PIRAMIDA.ID- Suatu hari pada 1968, Willy Wirantaprawira ke tanah air pulang dari Uni Soviet, tempat dia studi hukum internasional di Kiev. Dia, sama seperti mahasiswa Indonesia di Uni Soviet lainnya, sempat menandatangani pernyataan pengecaman penculikan para Jenderal pada 1965.
Semestinya, surat pernyataan itu bisa membuatnya lancar untuk kembali ke Indonesia saat diskrining KBRI. Tetapi, saat tiba di Jakarta, ia untuk memperpanjang paspornya agar bisa melanjutkan studi doktoralnya, ternyata tidak bisa.
Willy justru didatangi seorang sersan di tanah kelahirannya, Tasikmalaya. Sersan itu bertanya padanya, “Bapak warga Rusia?”
“Bukan, saya orang Indonesia,”
“Mana KTP-nya?”
“Saya tidak punya KTP, Pak.” imbuh Willy. “Tapi saya punya paspor.”
“Apa itu paspor?”
Rupanya sersan itu tidak tahu apa itu paspor. Yang petugas berseragam tahu hanyalah jika seseorang tidak memiliki KTP adalah kriminal.
Willy pun sempat ditahan. Ia berhasil bebas karena beruntungnya orangtuanya kenal beberapa pejabat saat itu. Akhirnya, demi bisa melanjutkan studi ia mengajukan paspor baru, dan diam-diam berangkat ke Moskow.
Pada 1972 ketika sudah menikah, dia ingin tahu apakah dia bisa pulang lagi ke Indonesia dengan kehidupan yang terjamin memiliki pekerjaan. Sebab, beberapa rekannya yang telah berkuliah di Uni Soviet, justru dipenjara. Di KBRI Mpskow, petugas atase militer malah membentaknya.
Willy ditolak untuk masuk ke Indonesia, sehingga memutuskan untuk pindah ke Frankfurt, Jerman. Dia bahkan bekerja di Max Planck Institute. Tetapi bagi pemerintah Indonesia, dia distempel PKI, sehingga tidak mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, tanpa alasan yang jelas.
Willy Wirantaprawira adalah satu dari generasi intelektual yang dikirimkan ke luar negeri oleh pemerintahan Sukarno. Ada banyak tokoh intelektual lainnya, tetapi tidak bisa pulang lantaran dituduh komunis atau beraliran kiri.
Soe Tjen Marching dari School of Oriental and African Studies University of London, memaparkan beberapa kisah tokoh intelektual tersebut di Diskusi Genosida Intelektual ’65: Terhapusnya Satu Generasi Kiri Indonesia. Acara itu diselenggarakan oleh PMII Rayon Pancasila Semarang pada Sabtu (03/07/2021).
Impian Indonesia mandiri
Pemerintahan Sukarno sengaja mengirim banyak mahasiswa ke luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Uni Soviet, dan Tiongkok, alasannya agar negeri ini bisa mengelola sumber daya alam secara mandiri.
“Karena waktu terus terang—setelah merdeka—Indonesia kekurangan tenaga ahli,” papar Soe Tjen.
“Bayangkan, dijajah ratusan tahun, pendidikannya bobrok pada waktu itu, universita lagi kekurangan, terus ini dari Amerika Serikat lagi gencar-gencarnya mengintai Indonesia. Karena beberapa perusahaan besar–tidak cuma Amerika, seperti Shell, Exon, itu tahu kalau Indonesia ini kaya akan sumber daya,” tambahnya.
Pengiriman mahasiswa ini diharapkan agar Indonesia tidak lagi bergantung pada para ahli dari luar negeri, yang tentunya mementingkan negerinya.
Tetapi para mahasiswa yang berada di luar negeri mengalami kesulitan untuk bisa pulang pasca peristiwa 1965. Rata-rata kesulitan itu terhadi pada 1966 yang tak hanya dialami mahasiswa, tetapi juga para wartawan dan diplomat yang dicurigai memihak Sukarno.
Sebenarnya pada 1965, para mahasiswa di luar negeri memang mengutuk peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal. Mereka mengutuk karena alasan kemanusiaan, terlepas apakah benar pembunuhnya memang PKI atau bukan.
Berselang kejadian itu, terjadi genosida yang dilakukan kepada masyarakat sipil. Para mahasiswa ini pun sangat mengecam peristiwa itu. Tetapi tidak ada fokus pernyataan yang diminta pejabat yang datang, sebagaimana pernah dimintakan terkait pengecaman penculikan para jenderal.
Para mahasiswa yang tidak bisa pulang ke Indonesia terpaksa menetap selamanya di luar negeri, seperti Jerman dan Belanda sebagai eksil politik. Sedangkan mereka yang pulang justru ditahan. Hal itu terjadi pula speperti yang dialami Soesilo Toer.
“Kita kehilangan tiga manusia ini,” Soe Tjen berpendapat setelah mengisahkan para eksil politik seperti Arif Harsana, Waruno Mahdi, dan Willy Wirantaprawira. “Masih banyak sebenarnya. Bayangkan kalau mereka pulang apa yang bisa disumbangkan ke Indonesia. Kini yang kita dapatkan hanyalah sampah.”
Selama di Eropa, khususnya di Jerman, para eksil kerap bergaul dengan mahasiswa Indonesia yang datang. Para mahasiswa sebenarnya sudah diwanti-wanti agar tidak bergaul atau mengunjungi usaha milik mereka dengan tuduhan PKI.
Salah satu mahasiswa era Orde Baru yang berkuliah di Jerman adalah Asep Abro Ruhyat. Dalam penjelasannya kepada Soe Tje, stigma tuduhan PKI adalah kelompok yang jahat tidak ada pada diri mereka.
Bahkan ketika Asep menceritakan pengalamannya di tanah air seperti menangkap belut, membuat para eksil ini sedih dan emosional akan rasa rindu kampung halaman.
“Kok orang yang ditakuti kok begini, baik-baik, dan menyedihkan-melas gitu?” terang Soe Tjen menggambarkan rasa heran Asep di Jerman. “Ini yang sebenarnya bohong itu siapa?”
Moment itulah yang juga turut memengaruhi pandangan politik Asep, dari yang sebelumnya cenderung konservatif, dan menjadi aktivis demokrasi.
Enggan pulang
Pasca-Orde Baru jatuh, ada beberapa eksil yang kembali ke Indonesia, tetapi kebanyakan memilih tetap menyandang kewarganegaraan negara penampungnya. Alasannya, mereka tidak mau kehilangan tunjangan seperti asuransi kesehatan, dan uang pensiun.
“Nah, terus siapa yang mau nanggung hidupnya di Indonesia?” tambahnya.
“Selain itu enggak mau kehilangan asuransi kesehatan. Terus terang, di Indonesia asuransi kesheatannya enggak begitu bagus. Kalau di Eropa bagus banget, semua gratis, dan kalau pun ada bayarannya pun minimal banget.”
Ada pula yang menolak kembali setelah mengunjungi Indonesia dengan visa liburan. Mereka menolak pulang karena kecewa dengan kondisi pasca reformasi yang masih sama saja kacaunya, dan urusan politik yang tidak berubah.(*)
Source: National Geographic Indonesia