Defri Natan*
PIRAMIDA.ID- Belum usai bencana besar akibat pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak awal tahun 2020 lalu, kini ibu pertiwi kembali menanggung beban berat di pundaknya. Rentetan peristiwa di awal tahun 2021 tengah menguji mental bangsa ini.
Mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182, gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, sampai longsor di beberapa wilayah lain membuat nyawa orang-orang tercinta melayang. Harta dan benda lenyap.
Berdasarkan data manifest, ada 62 orang yang terdaftar pada pesawat Sriwijaya Air SJ 182 penerbangan Jakarta-Pontianak yang jatuh pada Sabtu (9/1). Pada peristiwa lain, laporan Pusat Pengendali Operasi BNPB per-tanggal 16 Januari 2021, tercatat sebanyak empat puluh dua orang tewas akibat gempa di Sulbar yang berkekuatan 6,2 magnitudo itu (15/1) dan 189 orang harus dirawat.
Bersamaan dengan peristiwa itu, banjir melanda beberapa wilayah di Kalsel (15/1) juga menelan korban jiwa. Di mana ada tujuh orang yang meninggal dan puluhan lainnya masih dinyatakan hilang. Sederetan peristiwa itu, kemudian menimbulkan trauma yang dalam serta kerugian yang tak terhitung jumlahnya, yang kemudian mengundang simpati dan empati di antara sesama anak bangsa.
Tanpa dikomando, berbagai aksi penggalangan dana yang diinisiasi berbagai kalangan untuk disumbangkan bagi para korban selamat, mulai bermunculan dan meramaikan kanal-kanal media sosial, bahkan media mainstream. Semua dana yang terkumpul kemudian disumbangkan secara langsung atau melalui pemerintah maupun NGO (Non-Governmental Organisation) yang memiliki akses ke lokasi bencana.
Tak jarang, mereka melibatkan diri menjadi relawan yang tanpa kenal lelah membantu para korban di lokasi bencana. Sedangkan yang lainnya, melakukan koordinasi jarak jauh. Mereka melakukan itu semua tanpa pamrih. Bahkan mengabaikan keselamatan diri sendiri. Budaya tolong-menolong atau gotong royong seolah menjadi nadi bangsa ini. Sikap dan tindakan semacam itu merupakan sebuah tanggung jawab yang etis.
Tanggung jawab etis
Tanggung jawab etis merupakan tindakan untuk bertanggung jawab kepada orang lain. Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis dalam filsafat etisnya mengatakan bahwa tindakan manusia yang etis adalah mau memberi diri untuk membantu orang lain keluar dari penderitaan mereka.
Bagi Levinas, setiap “wajah” manusia merupakan jejak dari “Yang Tak Terbatas” atau menurut Descartes, “Yang Tak Terbatas” itu adalah Tuhan (Lusi, 2020). Wajah di sini bukan lah rupa fisik yang selalu didambakan kaum lelaki atau perempuan yang sedang mencari teman kencan atau memandang orang lain karena status pekerjaannya, melainkan melampaui penginderaan manusia.
Wajah itu bersifat transenden. Wajah itu kemudian menghantui, merapuhkan batin dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Wajah itu “tergambar” pada para keluarga dari korban jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ 182, korban selamat dari gempa di Sulbar, banjir di Kalsel dan longsor di wilayah lain di tanah air. Kehadiran wajah-wajah itu seolah menuntut kita untuk mengambil tanggung jawab atas penderitaan mereka, yang pada akhirnya memungkinkan kita untuk menata dan menguatkan kembali kondisi batin kita yang sempat dibuat rapuh olehnya.
Namun sebaliknya, eksistensi kita akan terancam jika menghindari tanggung jawab tersebut. Kita bisa saja lari darinya, tetapi wajah itu akan terus menghantui dan menuntut tanggung jawab kita.
Membantu orang lain untuk keluar dari penderitaan yang mereka alami, sama halnya dengan menguatkan dan menata kembali batin kita. Kita seolah tidak bisa lari dan melupakan begitu saja “wajah” itu.
Maka tidak mengherankan, jika banyak orang yang tergerak hatinya dan mau terlibat dalam misi mulia itu. Mulai dari penggalangan dana sampai mendistribusikannya kepada korban melalui wadah-wadah dan sarana yang ada. Bahkan, tidak memperdulikan kondisi ekonomi dan keselamatan nyawanya sendiri demi keselamatan orang lain.
Meskipun demikian, tanggung jawab etis itu tidak selalu dimaknai dengan tindakan-tindakan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Di mana setiap orang harus menyumbang uang dan harta bendanya untuk para korban atau menjadi relawan yang stand by 24 jam di lokasi bencana. Hal itu janganlah dipaksakan bila kondisinya tidak memungkinkan.
Sebab, tanggung jawab etis itu juga ada pada mereka yang turut merasakan (empati) penderitaan orang lain atau wajah (jejak “Yang Tak Terbatas”) itu dan mendoakan mereka. Bukan saja pada para korban, tetapi bagi orang-orang yang ikut dalam “misi mulia” itu, meski tidak mengenal siapa mereka.
Indonesia adalah bangsa yang besar, tentu masalah yang dimilikinya besar pula. Di samping itu, sebagian besar wilayah Indonesia berada di daerah sabuk gempa pasifik (ring of fire) yang rentan mengalami bencana alam seperti gempa dan letusan gunung berapi.
Belum lagi, ulah orang-orang yang tidak bertanggung yang seenaknya merusak alam, korupsi, ujaran kebencian dan lain sebagainya. Tindakan yang kurang bertanggung jawab seperti itu membuat ibu pertiwi semakin sengsara.
Tindakan demikian tidaklah etis, bahkan jauh dari tanggung jawab etis. Tindakan demikian hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memperdulikan nasib orang lain atau “wajah-wajah” yang akan menanggung dampak kerusakan alam kelak.
Tanggung jawab etis dapat dimulai dengan melakukan hal-hal yang kecil tetapi memberikan dampak yang berarti. Misalnya, turut merasakan penderitaan orang lain dan mendoakan mereka. Jika memungkinkan, kita juga bisa melakukan tindakan-tindakan yang jauh lagi, asal masih dapat kita jangkau.
Sedangkan, melakukan tindakan-tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan penderitaan orang lain, hanya menimbulkan kerapuhan pada batin kita. Sebab “wajah” itu akan terus menghantui dan menuntut tanggung jawab kita.
Oleh karenanya, budaya tolong-menolong atau gotong royong yang didasari oleh tanggung jawab etis, mestilah terus ada di negeri ini. Sehingga, ibu pertiwi tidak terus-terusan menangis menanggung beratnya beban yang ada di pundaknya. Ya, setidaknya dia bisa sedikit tersenyum.(*)
Daftar Pustaka:
Lusi, S., S. (2020). Memahami Filsafat Etis Emmanuel Levinas: bahan diskusi komunitas filsafat GMKI Salatiga. Salatiga: CCTD-UKSW.
Penulis merupakan mahasiswa program studi S1 Psikologi di UKSW Salatiga dan aktif di Komunitas FIlsafat GMKI cabang Salatiga.
Comments 1