Dion A. F. Siallagan & Daulat Nathanael Banjarnahor, S.H., M.H.
PIRAMIDA.ID- Pilkada merupakan suatu sarana yang disediakan oleh negara untuk memfasilitasi transfer atau pergantian kekuasaan pemerintahan di tingkat lokal (daerah) dan dilaksanakan secara damai dan demokratis. Pemilihan tahun 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah, meliputi: 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada awalnya dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020, namun di pertengahan bulan Februari tahun 2020, terjadi penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang kemudian oleh WHO ditetapkan sebagai pandemi.
Dampak dari pandemi COVID-19 memaksa pemerintah Indonesia memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19.
Pandemi Covid-19 yang terus meningkat di Indonesia ini membuat tahapan pelaksanaan Pilkada yang semula di bulan September ditinjau oleh pemerintah demi keselamatan seluruh masyarakat.
Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No.2 Tahun 2020 diatur bahwa pemungutan suara Pilkada Serentak diselenggarakan pada bulan Desember 2020, namun dengan ketentuan yang bersifat fleksibel (dapat diubah) mengingat tidak adanya kepastian kapan berakhirnya pandemi COVID-19. Kemudian PERPU No 2 tahun 2020 dibahas, di mana akhirnya disetujui oleh DPR-RI menjadi Undang-Undang No. 2 tahun 2020.
Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan oleh Komisi II DPR dengan Kemendagri pada 27 Mei 2020, Komisi II DPR, Kemendagri, dan KPU sepakat bahwa pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020.
Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa dunia kerja tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan, roda perekonomian harus tetap berjalan, sehingga pasca pemberlakuan PSBB, perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja sebaik mungkin sehingga dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup baru pada situasi pandemi COVID-19 yang disebut keadaan normal baru (new normal).
Dampak dari pandemi COVID-19 ini juga berimbas kepada KPU sebagai lembaga negara penyelenggara Pemilu dan Pilkada, yaitu berdampak pada diterbitkannya Surat Keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-KPT/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada tahun 2020, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP), pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemuktahiran dan penyusunan daftar pemilih.
Penundaan beberapa tahapan Pilkada di atas dapat menimbulkan berbagai dampak dalam penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dampak positif misalnya, penundaan ini memberi ruang bagi calon kepala daerah jalur independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan.
Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi dalam melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah. Kelonggaran pengaturan pada PERPU diatas bisa dianggap hal yang biasa, tetapi justru bisa menimbulkan persoalan baru.
Persoalan itu bukan hanya soal ketidakpastian bagi penyelenggara pilkada karena tingkat kerawanan penyelenggaraan Pilkada 2020 dibayang-bayangi oleh situasi pandemi COVID-19 yang waktunya tidak menentu kapan berakhirnya, di samping itu juga besarnya kemungkinan KPU akan kesulitan membuat aturan yang bisa menetapkan situasi sebuah wilayah atau status kerawanan kesehatan suatu daerah.
Potensi Pelanggaran dalam Pelaksanaan Pilkada di Masa Pandemi COVID-19
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu dan pilkada melalui anggotanya, Fritz Edward Siregar mengungkapkan, tantangan, hambatan, dan potensi pelanggaran pada pelaksanaan Pilkada tahun 2020. Kendala dan hambatan yang dapat dihimpun Bawaslu RI berdasarkan hasil laporan kerja jajaran pengawas di seluruh daerah, antara lain sebagai berikut:
- Coklit daftar pemilih tidak sesuai prosedur;
- Pelaksanaan tahapan pemilihan tidak sesuai dengan protokol kesehatan;
- Pelaksanaan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan tidak sesuai prosedur;
- Penggunaan hak pilih lebih dari 1 kali atau menggunakan hak pilih orang lain;
- Pelaksanaan kampanye di media massa di luar jadwal yang ditentukan;
- Penggunaan fasilitas negara dan pelibatan kepala desa/lurah/camat/birokrasi lainnya;
- Politik uang dan politik identitas;
- Netralitas ASN dan potensi “Abuse Of Power” (penyalahgunaan wewenang/kekuasaan) pemerintah dan jajarannya.
Tantangan Penanganan Pelanggaran Pilkada di Masa Pandemi COVID-19
Bawaslu RI juga melansir berbagai tantangan yang akan ditemui dalam pelaksanaan pemilihan (Pilkada), antara lain dalam proses pengawasan dan penanganan pelanggaran pelaksanaan pemilihan, ditambah dengan kondisi pandemi COVID-19 yang pastinya menimbulkan perubahan besar, yang dapat menjadi kemudahan sekaligus tantangan, antara lain:
A. Pemanfaatan teknologi informasi
Konsekuensi dari pemberlakuan PSBB dalam masa pandemi COVID-19, maka diperlukan pemanfaatan teknologi informasi dalam melakukan penanganan pelanggaran pemilihan.
Namun hal ini berdampak pada adanya perubahan regulasi dari Bawaslu RI yang mengatur mengenai mekanisme pengaduan daring dan penanganan lewat sarana video konferensi.
B. Terbatas dan belum meratanya kecepatan akses internet
Hal ini berkaitan dengan tantangan pemanfaatan teknologi informasi, karena banyak daerah di Indonesia yang memiliki keterbatasan dan belum meratanya kecepatan dalam akses jaringan internet, selain itu harus juga dilhat faktor kemampuan masyarakat (pelapor, saksi, terlapor) dalam menggunakan teknologi informasi yang tersedia.
C. Pelaksanaan protokol kesehatan secara baik dan konsekuen
Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan protokol kesehatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkes RI No.HK.01.07/MENKES/328/2020 tanggal 20 Mei 2020, seperti penggunaan masker, mencuci tangan, jaga jarak, dan lain sebagainya. Dan hal ini akan berimplikasi pada penggunaan dan alokasi anggaran.
D. Batasan waktu penanganan pelanggaran pemilihan (Pilkada)
Batasan waktu penanganan pelanggaran paling lama 5 (lima) hari kalender sangat singkat, sehingga harus betul-betul menggunakan waktu secara efektif dan efisien. Kendala waktu ini akan sangat dirasakan daerah kepulauan atau pegunungan yang akses transportasi dan komunikasinya masih sangat terbatas (medannya sulit).
E. Partisipasi dan peran serta masyarakat
Yaitu bawa tren keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi dan menyampaikan laporan pelanggaran pemilihan yang bisa saja berkurang dengan berbagai alasan, misalnya ketidakpercayaan pada Bawaslu karena laporang yang tidak diproses, faktor kepentingan dan tekanan dari pihak yang berkepentingan, sikap apatis masyarakat atas kinerja pemerintah, dan lain sebagainya.
* Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaran FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
** Dosen Program Studi Pendidikan Kewarganegaran FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar