Arya Widihatmaka*
PIRAMIDA.ID- Dulu sekitar tahun 1994 saya penah mengalami gejala psikologi takut mati. Kalau saya ingat saat ini penyebabnya adalah literatur keagamaan, seperti (narasi) azab neraka, siksa kubur, pengadilan akhirat yang sulit, dsb.
Setelah beberapa tahun kondisi mencekam itu saya lalui, nuansa batin menjadi berubah, saya biasa berpikir tentang kematian, atau sekedar membicarakannya dengan orang-orang dekat.
Dengan begitu saya malah bisa menjalani hidup dengan tenang, tidak arogan atau ambisius, memandang kehidupan ini secara kosmologis, berusaha selalu memperbaiki diri, berupaya untuk dermawan, suka bila bisa membantu sesama, dan lebih menghargai kehidupan secara umum termasuk binatang dan tumbuhan.
Takut mati mungkin juga hormonal, sedangkan wacana adalah pemicunya, karena inilah ada obat-obatan yang bisa mengendalikan rasa takut sehingga dia menjadi tidak takut mati walau tidak secara alami.
Mati adalah kepastian, baik orang shaleh maupun bangsat semua akan mati. Mati bukan teori, namun ada beberapa teori dalam mempersiapkan kematian menurut kepercayaan yang dianut seseorang. Kematian memang dekat dengan persoalan kosmologi, baik kosmologi budaya, kosmologi agama, atau bahkan bisa juga kosmologi sains.
Dalam kosmologi budaya, kematian punya pernik yang banyak. Pada dasarnya jiwa seseorang dipercayai tetap eksis dan orang yang masih hidup bisa melakukan kontak seperti dengan pembakaran dupa, doa, mengunjungi makamnya, sedekah atas nama “si mati”, dsb.
Tak jarang dikatakan “si mati” memberi arahan tertentu bagi kehidupan keluarga dan sahabat karibnya. Ada juga kematian yang membawa sial bagi keluarganya, yaitu biasa disebut mati penasaran, sehingga rohnya bergentayangan menghantui yang masih hidup.
Bahkan ada cerita-cerita masyarakat mengatakan melihat orang yang sudah mati, dan di antara mereka berbuat aneh sehingga keluarganya kebingungan.
Yang seperti itu biasanya “si mati” (diyakini) orang yang penuh muatan jahat, punya ilmu yang salah, atau masih punya tanggungan tertentu. Ada juga kematian yang dijual, yaitu “si mati” dijual demi kepentingan tertentu seperti untuk kekayaan (pesugihan) dsb. Membicarakan kematian dalam kosmologi budaya akan sangat panjang dan banyak pernak perniknya.
Dalam kosmologi agama, tentu saja bahasan pasca dunia. Apa saja yang dialami seseorang dalam kehidupan akhirat yang diawali dengan kematian. Itu akan beragam menurut versi agama masing-masing.
Terkadang kosmologi agama seperti itu bisa mengguncang kejiwaan seseorang bahkan bisa menyebabkan gila karena ketakutan yang amat sangat hingga akal seseorang rusak. Namun bagian lain bisa menumbuhkan optimisme seseorang karena dia memiliki ruang psikologi dan keyakinan yang luas sehingga kemauan menjalani hidup tetap ada ketika tekanan kehidupan begitu berat.
Dalam kosmologi sains, sebenarnya ini hal baru. Memang, jiwa diyakini tidak eksis, sehingga setelah mati seseorang urusannya selesai. Benarkah demikian? Bagaimana bisa dibuat kesimpulan seperti itu? Terlepas dari perdebatan, “si mati” tetap mati, dia tidak bisa dihidupkan lagi kemudian ditanyai bagaimana sensasi transisi kehidupan yang barusan dia alami.
“Mati yang tidak bisa dihidupkan lagi” ini menjadi hukum dalam sains, bukan sekedar teori lagi. Namun mulai ada gagasan bahwa kesadaran dan memori seseorang diabadikan dalam perangkat teknologi modern sehingga harapannya suatu identitas tadi masih hidup meski tubuh fisiknya sudah dikubur atau dikremasi
Demikianlah seputar kematian dalam dunia manusia
Lalu bagaimana dalam dunia binatang? Kalau kita perhatikan beberapa binatang tidak takut mati, itu terlihat bahwa mereka tidak takut ancaman atau bahaya. Biasanya adalah serangga. Semisal laron. Laron mendekati api dan terbakarlah tubuhnya, mestinya dia sebelum terbakar sudah merasakan panas luar biasa. Tetapi kenapa malah terjun dalam api.
Demikian juga dengan semut, kalau kita perhatikan mereka tidak punya persepsi tentang hal yang menakutkan sehingga suka merayap di areal yang bisa membuat dia mati. Mungkin semakin kompleks suatu kesadaran ketakutan akan mati semakin besar. Karena ituah binatang-binatang seperti mamalia memiliki persepsi rasa takut sebagaimana kita manusia.
Mungkin saat ini ada di antara Anda yang masih takut mati. Anda harus melewati hal itu. Dan memang, ketika Anda melewatinya mungkin dibutuhkan rekonstruksi pikiran. Mungkin bagi Anda yang atheis akan tidak sudi melakukan rekonstruksi pikiran menjawab tantangan soal kematian karena Anda anggap berhubungan dengan agama sedangkan Anda telah abai dan menajiskankan agama.
Padahal tidak demikian. Anda tetap bisa dengan atheisme Anda meski mungkin pribadi Anda berubah.
Bagi yang religius soal kematian sudah menjadi bahasan umum meski kadang mengingatnya saja menjadi takut karena ancaman yang diberikan oleh dogma. Mengatasi hal ini Anda butuh mempelajari kosmologi sains agar bisa melihat realitas semesta nampak yang luar biasa dan tak mampu diukur lagi, sedangkan Tuhan tentu saja lebih agung dari semua itu.
Lalu untuk apa egoisme-Nya menghukum Anda dengan sewenang-wenang hanya untuk kepuasan diri-Nya. Namun begitu, Anda harus beramal shalih agar Anda merasa lebih siap bila suatu saat Anda mati. Karena waktunya tidak ada suatu jiwa pun yang mengetahui kapan dia mati.
Untuk latihan menerima kematian maka baik bagi seseorang untuk belajar kehilangan, melepaskan apa yang diklaim sebagai hak milik hidup. Bila Anda sudah terbiasa itu akan membantu memudahkan Anda kehilangan diri sendiri atau bertransisi sehingga rasa sakitnya akan berkurang. Sebagian orang terlihat bahagia ketika dia menjelang mati.
Mari kita lebih menyadari realita hidup di bumi ini.
Penulis merupakan seorang science enthusiast & trekker. Ulasan tulisannya dapat dibaca di suarasains.wixsite.com
Editor: Red/Hen