Alboin C. Samosir*
PIRAMIDA.ID- Beberapa waktu belakangan ini, sorotan media dan iklim perbincangan publik sedang hangatnya seputar Omnibus Law.
Wacana Omnibus Law ini sendiri pertama kali digulirkan pemerintah saat pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode ke-2.
Dalam pidato pelantikannya, Jokowi mengawalinya dengan cita-cita Indonesia di tahun 2045, di mana Indonesia diharapkan mampu keluar dari jurang kemiskinan; menjadi negara maju dengan pendapatan 27 juta per kapita per tahun.
Di tengah pidatonya, Jokowi mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar.
Pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja—yang kemudian peristilahannya diganti menjadi “Undang-Undang Cipta Kerja”. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi bagian Omnibus Law.
Jokowi menepati janjinya saat pelantikan. Pada Rabu, 12 Februari 2020, Pemerintah resmi menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sesaat setelah diserahkan ke DPR, kehadiran RUU Cipta Kerja menuai protes di kalangan masyarakat.
Tentu saja gelombang protes semacam melahirkan pertanyaan gigantik di benak kita; Apakah Omnibus Law Cipta Kerja itu? Mengapa kehadirannya dianggap bermasalah oleh banyak kalangan?
Syahdan, secara etimologi, kata “Omnibus” diadopsi dari bahasa latin, yakni “Omnis” yang berarti “Untuk semuanya”.
Maka secara sederhana, Omnibus Law berarti adalah sebuah peraturan yang terdiri dari banyak undang-undang yang dihimpun dalam sebuah peraturan.
Undang-undang ini biasa disebut undang-undang sapu jagat. Omnibus Law ini digunakan untuk mencegah tumpang tindih regulasi, efisiensi, dan efektivitas perundang-undangan.
Dalam sejarahnya, Omnibus Law pertama sekali diperkenalkan oleh Amerika Serikat. Compromis of 1850 merupakan regulasi yang menyatukan perbedaan antar-negara yang pro dan kontra dengan perbudakan.
Omnibus Law banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem Common Law, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
Omnibus Law Cipta kerja yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR memuat 11 cluster, 15 bab, 174 pasal, dan 79 perundang-undangan dengan 1203 pasal terdampak. Sesaat setelah diserahkan, Jokowi berpesan kepada Ketua DPR, Puan Maharani agar segera menyelesaikannya dalam 100 hari kerja.
Tentunya wajar masyarakat bertanya, ada apa dibalik ini? Mengingat perlunya dalam pembuatan aturan ini kajian yang komprehensif, baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis untuk membahas ini, hingga tidak perlu dibatasi oleh waktu menimbang peraturan ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam proses perancangan undang-undang ini, pemerintah terkesan diam-diam dalam menyelesaikannya dan juga tidak melibatkan elemen masyarakat dalam prosesnya.
Misalnya, tidak mengikutkan kelompok serikat buruh di mana RUU ini sangat berdampak kepada mereka. Kemudian transparansi mengenai pembahasan ini tidak ditemukan sampai pemerintah sudah menyerahkannya ke DPR.
Padahal dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudangan-undangan menegaskan, “..masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.”
Secara tidak langsung asas transparansi dan demokratis tidak digunakan pemerintah dalam perumusan peraturan ini.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh salah satu mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida. Ia menyampaikan, “5 hal perlu diperhatikan terkait rencana Omnibus Law ini, yakni pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, partisipasi masyarakat, sosialisasi yang lebih luas, dan pembahasan yang harus transparan.”
Selain itu, terkait Omnibus Law sendiri tidak dikenal dalam regulasi perundang-undangan. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 perubahan UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak dikenal dan tidak dimuat mengenai penerapan Omnibus Law. Ya, meskipun dalam ranah implementatif masih dapat diperdebatkan.
Permasalahan Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya di formal, namun turut juga materiil dan substansi dari peraturan tersebut. Salah satunya terkait dengan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam RUU Cipta Kerja ini terdapat beberapa regulasi yang dihapus dan diganti yang nyata-senyatanya akan merugikan masyarakat yang berada di wilayah perusahaan.
Dalam RUU Cipta Kerja izin terbitnya AMDAL kian dipermudah. Dalam Pasal 24 ayat (3) diatur, “Pemerintah Pusat dapat melakukan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.”
Hal ini tidak sejalan dengan semangat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana dalam uji kelayakan harusnya tetap melibatkan peran serta masyarakat dan organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup.
Selain tidak melibatkan masyarakat, RUU ini juga akan menghilangkan sense of belonging pemerintah daerah terhadap wilayah lingkungan hidupnya. Hal tidak lepas dari dihapusnya Pasal 29 sampai 31 UU No. 32 Tahun 2009 yang mengatur peran serta Pemerintah Daerah dalam penerbitan AMDAL.
Seperti yang dimuat dalam Pasal 31 UU No. 32 Tahun 2009 yang menegaskan, “Berdasarkan hasil penilaian komisi penilai AMDAL, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapakan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.”
Tidak hanya itu. Regulasi ini juga menghapus jenis sanksi administratif yang sebelumnya jelas tertuang dalam Pasal 76 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009.
Demikian juga dengan penghapusan pertanggungjawaban mutlak di mana dalam Pasal 88 diatur, “Setiap orang yang mengakibatkan kerusakan serius terhadap lingkungan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Dihapusnya pasal-pasal ini akan melanggengkan orang-orang yang ingin merusak lingkungan.
Berdasarkan poin-poin di atas, penulis beranggapan pemerintah tidak menaruh ruang perlindungan pada warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana hak konstitusi tersebut dijamin pada Pasal 28H UUD NRI 1945 di mana, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat.”
Buruh juga tidak terlepas dari RUU Cipta Kerja ini. Terdapat beberapa perubahan yang nantinya akan merugikan buruh. Pertama, tentang perjanjian kerja. Dalam RUU Cipta Kerja ini pengusaha dapat semena-mena untuk mengakhiri masa kerja buruh.
Hal ini bisa dilihat di Pasal 61 poin (1e) di mana apabila kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Dalam pasal ini tidak jelas diatur mengenai apa itu keadaan tertentu; artinya perusahaan bisa memecat pekerja dengan dalih keadaan tertentu.
Kedua, menyangkut durasi kerja. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan durasi kerja yang diatur, yakni 5 hari kerja dalam satu minggu . Durasi kerja tersebut diganti menjadi 6 hari kerja dalam satu minggu. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 76 RUU Cipta kerja.
Ketiga, terkait dengan pengupahan. Pasal 88 UU Ketenagakerjaan yang diganti oleh RUU Cipta Kerja menghapuskan beberapa upah yang harusnya dipenuhi oleh pengusaha, seperti upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan upah lainnya.
Pengupahan tidak lagi ditentukan oleh kabupaten/kota atau yang biasa disebut UMR melainkan Upah Minimum Provinsi (UMP) di mana lazimnya UMP lebih rendah daripada UMR.
Keempat, selain sistem kerja yang memberikan kewenangan mutlak kepada pengusaha pun demikian dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Semisal pada Pasal 154A Poin i, yang mengatur pengusaha dapat memecat apabila pekerja mengalami sakit berkepanjangan lebih dari 12 bulan.
Menurut penulis aturan ini sangat merugikan pekerja. Harusnya perusahaan hadir memberikan solusi.
Omnibus Law Cipta Kerja ini juga merusak tatanan hukum yang sudah berlaku. Dalam Pasal 170 RUU Cipta Kerja ditegaskan pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang dengan peraturan pemerintah.
Hal tentu saja bertentangan dengan hierarki perundang-undangan yang ada di Indonesia dan pasal ini tidak memiliki legitimasi dalam aturan konstitusional kita. Undang-undang hanya dapat diganti dengan Perppu. Itu pun hanya dalam keadaan tertentu dan harus diundangkan setelahnya.
Dengan adanya Omnibus Law Cipta kerja ini membuka kewenangan yang cenderung sentralistik di mana dapat mengakibatkan sistem pemerintahan yang otoriter.
Untuk aspek tertentu, RUU Cipta Kerja ini menihilkan peran serta pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang sering pemerintah suarakan.
Dalih pemerintah yang mengatakan hadirnya Omnibus Law untuk menggaet Investor tidaklah sepenuhnya tepat. Banyak aspek yang mempengaruhinya, terlebih soal eliminir budaya korupsi dan pelayanan birokrasi.
Sebagaimana menukil pendapat Faisal Basri, “Kendala utama investasi di Indonesia bukanlah regulasi melainkan korupsi dan in-efisiensi birokrasi.”
Oleh karena itu, pemerintah harus menarik RUU Cipta kerja ini dan mengkaji kembali terutama terhadap dampak-dampak yang akan terjadi.
Jangan sampai Omnibus Law ini yang harusnya menciptakan lapangan kerja justru menciptakan masalah di masyarakat.
Penulis merupakan Ketua Lembaga Kemaritiman dan Agraria PP PMKRI periode 2020-2022
Editor: Redaksi/Hen