PIRAMIDA.ID- Hak kerja para pekerja asing adalah isu kontroversial bagi banyak negara, dan Indonesia bukan pengecualian.
Seperti negara-negara lain dengan jumlah tenaga kerja yang besar di luar negeri dan populasi warga negara asing (WNA) yang kecil, Indonesia tampaknya memiliki standar ganda.
Penelitian saya tentang migran asing di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah tidak banyak membantu pekerja asing di Indonesia dalam isu eksploitasi tenaga kerja. Tapi bagaimana dengan kelompok migran yang lain?
Di sisi lain, pemerintah tanpa henti membela hak-hak 9 juta atau lebih Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. TKI telah dieksploitasi dan dianiaya di negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi. Di sisi lain, pemerintah mengabaikan hak WNA untuk mencari nafkah di Indonesia.
Pada tahun 2020, pemerintah mengizinkan 98.761 tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Jumlah mereka hanya 0,07% dari total jumlah tenaga kerja di Indonesia. Dibandingkan dengan negara lain, angka ini kecil. Di Singapura, misalnya, 35% dari tenaga kerjanya adalah WNA.
Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia mengeluarkan 25.435 visa bagi WNA untuk berkumpul dengan keluarga mereka di sini. Visa ini memungkinkan mereka untuk bergabung dengan pasangan dan orang tua mereka yang merupakan warga negara Indonesia atau WNA. Namun, tidak satu pun dari pemegang visa ini diizinkan untuk bekerja.
Jika berbicara tentang hak para tenaga kerja asing, fokus pembicaraan biasanya seputar membatasi kompetisi dengan pekerja lokal terlepas apapun alasan mereka ada di negara ini.
Bagaimana Indonesia membatasi hak kerja untuk WNA
Di bawah hukum Indonesia, tenaga kerja asing diizinkan untuk bekerja untuk profesi tertentu. WNA dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang baik biasanya dipekerjakan sebagai insinyur, guru, dan spesialis lainnya.
Persyaratan hukum untuk hak kerja WNA telah berubah dari waktu ke waktu. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja 2021 telah menyederhanakan proses pemberian izin pemerintah dengan memotong birokrasi.
Namun, serikat pekerja dan kelompok mahasiswa telah mengkritik UU tersebut terkait perubahan terhadap prosedur penghentian pekerja dan perlindungan terhadap lingkungan.
Meskipun mempekerjakan tenaga asing menjadi lebih mudah, undang-undang baru ini tidak menjamin perlindungan hak mereka.
Misalnya, untuk izin tinggal sementara atau tetap, secara teoretis, izin tersebut memberikan akses kepada WNA dan membantu mereka menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dan pekerja.
Namun, jika izin mereka berakhir, tidak ada prosedur rutin untuk memperpanjang izin tinggal di Indonesia sehingga mereka dapat mengikuti proses mediasi dengan pemberi kerja di Dinas Tenaga Kerja atau di Pengadilan Hubungan Industrial.
Penanganan ini sangat kontras dengan yang terjadi di Hong Kong, misalnya. Di sana pekerja rumah tangga Indonesia dapat mengajukan permohonan visa yang memungkinkan mereka untuk menghadiri berbagai janji pertemuan, termasuk di rumah sakit atau untuk penyelidikan polisi, jauh setelah masa izin tinggal habis, untuk melindungi hak bekerja mereka.
Salah satu isu sensitif terkait pekerja asing di Indonesia adalah kedatangan pekerja Cina yang hadir satu paket dengan penanaman investasi Cina di Indonesia. Ada beberapa yang tidak punya visa kerja, namun ada juga yang memiliki visa kerja dan hukum harus melindungi mereka.
Namun, selama pandemi, beberapa pejabat publik dan masyarakat umum masih mempertanyakan hak mereka untuk bekerja di Indonesia, di saat krisis ekonomi yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.
Masalah dengan status kerja pasangan
Tenaga asing asing bukan satu-satunya kelompok WNA yang hak kerjanya tidak dilindungi secara memadai. Seperti disebutkan di atas, mereka juga termasuk WNA yang menikah dengan orang Indonesia.
Ketika mereka pertama kali masuk ke Indonesia dengan izin tinggal sementara, mereka tidak diperbolehkan bekerja pada perusahaan yang berbasis di Indonesia. Aturan ini sebenarnya lazim di berbagai negara.
Namun, di Indonesia, pemegang visa jenis ini diizinkan untuk “berbisnis” bila tujuannya adalah menghidupi keluarga mereka. Pekerjaan yang dibolehkan biasanya adalah pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah seperti penerjemah dan editor.
Setelah dua tahun menikah, pasangan asing dapat mengubah izin sementara mereka menjadi izin tinggal tetap. Izin ini berlaku selama lima tahun tetapi dapat diperpanjang dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun tetap, bagi WNA dengan izin tinggal tetap, untuk mendapatkan pekerjaan konvensional, pemberi pekerjaan harus terlebih dahulu mendapatkan izin kerja untuk mempekerjakan WNA. Salah satu persyaratan adalah pemberi kerjanya harus membayar kompensasi bulanan kepada pemerintah sebesar US$100 atau sekitar Rp 1,4 juta. Mereka juga harus menunjuk seorang pekerja Indonesia untuk mendapatkan kualifikasi dan pengalaman kerja yang diperlukan demi menghilangkan kebutuhan untuk mempekerjakan WNA.
Dalam praktiknya, persyaratan ini berarti pasangan asing yang memiliki izin tinggal tetap diperlakukan sama dengan tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia untuk tujuan pekerjaan yang jelas.
Organisasi pendukung migran
Indonesia memiliki beberapa lembaga non-pemerintahan terkemuka dalam mengadvokasi perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi.
MigrantCare dan Serikat Buruh Migran Indonesia telah berperan penting dalam melobi pemerintah Indonesia untuk berbuat lebih banyak dalam melindungi warganya di luar negeri. Kita sering melihat komentar mereka di media-media Indonesia.
Namun, organisasi yang mengadvokasi hak-hak bekerja WNA di Indonesia kurang banyak terdengar gaungnya.
Contohnya adalah Aliansi Pelangi Antar Bangsa yang sangat aktif dalam mengadvokasi akses kewarganegaraan ganda bagi orang tua Indonesia-WNA dan anak-anaknya.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini, anak-anak boleh memiliki kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun. Setelahnya, mereka harus memilih. Kewarganegaraan ganda tidak bisa dimiliki oleh orang tuanya.
Jarang terlihat, dan seringkali terjadi di belakang layar, organisasi-organisasi ini mengadvokasi inovasi kebijakan yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas hak bagi WNA yang tinggal dan bekerja di Indonesia.
Dalam beberapa kasus, organisasi internasional dengan sumber daya yang lebih baik seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi melakukan koordinasi dan kerja keras lain untuk memastikan berbagai kementerian, lembaga, dan kantor terkait dari pemerintah Indonesia melindungi WNA dari eksploitasi dan penyalahgunaan di Indonesia.
Jalan ke depan
Pada tingkat pelaksanaan, Indonesia membutuhkan gugus tugas lintas sektor sehingga berbagai lembaga pemerintah dapat secara internal berkoordinasi dan menerapkan hukum Indonesia untuk melindungi hak para tenaga kerja asing di Indonesia semaksimal mungkin.
Indonesia pernah membentuk gugus tugas yang memberi perlindungan pekerja migran Indonesia lalu mengubahnya menjadi lembaga yang didanai penuh pada tahun 2006.
Paling tidak, gugus tugas ini bisa menjadi perwakilan pemerintah yang bertanggung jawab atas kebijakan ketenagakerjaan dan imigrasi yang berdampak pada WNA yang bekerja di Indonesia.
Tanpa adanya perubahan ini, berbagai kelompok WNA yang tinggal dan bekerja di Indonesia akan terus berjuang demi mendapatkan hak-haknya.(*)
The Conversation