Gideon Sidharta Aritonang*
PIRAMIDA.ID- Aku ingat waktu pertama kali bertemu kamu. Ya, aku dan kamu bertemu pertama sekali di coffee shop ini.
Padahal waktu itu aku sedang sangat badmood, kamu malah menambahinya dengan mengusik kesendirian yang sengaja aku ciptakan.
Empat puluhan menit aku duduk termenung sendirian di coffee shop yang sedang aku nangkringi waktu itu, kamu malah berhasil menggangguku.
Aku memang tak begitu suka dengan orang yang hadir tiba-tiba, tanpa bertanya, tanpa kata-kata.
Begitu kamu mengatakan maaf dan tersenyum padaku, aku langsung beranjak dari tempat dudukku bergegas pergi menjauh dari mu dan dari keramaian yang mungkin akan tercipta di antara kita.
Aku bahkan tak memasang ekspresi apapun untukmu. Entah itu tersenyum tanda kalau aku sudah memaafkanmu dan menginginkan terlibat sedikit pembahasan.
Entah itu marah karena sudah mengganggu kesendirian yang sengaja aku ciptakan dan memintamu segera enyah. Atau ekspresi – entahlah tak ada ekspresi apapun yang kuinginkan untuk aku berikan pada mu.
Walaupun aku memiliki berpuluh-puluh khayalan yang sempat terlintas di kepalaku, tapi aku segera menghapusnya. Berharap tak terjadi dan berharap tak semakin jauh.
“Dia kenapa, sih?” – Ya walaupun aku dengan sangat jelas mendengar kamu menyeringai bak ular saat melihatku bersikap seperti itu.
Kalau diingat-ingat lucu juga, sih! Padahal kamu enggak sengaja melakukannya. Tapi aku malah bersikap kasar pada mu dengan meninggalkanmu tanpa membalas permintaan maaf mu.
Lalu yang tidak kalah lucunya lagi, dipertemuan kedua kita..
Mungkin hari itu dewi keberuntungan sedang tak berpihak padaku. Dosen baru saja membentakku karena laporanku yang berantakan. Dia juga memintaku menyusun laporan yang baru, tapi di dua kali lipatkan. Padahal sebentar lagi mau ujian, malah dapat banyak tugas yang mengesalkan.
Aku berjalan sendirian tak tentu arah.
Ha ha, aku jadi ingat, betapa sosiopatnya aku yang dulu sebelum bertemu kamu. Karena kemana-mana selalu saja sendirian.
Aku terhuyung kesana dan kemari. Pikiranku kosong karena saking tak bergairahnya. Kemudian aku tak sengaja menjegal sebuah batu yang berdiameter hampir lima belas centimeter, membuatku terjatuh, menghempaskan tubuhku, dan menyerakkan buku-buku yang sempat terpegang di tangan kiri ku.
“Aduh!” ucap ku waktu itu. Saat aku melihat batu yang menjadi penyebab semakin komplitnya ketidakberuntunganku hari itu terlihat oleh mata ku, aku malah memakinya.
“Yaelah, Tu (singkatan si Batu)! Kamu ngapain nangkring di situ, sih? Kamu enggak tahu betapa kesalnya aku hari ini ya? Kamu malah ikut nambah-nambahin lagi. Maunya apa, sih? Lihat nih, aku jatuh kan jadinya! Dasar ih, Batu!”
Begitulah cerca ku waktu itu.
Tanpa kusadari ternyata kamu ada di dekat situ. Waktu aku menyadari kehadiranmu, kamu mungkin saja mendengar kata-kata absurdku, aku langsung berdiri, memungut buku-buku ku yang ikut terjatuh, dan bermaksud langsung pergi.
Karena jarak kamu, aku, dan si Batu – enggak sampe dua meter, jadi mungkin saja kamu mendengar makianku yang tak berasalan pada benda mati yang sebenarnya tak salah apa-apa.
Kamu malah mendekatiku dan membantuku memunguti buku ku yang beberapa masih berserakan.
“Eng … enggak usah! Biar aku saja,” seru ku saat melihatmu ikut dalam aksi memunguti itu.
“Eh, kita ketemu lagi, ya!” balas nya sambil tertawa pada ku.
“Kamu enggak ingat aku?” tanyanya saat melihatku memasang ekspresi bingung mendengar kata-katamu. Ya, karena aku memang benar-benar tidak mengingatmu sama sekali waktu itu.
“Kamu lucu, deh!” ucapnya lagi sambil memberikan buku yang kamu pungut pada ku.
“Lucu apanya, sih!” balasku ketus – bukannya berterima kasih.
“Kamu tadi maki-maki itu batu, ya? Ada-ada aja, deh!” lanjutmu dengan tawa mengejek.
“Enggak usah ikut campur, deh!”
“Haha, maaf-maaf! Soalnya baru kali ini aku ngelihat ada orang yang marah-marah sama batu,” lanjutmu lagi yang masih saja tertawa terpingkal-pingkal. (TIA)
[Bersambung]*
Penulis merupakan jurnalis di salah satu portal berita nasional. Dan juga Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang belum lulus-lulus juga.