PIRAMIDA.ID- Teori resepsi adalah suatu pandangan yang memberi tempat pada tanggapan pemirsa dari suatu karya. Dengan demikian, peran aktif pembaca ditempatkan sebagai pemberi makna karya seni. Hal itu juga menghadirkan sebuah proses interpretasi pembaca. Teori resepsi ini tentunya berangkat dari situ, dari peran pembaca dalam tindak pembacaan sebuah karya seni.
Janet Wolf dalam The Sosial Production of Art (1981) menyebutkan bahwa seorang pembaca (dalam sebuah proses interpretasi) mendapatkan “tugas” untuk memaknai kembali “ruang kosong” di dalam teks yang diberikan atau ditinggalkan oleh pengarangnya/senimannya. Dari pendapat Janet Wolf, bisa diartikan pula bahwa proses interpretasi berarti menciptakan kembali makna dari karya seni. Atau me-refungsi makana karya seni itu.
Hal itulah yang menyebabkan proses pemaknaan suatu teks atau karya akan berubah-ubah di tangan setiap pemirsanya. Hal itu akan dipengaruhi oleh seberapa banyak pengetahuan di kepala pembacanya. Maka pemaknaan tunggal dari pengarang, determinasi dan kekuasaan seniman, sudah tidak ada lagi. Semuanya akan berubah menjadi proses interpretasi yang terus berkembang seiring berjalannya waktu dan ilmu pengetahuan.
Pengetahuan, pengalaman, dan hal-hal lainnya yang sudah ada di dalam kepala seorang pembaca atau pemirsa akan menjadi suatu bekal sebelum memulai interpretasi teks tertentu. “Bekal” inilah yang kemudian menyediakan suatu cakrawala harapan bagi pembaca tersebut. Bisa dikatakan, ada semacam “gudang” di dalam kepala seorang pembaca yang berisi pengetahuan, pengalaman, dan literary repertoire. Literary repertoire adalah “gudang” yang berisikan norma sosial, historis, budaya, dan sebagainya yang akan bermanfaat dalam proses pembacaan.
Bekal tersebut akan berbeda-beda setiap orang. Tentunya, setiap orang memiliki latar sosiologis dan psikologis yang berbeda, tingkat pendidikan dan banyaknya pengetahuan di kepala mereka juga berbeda. Hal itu akan menghasilkan beragam makna yang berbeda dari satu teks yang sama.
Teks yang belum dibaca masih berupa “artefak”
Ada satu hal yang menarik dari teori resepsi ini. Hadirnya ragam makna dari para pembaca menghasilkan deduksi bahwa teks yang belum dibaca berarti masih berada dalam tatanan “artefak”. Karya cipta baru akan menjadi sebuah karya seni (objek estetik dan berfungsi estetik) itu ketika telah dibaca. Sebelum karya tersebut lahir, maka makna berada di tangan pengarang. Namun, ketika karya tersebut telah lahir, maka makna tadi akan berpindah ke tangan pembacanya.
Apakah itu berarti pembaca sudah berganti peran menjadi pengarang? Bisa dikatakan iya. Sebab, pembaca akan melakukan konkretisasi karya seni, interpretasi, dan membangun ulang makna berdasarkan pemikirannya sendiri. Karena itu dikenal pula teori resepsi estetik. Teori resepsi estetik merupakan manifesto dari “pergantian kekuasaan” dari seorang pengarang ke pembaca setelah karya tersebut lahir dan dibaca.
Ketika menanggapi karya seni, maka pembaca terbagi menjadi tiga.
Pembaca ideal
Pembaca ideal, atau supper reader ialah pembaca dengan keahlian teoritis saat melakukan interpretasi karya. Teks bahkan tidak pernah menjadi targetnya, tapi menjadi semacam prafigur karya artistik yang ditanggapi dinamis. Pembaca ideal memiliki peran untuk menempatkan teks menjadi karya artistik, sekaligus karya estetik. Hal itu dipilih dari berbagai indikator, seperti materi pilihan dan teknik untuk menjadi karya artistik, serta realisasi dan tanggapan pemirsa untuk menjadi karya estetik.
Pembaca tafsir
Pembaca tafsir atau implied reader adalah pembaca yang berada di tataran tekstual, dan menjadi pembaca yang memaknai teks tersebut.
Pembaca riil
Bisa diartikan secara fisik sebagai seseorang yang melakukan tindak pembacaan.
Wolfgang Iser dalam The Art of Reading. A Theory of Aesthetic Response, mengatakan bahwa pembaca tidak sepenuhnya mampu melakukan pendekatan teks secara utuh. Justru, bagian yang hanya mampu didekati oleh pembaca ialah dimensi semu (virtual dimension) dari teks tersebut. Dimensi semu tersebut bukan teks yang sebenarnya, tapi dimensi yang hadir bersamaan antara teks dengan imajinasi pembaca.
Dengan kata lain, karya seni tersebut menjadi pemantik untuk lahirnya sebuah “semesta” dari teks yang diciptakan dari dan oleh imjaninasi pembacanya. Dimensi semu yang ada di dalam teks juga memberikan kesempatan bagi imajinasi pembaca untuk ikut berpartisipasi mengonstruksi apa yang dibacanya. Pembacaan yang berulang akan menghadirkan serangkaian pengalaman estetis yang berbeda, dan menjadi sebuah pengembaraan pembacaan yang kreatif dan inovatif.
*Tulisan ini didasarkan pada tulisan Prof Dr Hj Yudiarni, MA (Guru besar Teater ISI Yogyakarta) berjudul Teori Resepsi”