagi manusia si bos bisa dituntut ke pengadilan karena memecat bawahannya. Artinya, dasar pemecatan berlawanan dengan undang-undang tenaga kerja. Namun ada aspek lain yang bisa diutarakan secara terbuka, baik di hadapan bawahannya atau perlawanan si bos atas tekanan hukum. Persepsi percaya si bos terhadap bawahannya bisa ditegaskan.
Saya sebagai atasan tidak percaya lagi kepada bawahan saya yang satu ini! Si bos membacakan pleidoi.
Lalu mau apa lagi bawahan itu? Mungkin minta maaf, menangis, atau menjelaskan ulang kenapa tidak dipercaya lagi oleh si bos. Si bos boleh juga khilaf dengan ketidak-percayaan itu. Khilaf atau salah si bos dari sisi bawahan bisa juga mengubah persepsi percaya bawahannya. Ini bisa semakin rumit, padahal hanya soal percaya antara si bos dan bawahan. Bagaimana lagi kalau si bos dan bawahannya sudah saling tidak percaya?
Lama-lama lingkungan mengerti kalau si bos tetap bisa memiliki kuasa atas posisnya. Sedang bawahannya mungkin tetap akan tidak dipercaya, meskipun tidak jadi dipecat atau diberikan pengampunan.
Bawahan selalu membangun kepercayaan si bos untuk bisa membuatnya ringan mengerjakan banyak hal. Dia tidak perlu berpura-pura percaya kepada si bos agar semua tugas yang harus diselesaikan tergantung pada kepercayaannya. Mungkin sekedar percaya diri oke saja. Namun percaya kepada si bos tidak menentukan jaminan si bos percaya kepadanya.
Saling percaya hanya berlaku di dalam bisnis. Juga di dalam kapitalisme. Itupun selalu harus dibuktikan kalau dibuat dasar saling pengertian dengan yang biasa disebut MoU. Kedua belah pihak menegaskan poin-poin di dalam draft. Baru ditandatangi bersama di hadapan saksi atau umum.
Satu bawahan tidak mungkin juga mengikuti perintah dua bos. Namun dua bawahan bisa dipercaya oleh satu bos. Sedangkan dua bos percaya untuk dua bawahan mungkin punya perusahaan yang berbeda. Atau dua perusahaan yang melakukan kerjasama karena berada dalam suatu wilayah atau negara. Agama-agama bisa seperti perusahaan. Kalau tidak seperti itu bisa jatuh miskin dan menjadi seperti pengemis.
Konon, Tuhan menurunkan agama-agama. Kalau Tuhan seperti si bos berarti agama-agama adalah bawahannya. Sampai di situ persepsi percaya dan tidak percaya bisa Anda tangkap. Kalau saya meneruskannya ini menjadi benar-benar sensitif.
Bahkan saya dianggap seperti Tuhan karena terkesan melecehkan agama-agama dan penganut yang mengandalkan persepsi percaya kepada Tuhan itu. Apapun nama Tuhan dalam berbagai agama dan budaya terimalah rasa percaya yang menggerakkan seluruh pekerjaan Anda selagi hidup di bumi ini. Bukan kepercayaan Anda sana Tuhan yang paling menentukan. Itu hanya karena tuntutan persepsi yang biasa-biasa saja.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.