Efron Dwi Poyo*
PIRAMIDA.ID- Tahukah Anda bahwa Amerika Serikat (AS) memiliki bahasa nasional baru 14 tahun yang lalu atau 231 tahun setelah AS merdeka? Ya, 14 tahun yang lalu atau tepatnya pada 18 Mei 2006 AS menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Senat AS bersetuju dengan perbandingan 64 menerima dan 34 menolak.
Bahasa Indonesia resmi ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 18 Agustus 1945 dalam UUD 1945 Pasal 36. Dengan demikian umur bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau negara jauh lebih tua daripada bahasa nasional AS.
Hasrat bangsa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bahkan sudah dimula pada 28 Oktober 1928 lewat Sumpah Pemuda atau 92 tahun yang lalu.
Setelah Republik Indonesia berumur 75 tahun saya mengamati tidak ada perbaikan mutu berbahasa Indonesia di kalangan penutur bahasa Indonesia. Tentu saja ini pengamatan subjektif saya tanpa data.
Saya mengamati bahasa tulis di media baik cetak maupun daring (dalam-jaringan), perkantoran swasta, pemerintah, dan tentu saja di sekolah. Yang mengenaskan nasib bahasa Indonesia di perkantoran swasta. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kelas pinggiran.
Para pekerja merasa malu apabila melakukan kesalahan dalam berbahasa asing, tetapi tidak malu tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia yang dikenalkan lewat Sumpah Pemuda 1928 yang kemudian dikukuhkan lewat UUD 1945 menjadi kebanggaan semu belaka.
Saya kerap menyaksikan orang-orang Indonesia memaklumi orang asing berbahasa Indonesia dengan terbata-bata. Sebaliknya saya merasa yakin orang asing juga akan memaklumi kesalahan berbahasa asing orang Indonesia.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk malu tidak cakap berbahasa asing. Justru sungguh memalukan apabila tidak dapat bercakap dengan bahasa Indonesia. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Pengaruh Media
Media yang berpengaruh terbesar dalam melunturkan mutu berbahasa Indonesia adalah siaran televisi swasta. Ada banyak judul atau nama program televisi menggunakan bahasa Inggris, tetapi isi program menggunakan bahasa Indonesia. Terjadi ketidakpanggahan (inconsistency), karena sepertinya pengelola acara tidak percaya diri pada bahasa Indonesia.
Ketika siaran televisi swasta belum mengudara, TVRI secara panggah menggunakan bahasa Indonesia untuk judul acara dan isinya. Tentu kita masih ingat pada “Pembinaan Bahasa Indonesia”, “Mimbar Televisi”, “Dunia dalam Berita”, “Taman Indria”, dan lain sebagainya. Terlepas dari TVRI merupakan corong propaganda rezim Orde Baru pesan bahasa Indonesia oleh TVRI sangat kuat mengakar bagi peningkatan mutu berbahasa Indonesia.
Media tulis daring juga berpengaruh pada pola berbahasa Indonesia di masyarakat yang pada gilirannya memengaruhi mutu berbahasa Indonesia. Tentu saja saya tidak menghitung media-media abal-abal.
Di sini saya membincangkan media tulis daring yang dianggap papan atas, namun oleh karena diburu oleh kecepatan penyampaian berita mereka kerap (bahkan seperti menjadi kebiasaan) melalaikan mutu berbahasa.
Kesalahan Mendasar
Bahasa tulis berbeda dari bahasa lisan yang si penutur dibantu dengan gerakan tubuh atau ekspresi wajah dan nada suara untuk menjelaskan pesan lisan kepada pendengar. Secara umum kesalahan mendasar dalam bahasa tulis si penulis tidak dapat menyampaikan buah pikirannya kepada pembaca, karena ia tidak peduli pada struktur bahasa yang dibangunnya.
Si penulis menyampaikan berita atau buah pikiran seolah-olah ia sedang berbahasa lisan. Pembaca berpikir keras untuk menentukan subjek, predikat, dan objek. Si penulis tidak dapat membedakan penggunaan tanda koma dan jeda baca sehingga bangun kalimat tunggal dipaksa menjadi kalimat majemuk yang berakibat mengaburkan pesan yang hendak disampaikan.
Hal yang paling mendasar lainnya, namun berakibat ditiru oleh masyarakat, ialah kesalahan penerapan awalan atau prefiks dan kata depan atau preposisi. Prefiks “di”, sebagai misal, sering diperkosa menjadi preposisi dan sebaliknya. Belum lagi orang tidak memahami kata sambung yang berfungsi menyambung kata dan kalimat. Orang dengan seenak udhel menulisnya di awal kalimat.
Berawal dari Sekolah
Seperti kita ketahui bersama untuk naik kelas seorang murid harus mendapatkan nilai bahasa Indonesia paling rendah 6. Menjelang akhir tahun ajaran seorang murid mendapatkan nilai di atas 8 untuk hampir setiap mataajaran kecuali bahasa Indonesia dan Inggris mendapat angka 5. Anak ini tidak naik kelas. Benarkah tindakan sekolah menahan murid ini untuk tinggal-kelas?
Secara pedagogis tindakan sekolah tidak dibenarkan, karena nilai tidak boleh dijadikan alat penghukum. Oleh karena itu sekolah “mendongkrak” nilai bahasa Indonesia menjadi 6 agar anak dapat naik kelas, tetapi bahasa Inggris tetap nilai 5.
Orangtua yang melihat nilai 5 pada bahasa Inggris mendorong (tentu juga banyak yang memaksa) anak mengambil les bahasa Inggris, karena orangtua tidak suka melihat nilai 5.
Apabila keberadaan sekolah dimaksud untuk mendidik lewat mengajar menurut saya tidak perlu lagi menerapkan nilai minimum untuk bahasa Indonesia. Biarlah nilai 5 tetaplah 5 tanpa perlu didongkrak.
Juga nilai bahasa Indonesia tidak dijadikan syarat kenaikan kelas selama nilai rerata kelas mencapai angka tertentu, walau pada dasarnya saya menentang kebijakan tinggal-kelas. Dengan begitu secara pedagogis anak dan tentu saja orangtua akan terpacu untuk lebih berserius dalam menggali bahasa Indonesia ketika melihat nilainya 5.
Dalam kenyataan sehari-hari saya sendiri acap berdeging dengan guru sekolah anak saya. Mereka kerap menulis pesan kepada orangtua dengan bahasa Indonesia serampangan. Dalam praktik masa kini banyak guru memberi beban kemerosotan mutu berbahasa Indonesia. Saya beruntung selama bersekolah dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi diajar oleh guru bahasa Indonesia yang terandalkan.
Saya amat bangga berbahasa Indonesia. Kebanggaan saya tunjukkan secara serius menulis kalimat demi kalimat dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia jauh lebih tua daripada bahasa nasional AS. AS baru memiliki bahasa nasional 14 tahun yang lalu. Betapa bangga saya pada bahasa Indonesia.(*)
Penulis merupakan pegiat media sosial. Memiliki minat khusus terhadap kajian bahasa dan agama.