Oleh: Thompson Hs
PIRAMIDA.ID- Hari ini, Selasa (30/08/2022) perhatian sepenuhnya untuk proses dokumentasi “Na I Hasagian” mencapai klimaksnya pendokumentasi itu dilaksanakan oleh Sanggar Sitopaksada Medan melalui Program FBK (Fasilitasi Bidang Kebudayaan) 2022 dari Dirjen Kemdibudristek RI.
Suatu penghargaan yang baik atas judul Na I Hasagian. Baik sebagai karya terbaru Opera Batak maupun untuk saya pribadi yang dapat menyusun karya ini di level naskah dan menyutradarai pertunjukannya pertama kali pada 15 Oktober 2018.
Judul Na I Hasagian mungkin tidak selalu langsung bisa ditangkap maksudnya, kecuali oleh para peserta Program BBM (Belajar Bersama Maestro) yang menjadi para pemain dalam pertunjukan perdana itu. Pertunjukan itu sendiri dipersiapkan untuk mengisi panggung dalam acara Indonesiana. Tepatnya momen pertunjukan dilakukan setelah Seminar Nasional tentang Tenun Nusantara.
Beberapa dari penonton waktu itu bertanya soal arti Na I Hasagian. Saya menjelaskan judul itu sebagai sebutan untuk petenun (dalam dialek Batak Toba: partonun). Judul itu lebih penting dan menarik diperkenalkan daripada hanya: Petenun. Atau “Ahu Partonun”. Meskipun produk terkait kedua sebutan itu tetap saya sukai.
Na I Hasagian mungkin agak lain dalam cara menuliskannya. Itu juga bisa dipertanyakan. Prosesnya hingga begitu tidak gampang atau jatuh dari langit. Sebutan itu antara lazimnya diucapkan dan dituliskan harus berakar pada makna yang dimaksudkan. Itulah yang saya gali sebelum menggunakan sebutan itu menjadi judul naskah. Cerita “Na I Hasagian” seputar kain tenun ulos dan petenun yang strukturnya dibuka dan ditutup oleh kekinian. Sedangkan masa lalu ulos dan petenun itu merupakan flash-back yang bisa ditafsir berdasarkan pengetahuan yang ada dalam berbagai level pemahaman.
Semua proses “Na I Hasagian” sebelum menjadi satu naskah diwarnai dinamika dalam proses BBM yang berlangsung hingga dua minggu di Gedung Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara. Program BBM diinisiasi oleh Bpnb Aceh dan khusus dengan Maestro Opera Batak diposisikan kepada saya berdasarkan acuan “Penerima Penghargaan Kebudayaan Tahun 2016 untuk Kategori Pelestari Opera Batak”.
“Na I Hasagian” dalam pengucapan tidak setegas pengucapan “Nai Hasagian” jika dituliskan. Jadi saya mengadopsi potensi dari pengucapan itu ke sasaran maknanya. Meskipun tradisi bertenun masih didominasi oleh kaum perempuan sejak tradisi ini ada dan direpresentasikan sejak awal oleh perempuan seperti Siboru Deak Parujar. Kata Boru adalah feminim dan bentukan Siboru bisa langsung dimaknai si perempuan.
Nah, saya bisa mengikuti kesan petenun itu hanya perempuan dengan memilih cara penulisan dengan “Nai Hasagian”. Aturan penulisan ini tampaknya perlu diperhatikan dari sisi atau tata bahasa. Namun saya tidak memilihnya, kecuali dengan keputusan sastra yang dapat mengakomodir bahwa petenun itu bukan hanya kaum perempuan. Petenun dari kaum laki-laki pasti ada, setidaknya menurut yang saya temukan. Bagaimana pandangan umum atas petenun dari kaum laki-laki?
Itu terbuka didiskusikan lewat “Na I Hasagian”. Atau bagaimana perannya bagi tradisi tenun seperti kain tenun ulos?
Naakah “Na I Hasagian” akhirnya saya susun untuk sebuah pertunjukan yang diutamakan untuk pemahaman para peserta BBM 2018. Kemudian bagaimana pemahaman itu diekspresikan kepada para penonton. Tema yang dikandungnya juga memenuhi harapan daripada judul lain yang waktu itu ingin dipaksakan oleh Event Organizernya. Sehingga dalam gonjang-ganjing ingin dipertunjukkan di panggung Indonesiana, “Na I Hasagian” seakan dipenuhi ambisi yang mengalahkan judul lain yang tidak kontekstual. Para pemain “Na I Hasagian” itu juga secara objektif berproses, bukan diimpor dari luar Tarutung sekitarnya, dan objek terbaik dari konsep regenerasi. Meskipun harapan yang semakin berkembang tidak dapat dilanjutkan kemudian.
Tahun 2021 lalu “Na I Hasagian” ingin dipentaskan ulang. Namun situasi pandemi Covid-19 cukup mengganggu tim dan semua pemain. Poster dan gedung tempat pertunjukan sudah dikondisikan di sebuah lingkungan kampus di Medan. Latihan-latihan bersama diupayakan di sekretariat Sanggar Sitopaksada Medan.
Sebelum pegiat di Sanggar Sitopaksada memutuskan pelamaran untuk FBK naskah “Na I Hasagian” mulai dijadikan objek untuk penelitian skripsi dan sebelum pendokumentasiannya dimulai hari Kamis lalu (25.08.2022) judul skripsi itu sudah dimeja-hijaukan dan mahasiswa yang mengajukan dinyatakan lulus. Kesan dari judul skripsi itu bahwa “Na I Hasagian” pernah dipentaskan oleh PLOt. Padahal sesungguhnya itu belum pernah terjadi, kecuali karena BBM 2018 yang dimainkan para siswa-siswi 6 sekolah dari Tarutung sekitarnya. Produksi pertunjukan itu sendiri oleh Bpnb Aceh dan mungkin boleh disebut kerjasama dengan orang-orang PLOt.
Mari kita tunggu kesan khusus dari dokumenter “Na I Hasagian” untuk melengkapi kesan-kesan sebelumnya atas karya terbaru Opera Batak itu. Semoga karya dokumenter itu dapat menjadi bahan tambahan pembelajaran untuk suatu jejak dalam proses berkarya. Terima kasih untuk Sanggar Sitopaksada, Sanggar Sarimpang Art, Sanggar Maduma, dan Dirjen Kebudayaan kemendikbudristek RI atas apresiasi untuk karya “Na I Hasagian”. Juga untuk Dhea Putri Ayu Malau yang pertama kali mengangkat karya ini menjadi objek skripsi di jurusan Etnomusikologi USU.(*)
Penulis merupakan budayawan Batak dan Direktrur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).