PIRAMIDA.ID- Sama seperti biasanya, Ari mengendarai sepeda motornya dari arah Simpang Rimbo menuju kampus Universitas Jambi yang terletak di Jl. Jambi – Muarabulian Km 15. Jalan lintas yang selalu disesaki oleh debu, macet, dan rawan laka lantas akibat aktifitas truk angkutan batu bara yang selalu berlalu-lalang tiap saat itu sudah menjadi hal biasa baginya.
Apa boleh bilang, dirinya beserta sejumlah kawan-kawannya di Universitas Jambi telah berkali-kali melangsungkan aksi demonstrasi ke kantor Gubernur maupun DPRD Provinsi Jambi untuk mendesak realisasi jalan khusus batu bara. Pemerintah merespons dan menyatakan akan segera membangun jalan khusus.
Namun sudah sejauh mana realisasi tuntutan mahasiswa tersebut, belum banyak diketahui orang-orang.
“Sampai sekarang kita gak tahu itu, sudah sampai di mana realisasinya. Belum lama ini kita melakukan aksi ke Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Jambi tapi tidak ada respons, mungkin bapak-bapak atau tuan-tuan pejabat pada sibuk semua kali ya, entah lah,” kata Ari, Rabu (27/07/2022).
Di tempat lain, Eko Mulyo Utomo selaku Manager Advokasi lembaga yang fokus terhadap isu-isu lingkungan, yakni WALHI Jambi menilai industri eksploratif jenis batu-bara itu telah menyebabkan sejumlah konflik yang sangat kompleks.
Dirinya melihat persoalan yang ditimbulkan oleh adanya pertambangan batu bara lebih dari persoalan kemacetan ataupun kecelakaan yang sudah berulangkali terjadi di jalan umum itu.
Saat ini, Eko mengungkap, WALHi Jambi tengah fokus mengadvokasi PLTU MT 1 yang berada di Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Bukan main prosesnya, kini tengah berlangsung ke jalur hukum, kata Eko, proses hukum yang ditempuh WALHI Jambi menggugat PTLU MT1 sudah sampai Kasasi. Meskipun diakui oleh Eko jika saat ini PLTU MT 1 Mandiangin tersebut memang belum beroperasi.
“Karena PLTU itu dibangun di sekitar beberapa izin tambang aktif. Sangat berdampak terhadap lingkungan, PLTU itu dampaknya bisa ke pencemaran, kesehatan, hingga ke perekonomian masyarakat.
Tak hanya itu, komitmen negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan pengurangan bahan bakar fosil juga jadi sorotan dia, kata Eko, ini juga tak lain soal komitmen negara untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca sampai 29 persen pada tahun 2030.
“Kalau hari ini masih ada PLTU baru yang masih menggunakan energi fosil, artinya mereka mengangkangi komitmen yang sudah dibuat sendiri,” ujar Eko.
Persoalan komitmen yang terlanjur namun berbanding terbalik dalam aktualisasinya habis dikupas oleh Eko, dia juga mengungkap permasalahan lain semacam suplai batu bara untuk luar negeri disaat negara luar juga sudah berkomitmen bahkan menarget dengan persentase yang lebih tinggi soal pengurangan penggunaan energi fosil.
“Komitmen luar tidak pakai energi fosil lagi, tapi ini para oligarki membuat pasar sendiri untuk membuang bahan baku yang dihasilkan dari aktifitas penambangan tadi,” ujarnya.
Selain persoalan energi fosil tersebut, masalah yang ditimbulkan di hulu tambang atau lokasi penambangan semacam lingkungan yang tercemar, tingkat kriminakitas, dan masyarakat yang kehilangan pencahariannya. Berbagai potensi konflik yang kemungkinan besar akan terjadi membuat WALHI Jambi terus berupaya hingga ke jalur hukum untuk menggugat PLTU MT 1 Mandiangin itu.
“Kita menolak walaupun hari ini PLTU belum beroperasi namun dampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Sudut pandang masyarakat gitu,” katanya.
Selain itu, kata Eko, pihaknya juga tengah berupaya menagih janji atau komitmen reklamasi perusahaan tambang batu bara. Sebab, kata Eko, reklamasi yang menjadi kewajiban perusahaan tambang yang sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan namun masih banyak ditemukan penyelewengan atau pengabaian oleh pihak perusahaan.
“Hari ini reklamasi tambang itu bagi mereka hanya dengan biaya jaminan reklamasi yang diberikan oleh bos tambang. Jadi mereka membayar jaminan reklamasi di awal untuk mendapat izin eksplorasi. Tapi hal yang perlu dipertegas itu hanya jaminan, persoalan kelak perusahaan melakukan rekmalasi usai batu bara habis dikeruk masih belum jelas,” ujarnya.
Cerita Eko tersebut memang hal yang mengerikan, namun saat ditanyai lebih kanjut soal jumlah lubang tambang di Provinsi Jambi yang hari ini belum direklamasi, Eko mengakui belum mendapat data lapangan terbaru yang pasti.
“Kita belum traking berapa jumlah pastinya tapi yang jelas hari ini sudah ada 80 lebih perusahaan tambang yang mengantongi IUP, sudah beroperasi,” katanya.
Adanya 80 IUP batu bara dengan kejelasan soal reklamasi yang dinilai masih abu-abu tersebut sedikit banyak mengindikasikan jika hanya tinggal menunggu waktu sampai 80 lubang tambang bekas galian batu bara bermunculan. Namun terkait hal itu, Eko bahkan menilai jika lubang lubang bekas tambang itu sudah dan sedang terjadi saat ini.
Kalau saya pikir, kata Eko, ini sudah ada 89 lubang mungkin lebih. Karena IUP itu luas, jika dimisalkan 1 IUP batu bara seluas 8000 hektar, ga mungkin itu cuman 1 lubang.
“Bisa dibayangkan ada berapa ribu armada yang beroperasi memindahkan batu bara ke lokasi stock file setiap hari dan berbagai dampak yang ditimbulkan hari ini,” katanya.
Sementara itu, ketika biaya reklamasi masih sebatas dalam konteks jaminan. Lagi-lagi menurut Eko juga hal itu sangat potensial untuk terjadi korupsi. Alasannya sederhana, karena hanya bersifat jaminan.
“Itu dibayarkan. Tapi gak ada yang bisa menjamin, ketika IUP-nya habis apakah perusahaan akan menepati komitmennya, ini juga mungkin persoalan dari kebijakan rezim hari ini ya,” katanya.
Dengan semua persoalan yang ditimbulkan oleh sektor pertambangan batu bara tersebut, Ari salah seorang mahasiswa Universitas Jambi tersebut berharap besar akan janji pemerintah Provinsi Jambi terkait pengadaan jalur khusus batu bara.
“Iya, saya rasa cuma di sini, mahasiswa harus penuh perjuangan di jalanan untuk sampai ke kampus. Mahasiswa harus penuh kehati-hatian dalam mengemudikan kendaraannya, silap sikit kesenggol batu bara, bonyok kita. Tinggal nama,” katanya.(Juan/Jambi)