Thompson Hs
PIRAMIDA.ID- Saya termasuk orang yang menunggu siapa yang akan diangkat menjadi ketua badan otorita kawasan danau toba? Apakah dari orang Batak atau non-Batak? Mungkin saya terlalu sederhana kalau bicara Batak dan non-Batak sebagaimana umumnya di Indonesia bisa bicara Muslim dan non-Muslim.
Di negara ini nyatanya diperlukan dikotomi seperti itu agar dapat ditangkap mana yang utama mana yang kedua dari sudut mayoritas-minoritas.
Contoh model pemimpin juga di negara ini dipengaruhi persepsi dari dikotomi seperti itu kalau tidak jadi bulan-bulanan berbagai jebakan batman. Namun minoritas juga dapat mengeluh dan berteriak seperti waktu Presiden Jokowi di awal pemerintahannya tidak langsung mengangkat asli Batak untuk kabinet menteri.
Melalui omongan di media sosial dan informal orang Batak mendambakan ada menteri dari orang Batak. Kita lihat dambaan itu sudah terwujud dan kawasan Danau Toba menjadi perhatian kebijakan negara atau pemerintah pusat.
Di kawasan DanauToba mayoritas yang menduduki jumlah penting adalah orang Batak, sudah termasuk orang-orang yang terkadang mengaku Batak atau tidak. Selain mayoritas Batak, mayoritas Kristen ada di Kawasan Danau Toba. Namun saya ingin bicara tentang tanggung jawab orang Batak untuk kawasan Danau Toba.
Orang-orang Batak yang belum tercerabut dari adat dan budayanya sudah tentu memiliki tanggung jawab itu. Dalam adat dan budaya orang Batak hidup dengan berbagai kebiasaan dan tradisi.
Kebiasaan menggunakan bahasanya sendiri misalnya masih berlaku, meskipun dalam komunikasi dengan pemerintah lokal sekawasan kemungkinan potensi bahasa itu bisa lama-kelamaan hilang karena sistem pewarisannya ke generasi baru dihalangi perkembangan pengaruh yang semakin berlomba masuk ke Kawasan Danau Toba.
Tanggung jawab meneruskan bahasa-bahasa Batak merupakan poin utama bagi orang Batak yang belum tercerabut dari adat dan budaya.
Tanggung jawab berikutnya tentu saja menyangkut wilayah. Batak selain mayoritas di Kawasan Danau Toba sudah lama ada di sana. Pusat adat dan budaya orang Batak termasuk Kawasan Danau Toba. Benturan kebijakan atas adat dan budaya harus diperhatikan dari berbagai intervensi kolonial, misionaris, dan pemerintah Indonesia.
Kedaulatan adat dan budaya itu harus ditegakkan kembali oleh orang-orang Batak yang tidak ingin menghancurkan akarnya di Tanah Batak atau Kawasan Danau Toba.
Dalam waktu dekat migrasi manusia akan terjadi ke kawasan Danau Toba untuk urusan pariwisata. Orang-orang Batak yang mengerti pengaruh pariwisata ke dalam perubahan adat dan budaya juga harus memiliki tanggung jawab moral.
Tidak ada salahnya pemerintah lokal dan pusat untuk mendengar lebih banyak orang-orang Batak yang belum meninggalkan adat dan budayanya dibandingkan dengan yang sudah meninggalkan. Maksud saya dengan pernyataan itu untuk melihat lebih jujur soal keseriusan mereka untuk meneruskan dan menjalankan praktik adat dan budaya itu.
Tanggung jawab lainnya dari orang Batak yang ada di pemerintahan jangan menciutkan persoalan adat dan budaya sebatas kepentingan pariwisata dan kordinasi kepentingan ekonomi moneter. Orang Batak yang ada di pemerintahan memiliki masanya dan pada suatu saat akan kembali ke ruang adat dan budaya kalau memang mengaku sebagai bagian.
Saya agak ragu karena partisipasi masyarakat adat dan budaya untuk perhatian baru ke Danau Toba hanya berlangsung secara seremonial. Orang Batak di Kawasan Danau Toba masih dianggap harus diatur dulu baru bisa tertib karena peraturan adat dan budaya semakin direlatifkan oleh berbagai kebijakan non-adat dan non-budaya.
Masa depan Kawasan Danau Toba akan tetap dijiwai oleh adat dan budaya, kecuali masa depannya memang ingin diadakan pada posisi baru dari dikotomi non-Batak dan Batak.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.