PIRAMIDA.ID- Tan Malaka merupakan nama populer untuk Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Berdasarkan penuturan sejarawan Albert Poeze, Tan Malaka menghabiskan masa mudanya bersekolah di Rijks Kweekschool Fort de Kock, yang kini telah menjadi SMA 2 Bukittinggi.
Hingga selanjutnya, melanjutkan studi di Belanda untuk menggapai cita-cita menjadi guru. Tetapi yang terjadi, justru ia akan mengalami perjalanan panjang atas idealismenya.
Selama bertualang—atau bisa disebut sebagai buronan—Tan Malaka memiliki banyak samaran untuk mengelabui polisi dan jajaran pemerintahan kolonialis dan imperalis, seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Inggris.
Bahkan dalam komik Satu Wajah Seribu Nama di majalah Tempo edisi kemerdekaan pada 2008, Tan dijuluki sebagai ahli menyamar. Kepandaiannya didukung kemampuannya untuk menguasai delapan bahasa—Minang, Indonesia, Tagalog, Belanda, Rusia, Jerman, Mandarin, dan Inggris.
Berikut adalah beberapa nama samaran Tan Malaka dalam pelariannya.
Elias Fuentes
Nama ini diketahui sebagai nama samaran pertama Tan Malaka pada Juni 1925. Dalam penyamaran itu ia bekerja sebagai seorang wartawan El Debate agar bisa masuk ke Manila, Filipina, dengan cara menyelundupkan diri ketika berangkat dari Kanton, Tiongkok.
Sosok Elias Fuentes ini, menurut Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap, dapat dengan mudah masuk ke Filipina lewat kapal. Sebab penampilannya yang mirip orang Filipna asli, membuatnya dengan mudah lolos dari pemeriksaan.
Alasan ia ke Filipina tidak lain karena tubuhnya yang kurang membaik akibat iklim Kanton yang tak mendukung. Selain Elias Fuentes, nama samaran Tan Malaka adalah Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera.
Hasan Gozali
Tan Malaka menentang rencana pemberontakan PKI yang ingini dilakukan pada 1926/1927. Ia beranggapan rencana itu tidak tepat dengan kondisi partai yang masih belum matang.
Pandangan itu ia tulis kepada Alimin agar disampaikan ke Komitern PKI. Untuk memastikan pandangannya itu sampai ke tangan pusat, Tan Malaka yang kurang sehat datang ke Singapura menggunakan nama Hasan Gozali pada awal 1926.
Ternyata hasil perundingan gagal, dan Alimin malah pergi ke Moskow bersama Musso untuk mematangkan rencana pemberontakan.
Selanjutnya, Tan Malaka bersama pengikut setia pandangannya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok pada Juli 1927. Partai ini berdiri untuk melanjudkan perjuangan rakyat dan buruh Indonesia setelah PKI hancur.
Ossorio
Setelah kedatangannya ke Filipina, Tan Malaka dikejar-kejar oleh polisi Amerika Serikat dan Inggris. Ia harus melarikan diri lagi ke Amoy, dan disembunyikan oleh nahkoda kapal ketika dilakukan pemeriksaan kapal setelah mendarat di sana.
Kondisi kesehatannya yang memburuk membuatnya harus ke Sionching. Lalu menggunakankan nama Ossorio untuk berkelana lagi ke Shanghai. Identitas Ossorio adalah seorang wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly.
Tan Ming Sion
Nama Tan Ming Sion digunakan Tan Malaka setelah Amoy dikuasai Jepang agar dapat pergi ke Burma. Sebelum tiba, polisi Inggris yang menguasai Burma mewanti-wanti adanya tokoh intelektual dari Tiongkok.
Untuk menghindari kecurigaan itu, ia bahkan membuang dua bukunya ke laut sebelum mendarat. Tindakannya ternyata tepat, lantaran setelah mendarat polisi menggeledahnya dan buku-bukunya, tak terkecuali kamus bahasa Inggris.
Di Burma, Tan Malaka hanya sebentar karena dananya yang menipis. Ia pun melanjutkan perjalanannya ke Malaysia dan Singapura.
Tan Ho Seng
Jepang menguasai Singapura dan Hindia Belanda pada 1942. Sementara itu, Tan Malaka melanjutkan petualangannya ke tanah air menggunakan identitas Tan Ho Seng lewat Medan. Ia mencari cara agar bisa pergi ke Pulau Jawa.
Tan Malaka juga mendapat kabar bahwa nama aslinya digunakan oleh pemerintah kolonial untuk membohongi masyarakat di Padang. Meski demikian, Tan Malaka tak menggubrisnya dan memilih lanjutkan perjalanan hingga tiba di Jakarta.
Ilyas Hussein
Setibanya di Jakarta, ia tak langsung melebur dengan usaha pergerakan kemerdekaan. Ia menyamarkan dirinya sebagai Ilyas Hussein, untuk mengembara memahami kondisi sosial-ekonomi dan politik di Hindia Belanda yang lama ditinggalkannya.
Dengan identitas ini ia bekerja sebagai kerani di pertambangan Jepang di Bayah, Banten. Dalam pengematannya, pertambangan itu mempekerjakan tenaga romusha dengan sangat eksploitatif.
Ia mencatat bahwa ada sekitar 500 romusha tewas tiap bulannya, dan makamnya mencapai 38 hektar.
Ketika Sukarno dan Hatta tiba di Bayah pada 1943, mereka menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka bersama Jepang. Tan Malaka yang masih menyamar menolak itu dan menyela pidatonya, dengan anggapan kemerdekaan Indonesia seharusnya bukan seperti hadiah tetapi hasil perjuangan.
Selain itu dengan nama ini ia menuntaskan buku Madilog-nya saat tinggal di Kalibata, Jakarta.
Diketahui, ia memiliki 23 nama samaran selama pelariannya. Ia bahkan sempat merasa asing dengan nama aslinya ketika kedoknya diketahui Achmad Soebardjo pada 1942 di Sumatera Timur.
Masykur Arif Rahman mengutip tulisan Tan Malaka mengenai perasaannya saat dipanggil kembali dengan nama aslinya oleh Achmad Soebardjo:
“Ganjil berar bunyinya nama itu di telinga saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari.”
“Nama itu memperingatkan pada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1927 dan dalam penjara Inggris di Hong Kong pada tahun 1932.”
Achmad Soebardjo sendiri sudah mengenal Tan Malaka sejak 1919 dan menjalin pertemanan dengannya. Sebelumnya, Achmad Soebardjo terakhir bertemu dengannya pada 1930-an di Leiden, Belanda.(*)
National Geographic Indonesia