Abdurrahman Wahid (Gus Dur)*
PIRAMIDA.ID- Siang itu udara terasa panas menurut ukuran musim gugur. Kunjungan empat belas hari ke Australia akhirnya membawa saya ke daerah King’s Cross, di jantung kota metropolitan Sydney.
Kehidupan malam berpusat di daerah tersebut, surga pengisap ganja serta “kerajaan” kaum Hippies yang mencari pelarian dari kemelut hidup negara berindustri maju. Ia juga jadi bukti nyata dari banyaknya pemabuk di benua Kanguru tersebut .
Di sebuah jalan sempit di bilangan King’s Cross ini berdiri gereja Wayside Chapel, dipimpin oleh pendeta bernama Ted Noff. Di siang itu saya dapat melihat pangkalan perang Ted Noff di daerah “lupa Tuhan” itu – rasanya sepadan dengan bertemu imam surau di Kramat Tunggak, Jakarta.
Ted belum begitu tua. Ia sembrono kalau berbicara, tidak mau tahu apakah pendengarnya setuju atau tidak dengan apa yang dikatakannya. Beralih dari ucapan selamat datang serba manis, ia langsung memamerkan gerejanya.
Unik, karena ia tidak hanya meladeni satu agama saja. Lebih seratus tigapuluh kebangsaan pernah diwakili dalam upacara perkawinan di situ, masing-masing menurut kepercayaannya sendiri.
“Kalau ada orang Katolik minta dinikahkan di sini, kami bersedia menyelenggarakan. Orang Yahudi kami penuhi kehendaknya. Orang beragama Sikh dari India diladeni. Bahkan dulu ada sepasang orang Islam dari negara tuan dikawinkan di sini,” katanya.
Ketika ditanya bagaimana ia mengawinkan orang secara Islam, ia hanya menjawab: “Ya menurut aturan Islam. Yang penting ‘kan memakai asma Allah (menurut prononsiasi alah). Yang penting ‘kan Tuhan-nya orang Islam sudah tahu niat baik kami untuk menolong. Lainnya itu ‘kan hanya bentuk luar saja!”
Memang sulit berbicara dengan orang seperti ini, yang menganggap maksud baik dapat menyelesaikan segala persoalan.
“Saya sendiri tidak percaya bahwa Jesus adalah penjelmaan manusiawi dari Tuhan,” katanya. “saya lebih condong meletakkan beliau sebagai Nabi, seperti anggapan orang Islam.”
Bagaimana tanggapan orang-orang Kristen yang lainnya tentang pendapat Anda ini?
“Ya jelas saya dituduh menjadi pembelot, heretic. Tetapi bukankah masalah Ketuhanan memang rumit? Mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu juga tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak.”
Ia meruskan: “Perbedaan keimanan dan agama adalah semacam kebingungan Ilahi yang perlu dialami untuk memaksa kita mengeluarkan apa yang terbaik dari diri kita masing-masing. Muhammad benar, Buddha Gautama betul dan Jesus tidak salah. Mereka adalah manusia agung yang sudah berkiprah dalam kebingungan Ilahi yang diwujudkan Tuhan. Ini bukan sinkretisme, tetapi justru pencarian titik temu sekian banyak agama yang masing-masing memiliki watak uniknya sendiri.”
Ajaran gombal ini banyak didapati di mana-mana. Tetapi yang menarik pada “gereja pembelotan” ini adalah implementasi keimanan pemeluknya. Di tempat itu dibuat pusat krisis (crisis center).
Pusat krisisnya Ted Noff ini menampung lebih dari seratus kasus setiap harinya. Orang datang minta pertolongan, telepon berdering-dering minta perhatian, pemuda-pemuda datang menawarkan tenaga, tukang pos datang membawa kiriman uang sumbangan dari masyarakat.
Di sebuah ruang di gedung tiga tingkat itu berkumpul orang muda, menghabiskan waktu istirahat untuk menonton teve atau berbincang-bincang secara bebas. Mereka adalah bekas-bekas pemabuk yang dahulu keluyuran sepanjang jalan tidak ada yang menyantuni, sampah masyarakat yang terbuang dari perputaran roda mesin kehidupan negara industri.
Di ruang lain alat-alat elektronika memegang peranan mutlak: lampu berkedip-kedip sayu melalui lubang-lubang kecil di atap, sebuah layar menerima pancaran gambar susunan jagad raya dari sebuah proyektor tersembunyi, dan dentuman serta deru sound system yang berkekuatan di atas seratus watt, semuanya itu menggambarkan proses kehidupan alam semesta yang bertujuan mulia, sesuai dengan ajaran Tuhan. Selesai pertunjukan itu, anak-anak sekolah yang datang diperkenalkan kepada peragaan bahaya alkohol dan rokok bagi kesehatan mereka, melalui pertunjukan film yang anatomis.
Keluar dari tempat itu, saya termenung tidak habis mengerti. Bagaimanakah theologia gombal yang meredusir semua agama dan rumusan keimanan ke dalam sebuah kebingungan Ilahi (Godly confusion) dapat menjadi kekuatan pendorong yang demikian positif bagi pelayanan kebutuhan lokal yang justru berada di pusat kehidupan malam? Bagaimana mungkin dari sebuah kebingungan lahir sebuah langkah pasti untuk mengatasi penderitaan manusia?
Memang benar para sejarawan selalu mendapatkan persambungan dalam hal-hal seperti ini, seperti Jan Romein yang menemukan lahirnya agama dan filsafat modern justru dari masa pancaroba, yang melanda seluruh ummat manusia menjelang abad ke enam sebelum Masehi. Pancaroba yang melahirkan Lao Tze, Zarathustra, Buddha Gautama, para filosof Meletus dan tantangan agama Osiris di Mesir. Tetapi masih sulit juga untuk menerapkan prinsip kepastian muncul dari kebingungan itu dalam kasus lokal seperti yang diperlihatkan oleh Ted Noff dengan kebingungan Ilahi-nya.
Atau justru caranya mempersoalkan yang salah! Apakah tidak mungkin mencari pertanyaan selain “dari kebingungan bagaimana dapat lahir kepastian?” Apakah bukannya lebih tepat bertanya mengapakah kepastian theologis agama-agama besar tidak berhasil melahirkan kepastian jawaban bagi masalah dasar manusia seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kesempitan pandangan dan seterusnya?
Karena, pada analisa terakhir, lahirnya kepastian dari kebingungan theologia gombal hanyalah akibat belaka dari ketidakjelasan jawaban theologia yang sudah mapan, dan penuh kepastian, dari agama-agama besar.
Tulisan ini merupakan karya Gus Dur, mantan Presiden RI ke-4. Tulisan ini pernah dimuat di majalah TEMPO, 3 Mei 1980. Disadur kembali untuk tujuan informasi dan edukasi.