Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Seribu tahun sudah, kita sekarat karena asupan tokoh bagus-jenius makin tak ada. Tapi, kini nyawa kita terbangun. Kita tersiram kisah Tan Malaka yang sangat syahdu mendayu-dayu.
Kisah dalam buku-buku sangat detil dan diksinya bagus sekali. “Kisah lelaki: yang merindu sampai yang mengatur perkara… Semua orang tahu tidak ada perjuangan yang dapat langsung menang, tapi tidak semua orang dapat menerima saat keadaan malah makin buruk akibat perjuangan itu.”
Perjalanan hidup Ibrahim yang bergelar Datoek Tan Malaka alias Tan Malaka memang tidak terlalu bombastis dibandingkan Soekarno dan Mohammad Hatta.
Namun, kisahnya kini secara rinci ditulis dalam novel-novel modern menjadi sangat menarik. Maka, membaca sejarah pahlawan yang terkenal dengan slogan “Merdeka 100 persen” tersebut jadi renyah dan marah.
Tentu, Tan Malaka adalah bapak revolusi Indonesia. Ialah orang pertama yang menyadari perubahan kolonialisme teritorial menjadi kolonialisme dengan uang, utang, kurs dan finansial. Ialah pengetik revolusi Indonesia yang memiliki dua sisi, revolusi nasional sebagai bingkainya dan revolusi sosial sebagai intinya.
Jadi, revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, namun harus dilanjutkan dengan kesederajatan sosial (ekopol) sebagai kelanjutan revolusi tersebut. Itulah merdeka penuh yang membedakannya dari pendiri republik lainnya.
Dan, melalui buku Madilog-nya, Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme.
Inti dan pesan dari buku Madilog adalah cara mengeluarkan manusia Indonesia dari penghambaan dan hal-hal yang berbau mistis, ilusif dan dogmatis. Itulah warisan imperialisme. Satu warisan akut yang bisa disadari sebagai patologi postkolonial: jika negara tak hadir, warga lari ke tribus; jika pemerintah absen, kerumunan bermimpi ratu adil.
Tan mengetik pengantar bukunya dengan sangat puitik, “Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang minimum sudah mendapatkan latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras untuk memahaminya.”
Buku Madilog mengartikulasikan seluruh semangat dan keprihatinan Tan Malaka atas Indonesia. Dus, sebenarnya Madilog lahir dari refleksi kritis Tan Malaka atas situasi kolonialisme dan praksis kapitalisme brutal yang diterapkan Belanda.
Ada beberapa inti masalah yang diketik Tan Malaka dalam Madilog. Pertama, mengapa Indonesia begitu lama dijajah dan diperas habis-habisan oleh sistem kapitalisme?
Kedua, apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia? Tentu bukan hanya wajib mengusir penjajah tetapi jangan sampai dijajah lagi seperti hari ini.
Tan Malaka mengidentifikasi masalah utama bangsa Indonesia yang terkungkung penjajahan adalah masalah mentalitas dan cara pikir feodal. Tan Malaka merefleksikan keadaan bangsanya sebagai bangsa yang tidak bisa lepas dari riwayat mistisisme, feodalisme, dan sejarah perbudakan.
Dengan kata lain, sebenarnya Tan Malaka menulis Madilog itu dalam rangka mencerdaskan bangsanya untuk perjuangan politik membebaskan diri dari penjajahan.
Dalam jangka panjang, dengan peningkatan cara berpikir dan kecerdasan itu, bangsa Indonesia jangan sampai jatuh ke tangan penjajah kembali. Bangsa ini harus merdeka secara fisik maupun cara berpikir dan bertindaknya.
Madilog mengajak berpikir alternatif dan aktif. Tan Malaka mengingatkan bahwa cara pikir yang ia tawarkan adalah cara pikir dinamis dan kritis. Hanya dengan cara pikir aktif, maka bangsa Indonesia akan sampai pada kesadaran rasional, kritis, filosofis, serta punya martabat tinggi. Dengan kesadaran itu, bangsa ini akan menjadi kuat, bermartabat dan dinamis.
“Keberanian adalah rasa takut yang menerbitkan doa. Aku sangat mempercayainya, sebab bila kau tak punya rasa takut, kau tak kan bisa punya keberanian—(Paulo Coelho).”
Agaknya, tesis Paulo lumayan menggambarkan Tan. Ia yang berani dan berdoa: komunis tapi muslim. Di negeri penjajah ia hidup fakir dan mengalami diskriminasi rasial karena kulitnya cokelat. Tetapi, semangat revolusioner yang membakar Eropa mengubahnya menjadi seorang pejuang kemerdekaan.
Dipacari Fenny van de Snijder, perempuan kulit putih yang dicintainya, ia melawan penjajahan melalui tulisan. Di sana ia lebih dikenal dengan nama pena: Tan Malaka!
Dari kota-kota di Nederland, Tan lantas bergerilya ke Sumatera dan Jawa, mengobarkan semangat perlawanan terhadap kaum penjajah. Ia harus berhadapan dengan para kapitalis perkebunan, sindikat pengusaha gula, dan Gubernur Jenderal Hindia.
Tertatih dalam sepi nyenyet karena dalam kejaran polisi intelijen pemerintah kolonial, Tan bergerak di bawah tanah untuk mencegah malapetaka pertama dalam sejarah Hindia abad ke-20. Kisah yang enigmatik.
Kini, para penulis muda sungguh dahsyat sekali meramu ingatan dan harapan akan kisahnya merevolusikan warga dan mewargakan revolusi hingga membelah dada.
Tentu, ia pahlawan. Juga filosof tangguh dengan daya baca yang mengagumkan. Tetapi namanya sempat dihilangkan, karena segala yang bernafas kiri dianggap murtad. Tapi makin dihilangkan, makin mayakinkan orang bahwa ia memang tokoh yang tidak bisa dihapus sejarah dan jasanya.
Sebab, saat di buku sejarah perannya dikecilkan, di buku lain ia dibesarkan. Bahkan di Belanda sendiri, negeri yang dimusuhinya, namanya berkibar.
Tentu karena ia bisa melihat realitas Indonesia secara logis. Ia memang jenius yang amat berpegang pada logika yang idealis dan pejuang sejati. Lewat konsepsi politiknya dalam buku “Madilog” (Materialisme, Dialektika, dan Logika) ia memperlihatkan kecerdasan dan visionernya dalam merancang Indonesia yang merdeka.
Pikiran-pikirannya jernih tetapi membuat dimusuhi bangsanya sendiri sehingga dianggap penghianat di poros kiri, dan di poros kanan ia ditolak dan ditembak.
Usahanya luar biasa dalam menggagas Indonesia Merdeka. Karena itu, Soekarno menulis surat wasiat, agar jika sesuatu terjadi padanya, hanya Tan Malaka yang akan menggantikannya.
Ia orang yang tidak bisa diam terhadap penderitaan rakyat. Akibatnya dimusuhi kapitalisme, dikhianati komunisme. Ia hidup dalam diskusi-diskusi kebangsaan, meski orang tak mengenalinya. Ia menyamar menjadi apa saja, ia naik sampan dari Singapura ke Jawa, ia menjalani petualangan sebagai pejuang yang kesepian.
Tan menjadi tokoh roman-roman fiksi yang terbit mana saja yang disinggahinya. Takdinya, ia jadi korban revolusi. Keluar dari penjara, tahun 1949, ia hilang, lalu ditembak mati TNI Devisi Brawijaya. Ia mati di tangan prajurit bangsa yang diperjuangkan. Maka, Tan menjadi misteri terbesar bangsa kita hingga hari ini.
Maka, membaca Tan, kita mungkin bisa menggambarkan perjuangan “pahlawan yang dilupakan negaranya.” Membaca Tan bagai revolusi yang membunuh waktu: berhenti dan tak tahu lagi kita harus bagaimana sampai munculnya para tuyul di istana.
Ya, Tan dkk meruntuhkan istana tapi tak menghuninya. Para tuyul datang dengan tipu dan blusukan masuk, duduk, bego, lalu korupsi berjamaah dengan mewariskan utang yang tidak tak terbayangkan sebelumnya.
Membaca Tan seharusnya membawa bangsa ini dalam kesadaran, kemarahan sekaligus kebuntuan bahwa kita membutuhkan kesadaran kolegial untuk menjadikan Indonesia merdeka 100%. Yaitu mengorbankan pendidikan, jabatan dan fasilitas, jiwa dan raga untuk memperjuangkan cita-cita. Inilah yang dilakukan Tan Malaka untuk mempersiapkan kemerdekaan tanah jajahan Hindia Belanda menjadi Indonesia.
Mempelajari Tan Malaka adalah membaca kalimat, “kupersembahkan hidupku hanya untuk rakyat miskin dan terjajah. Sudah kurelakan, hatiku pada kalian yang dinista. Namun kalian masih terus membisu, diam seribu bahasa. Saat Portugis, Belanda, VOC dan Jepang memperkosa.
Kini, hati kecilku bicara. Bahwa, baru kusadari cintaku bertepuk sebelah kaki. Kalian menampikku untuk revolusi. Kalian buat remuk seluruh hati dan jiwaku. Sampai nalarku berkata, ‘revolusiku mati muda.’ Seperti nasib cinta perempuan-perempuan perkasa di seantero nusantara kepada hamba.”
Tuan Tan. Kuteriak duka. Mohon tinggal sejenak. Ya. Sejenak saja. Mari lupakanlah waktu. Hancurkan rindu. Tikam mati kumpeni. Temani jiwa lara kami. Saat kumpeni tumpahkan air mata kami yang tak bersisa lagi. Penuh lukisan duka dan teteskan lara.
Tan. Mari merajut asa. Bariskan pasukan. Siapkan pemakaman. Tabuh dan jalin mimpi. Tebar ancaman. Dan, endapkan sepi-sepi. Sepanjang zaman. Seluas semesta. Agar atlantis tenang dalam kuburnya. Tukarkan kehangatan di atas kejanggalan dan kekalahan. Sekerasnya. Secerdasnya.
Dari situ kita tahu, “tanisme itu kutu buku.” Gak percaya? Tanyalah para petugas penjaga toko buku soal buku bertema Tan Malaka. Semua akan menjawab serupa walau tak sama: laris. Buku-buku Tan selaris buku-buku Soekarno. Itu artinya para murid dan penggemar Tan membeli dan membacanya.
Kini, kita tinggal tunggu revolusinya. Sebab, kalau hanya senyum yang mereka berikan,
Westerling pun tersenyum. Kalau cuma masuk selokan yang mereka praktekkan, elite pun blusukan.
Mengapa? Sebab bagi Tan, kemerdekaan Indonesia harus dicapai lewat revolusi, bukan diplomasi. Revolusi yang bagaimana? Tan Malaka menjawab, dengan kerja sama antara kaum proletar dan bukan proletar. Dua agensi tersebut tetap merupakan syarat mutlak yang harus dipertahankan.
Bila kerja sama antar agensi ini sampai terputus, ia memperkirakan kondisi terciptanya perbudakan nasional, yaitu penjajahan bangsa sendiri oleh satu agensi yang berkuasa.
Maka, revolusi Indonesia bagi Tan Malaka, haruslah bermata dua: ke luar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme. Ke dalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan tribalisme.
Tanpa konsepsi tersebuat, terciptalah Indonesia hari ini: republik swasta, pamong jongos, peternak babu dan elite maling.
Kalian yang dimiskinkan, maukah datang dan bergandengan tangan. Menyusun barisan perlawanan. Sambil sadar, kalau bukan kita lalu siapa?
Ya. Kitalah menyemai jejak dan cinta baru. Untuk menabur biji dan kehendak terbaru. Yang melampaui kekufuran dan kejahiliyahan. Yang melewati lompatan terjauh citra dan blusukan. Dan, dari Tan kita belajar. Agar peradaban tak sesal arah tanpa tujuan bersama: keadaban dan kesejahteraan plus keadilan publik semesta.
Kapan awan hitam di negeri ini sirna? Tanyaku pada Tan Malaka. Sebab, nalar yang sedang gelisah tak ketemu obatnya. Yang ada hanya daun-daun berguguran. Terbang bingung dan satu-satu jatuh ke jalanan. Hancur. Berkeping.
Lama kita tenggelam ke dalam dekapan fanatisme pasar. Menari dalam gelak si kafir. Menggilas bermusim yang miskin dan papa. Tahun 1999 lalu kita mencapai ketersesatan yang jauh. Ya jauh sekali. Mengkhianati konstitusi. Sesat terlaknat.
Kini semua bukan milik kita. Diambil begundal istana. Memang, musim sejahtera telah berlalu. Musim gelap matahari segera berganti, tapi entah kapan. Lalu terdiam gelisah menanti tetes embun keadilan.
Sampai-sampai kita tak kuasa memandang elite yang serakah. Yang buta bahwa pengkhianatan dari orang yang kita hormati, sungguh menjadi kebiadaban semesta: penghancur peradaban.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).